Hutan
sebagai penyangga kehidupan makhluk hidup yang hidup di dalamnya digerus.
Kejadian ini bisa dianalogikan dengan melempar sebuah bumerang. Bencana alam
silih berganti bagai bumerang yang berbalik menyerang tuannya. Tanah longsor,
banjir, dan kekeringan melanda negeri. Taman nasional dan cagar alam tak
berdaya menahan amukan alam. Manusia telah membuat alam murka. Tepatnya
kemiskinan moral manusia telah merusak penyeimbang alam.
Kemiskinan
yang secara masif menimpa penduduk dunia adalah penyumbang kerusakan dunia. Tak
jauh berbeda dengan di Indonesia, hal itu terjadi juga. Penyumbang kerusakan
lainnya adalah kerusakan lingkungan dan pemanasan global, ancaman persenjataan
nuklir, serta konflik yang disertai kekerasan. Kerusakan lingkungan secara
berkelanjutan ini memperbesar kemungkinan timbulnya bencana bagi lingkungan. Bencana
lingkungan yang melanda berbagai daerah di Tanah Air diperkirakan akan terus
meluas dan mengkhawatirkan apabila faktor pencegahan tidak menjadi fokus penanganan.
Secara
kolektif, kerusakan-kerusakan seperti itu akan berkembang pesat jika paradigma
masyarakat tidak diubah. Cara kerja dalam pembangunan ke depannya hendaknya
meminimalkan eksploitasi hutan. Aktivitas ini secara konsisten memuluskan
terjadinya degradasi hutan. Pertumbuhan “kelas menengah” penduduk Indonesia
yang sangat pesat juga berangsur-angsur akan menambah ancaman kerusakan
lingkungan. Golongan kelas menengah ini muncul karena kemiskinan moral yang
semakin marak terjadi, hingga mengancam timbulnya bencana berikutnya. Dua hal
itu memiliki andil dalam kerusakan alam yang memengaruhi pesatnya bencana alam.
Apa
indikatornya? Kemiskinan moral masyarakat kita menyebabkan kerusakan
lingkungan. Ketika di hulu keadaannya seperti itu, bisa segera kita tebak di
bagian hilir akan tersapu bencana. Kerusakan hutan yang begitu parah di negara
ini membuat bencana banjir selalu menghantui di kala musim penghujan. Begitu
pula dengan masyarakat “kelas menengah” yang ikut andil dalam peningkatan kadar
emisi di bumi ini. Golongan kelas menengah ini begitu tergila dengan produk
otomotif terbaru yang secara tidak langsung ikut memadatkan kendaraan yang
melintas di jalan dan menambah polusi udara. Mereka menyerbu produk-produk
kapital itu bukan untuk memanfaatkannya secara maksimal, melainkan hanya untuk
meningkatkan status sosialnya saja. Di sanalah letak kemiskinan moral
masyarakat kita. Mereka tak pernah mempertimbangkan baik buruk ketika akan
melakukan perbuatan.
Potret
kegilaan yang dipicu oleh libido konsumtif itulah yang makin menambah
kemungkinan bencana alam terjadi, karena alam sedikit demi sedikit mengalami
kerusakan. Hutan semakin rusak karena pembangunan mengekspoitasi hutan secara
terus menerus. Pembangunan di wilayah pariwisata semakin tidak ramah lingkungan.
Tebing-tebing yang menjadi tameng daratan dari pantai kini dijejali vila-vila
mewah. Pun dengan bagungan-bangunan yang tak memperdulikan peraturan RTRW
seperti terjadi di Bali sangat membahayakan lingkungan. Lambat laun bencana tak
terelakkan, karena kita seperti menyimpan bom waktu.
Hal
ini memang tak dilakukan oleh semua penduduk negeri ini, tetapi mayoritas
melakukannya, dan para minoritas pun ikut merasakan “buah” dari pohon-pohon
yang mereka tanam. Banjir melanda dan panas bumi yang begitu membakar adalah
bencana-bencana yang secara tidak sadar hadir karena kemiskinan moral yang
dipelihara secara terus menerus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar