Jumat, 23 Desember 2011

BENCANA MENGALIR DERAS


Hutan sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup yang hidup di dalamnya digerus. Kejadian ini bisa dianalogikan dengan melempar sebuah bumerang. Bencana alam silih berganti bagai bumerang yang berbalik menyerang tuannya. Tanah longsor, banjir, dan kekeringan melanda negeri. Taman nasional dan cagar alam tak berdaya menahan amukan alam. Manusia telah membuat alam murka. Tepatnya kemiskinan moral manusia telah merusak penyeimbang alam.
Kemiskinan yang secara masif menimpa penduduk dunia adalah penyumbang kerusakan dunia. Tak jauh berbeda dengan di Indonesia, hal itu terjadi juga. Penyumbang kerusakan lainnya adalah kerusakan lingkungan dan pemanasan global, ancaman persenjataan nuklir, serta konflik yang disertai kekerasan. Kerusakan lingkungan secara berkelanjutan ini memperbesar kemungkinan timbulnya bencana bagi lingkungan. Bencana lingkungan yang melanda berbagai daerah di Tanah Air diperkirakan akan terus meluas dan mengkhawatirkan apabila faktor pencegahan tidak menjadi fokus penanganan.
Secara kolektif, kerusakan-kerusakan seperti itu akan berkembang pesat jika paradigma masyarakat tidak diubah. Cara kerja dalam pembangunan ke depannya hendaknya meminimalkan eksploitasi hutan. Aktivitas ini secara konsisten memuluskan terjadinya degradasi hutan. Pertumbuhan “kelas menengah” penduduk Indonesia yang sangat pesat juga berangsur-angsur akan menambah ancaman kerusakan lingkungan. Golongan kelas menengah ini muncul karena kemiskinan moral yang semakin marak terjadi, hingga mengancam timbulnya bencana berikutnya. Dua hal itu memiliki andil dalam kerusakan alam yang memengaruhi pesatnya bencana alam.
Apa indikatornya? Kemiskinan moral masyarakat kita menyebabkan kerusakan lingkungan. Ketika di hulu keadaannya seperti itu, bisa segera kita tebak di bagian hilir akan tersapu bencana. Kerusakan hutan yang begitu parah di negara ini membuat bencana banjir selalu menghantui di kala musim penghujan. Begitu pula dengan masyarakat “kelas menengah” yang ikut andil dalam peningkatan kadar emisi di bumi ini. Golongan kelas menengah ini begitu tergila dengan produk otomotif terbaru yang secara tidak langsung ikut memadatkan kendaraan yang melintas di jalan dan menambah polusi udara. Mereka menyerbu produk-produk kapital itu bukan untuk memanfaatkannya secara maksimal, melainkan hanya untuk meningkatkan status sosialnya saja. Di sanalah letak kemiskinan moral masyarakat kita. Mereka tak pernah mempertimbangkan baik buruk ketika akan melakukan perbuatan.
Potret kegilaan yang dipicu oleh libido konsumtif itulah yang makin menambah kemungkinan bencana alam terjadi, karena alam sedikit demi sedikit mengalami kerusakan. Hutan semakin rusak karena pembangunan mengekspoitasi hutan secara terus menerus. Pembangunan di wilayah pariwisata semakin tidak ramah lingkungan. Tebing-tebing yang menjadi tameng daratan dari pantai kini dijejali vila-vila mewah. Pun dengan bagungan-bangunan yang tak memperdulikan peraturan RTRW seperti terjadi di Bali sangat membahayakan lingkungan. Lambat laun bencana tak terelakkan, karena kita seperti menyimpan bom waktu.
Hal ini memang tak dilakukan oleh semua penduduk negeri ini, tetapi mayoritas melakukannya, dan para minoritas pun ikut merasakan “buah” dari pohon-pohon yang mereka tanam. Banjir melanda dan panas bumi yang begitu membakar adalah bencana-bencana yang secara tidak sadar hadir karena kemiskinan moral yang dipelihara secara terus menerus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar