Sebenarnya
aku tidak pernah menyangka kita akan bertemu lagi. Sudah lama sekali rasanya, padahal baru lima tahun lalu. Aku
ingat betul pertengkaran yang kita sulut yang kian membara menjadi api yang
memanaskan benang kita hingga putus. Kamu melempar-lempar batu keras-keras ke
arahku. Tapi yang terjadi kemudian diluar kuasa kita. batu yang kamu lempar
terbang jauh, mungkin kamu lempar dengan tenaga penuh, hingga menghujam deras
kaca rumah tetangga kita. Aku masih ingat bagaimana pucatnya mukamu setelah
itu. Dan, kamu langsung kabur, kan?! Ketika itu kita memang sering bertengkar.
Tiada hari tanpa perang urat sarap. Selalu adu mulut. Tapi lucunya, tak lebih
sejam kemudian kita bermain lagi seakan tak pernah ada ketengan yang memompa
hati ini. Benar, kita memang sahabat sejati. Mungkin. Kamu marah, tapi wajahmu
lucu. Mukamu merah tapi tak tampak menyeramkan. Kamu marah tapi seperti orang
mau nangis.
Eh,
masih ingatkan kamu ketika kita dengan lagak ilmuwan merancang sebuah perahu
berdinamo kecil. Kita yakin sekali dengan karya kita ini, sampai-sampai kita
sesumbar di depan teman-teman kita kalau perahu ini akan mampu menerjang arus
kali kecil yang ada di dekat rumah kita itu. Tapi apa yang terjadi setelah
dioprasikan? Ha..ha…ha… aku tak tahan untuk tidak tertawa. Aku juga malu karena
telah sesumbar di hadapan teman-teman ketika perahu kebanggaan kita dengan
polosnya tersapu arus kecil kali. Kebanggaan kita pun hanyut.
Oh
iya, masihkah kamu ingat ketika kita menggali lubang yang cukup dalam di
belakang rumah kecilmu, lalu kita menaruh sebuah kotak yang kita sebut kotak
waktu? Kotak waktu itu sebenarnya hanya berisi barang-barang favorit
masing-masing. Aku memasukkan robot Gundam kesayanganku, dan kamu
memasukkan………. Aku pikir ini adalah ide terkonyol yang pernah kamu lakukan.
Jujur, aku sangat ingin tertawa saat itu, tapi aku masih menjaga perasaanmu.
Patung kupu-kupu yang kamu masukkan dalam kotak waktu kita selalu membuatku
ketawa geli. Kamu mengatakan bahwa kupu-kupu itu adalah benda yang akan membuat
orang ingat untuk selalu berbuat baik untuk dunia ini. panjang lebar kamu
menjelaskan padaku bahwa kupu-kupu itu
mewakili perdamaian dan kasih sayang. Cerita versi kamu ini membuatku mengantuk
saat mendengarkannya. Mungkin kamu orang yang paling aneh yang pernah aku
kenal, setidaknya sampai saat detik itu.
Satu
hal yang tercatat rapi dalam memoriku adalah saat kita memasuki gerbang SMU
untuk pertama kalinya. Pagi itu cerah sekali. Surya merangkak menyapa seluruh
isi bumi tak terkecuali kita berdua. Cerahnya pagi seakan beranalog dengan
perasaanku saat itu. Mungkin perasaanmu juga. Karena hari itu hari pertama kita
masuk sekolah, tepatnya kita berada di SMU favorit kita. dan ternyata kita
tidak hanya berdua menikmati indah pagi ketika itu. Mata kita langsung
menghujam tubuh mungil yang berjalan begitu anggunnya. Senyumnya menurutmu
melebihi manis kadar manis madu Nirwana.
“Emang
kamu pernah mencicipi madu Nirwana?” tanyaku.
Kamu
tak menjawab. Kamu seakan terhipnotis (juga) oleh sosok mungil itu.
Sejak
saat itu, seakan kita enggan meninggalkan sekolah ini. setelah sekian lama kita
melawan perasaan yang berkecambuk di dalam diri sendiri, akhirnya kita
memberanikan diri untuk berkenalan langsung dengan sosok mungil itu. Wik adalah
nama pemilik tubuh mungil dengan senyum yang manisnya melebihi manis madu
Nirwana itu. Wik sangat mudah bergaul. Kami pun langsung cocok. Lebih-lebih
aku. Seakan lupa lingkungan jika sudah menikmati senyum madunya. Jika saja
boleh aku minta setetes senyumnya, akan ku seduh setiap hari untuk memaniskan
hatiku. Otakku semakin melayang ngalor ngidul. Aku pun agak melupakanmu teman.
Inilah
salahku. Aku tak pernah berpikir jauh tentang apa kemungkinan-kemungkinan yang
akan terjadi ketika aku berbuat sesuatu. Dan satu hal yang tidak aku sadari itu
adalah ternyata kamu juga memendam rasa yang sama denganku kepada si mungil
Wik. Aku dilema. Aku terlanjur melancarkan serangan demi serangan ke hati Wik,
walau pun belum tepat sasaran. Belakangan aku pun segera mengetahui ternyata
kamu juga melakukan hal yang sama secara diam-diam. Seakan kita kompak untuk
tidak saling berbagi tentang rencana-rencana itu.
Pada
suatu waktu yang tepat, Wik mulai mengunciku di dalam hatinya. Dan sekali lagi,
aku tak mengatakan apa-apa tentang hal ini kepadamu kawan baikku. Sangat jarang
terjadi hal seperti ini, dan kita tidak sekalipun saling curiga. Asyik saja aku
dan Wik menikmati hari-hari ini dan besok, pun dengan lusa yang selalu kita
rencanakan dengan cukup matang. Tidak terasa sudah seminggu aku dan Wik
menghabiskan waktu, sampai-sampai aka tak menyadari jika kamu telah melangkah
lebih jauh dariku. Sungguh, betapa terkejutnya hatiku menerima dilema besar
ini.
Aku
menanyakan padamu mengapa hal ini sampai terjadi. Kamu bisu. Aku menanyakan
Wik, mengapa ia melakukan itu dan sedikitpun tak merasa melukai. Ia nyaris tak
merasa menyesal. Aku tak mengerti apa tujuan dari drama pilu ini. Aku
menanyakan diriku sendiri. Apakah aku telah gegabah? Aku bertanya pada hatiku,
apakah engkau menguji persahabat ini? Semua nihil.
Saat
aku menyadari kebingunagnku, ketika aku tak menemukan jawaban dari semua
pertanyaannku, masalahku bertambah. Entah mengapa tiba-tiba orang tuaku harus
pindah ke tempat yang sialnya sangat jauh dari temapt pijakku saat ini. Jerman
tujuan mereka. Dan aku dengan sangat terpaksa ikut mereka. Hati yang belum
terobati, logika yang terasa terbodohi menjadi bekal keberangkatannku ke negeri
itu. Aku belum sempat mengatakan maaf kepada sahabatku itu. Jerman begitu
dingin. Aku menggigil dengan hati bekuku. Hantu bersalah yang selalu menghujam.
Aku
mengirimkan sepucuk surat elektronik tertuju Indonesia.
Untuk Div, sahabatku.
Maafkan aku dari hatimu. Aku dosa
sahabatku. Merobek lukisan yang kita lukis sejak lama. Aku ingin kita selalu
ingat dengan kotak waktu itu. Aku harap masih ada. Tolong bawakan aku besok.
Ketika kita bertemu lagi.
Aku
tidak pernah menginginkan ini. Meminta maaf dengan cara seperti ini, karena
hanya alamat ini yang aku tahu. Semenjak aku pergi, kamu seakan menghapusku
dalam hidupmu. Sepertinya Div terkejut. Tertegun sejenak dalam suasana lirih
itu. Air mata lelaki itu akhirnya terjatuh. Sebuah peristiwa yang akan jarang
ditemui di waktu normal. “Kotak waktu” mereka di atas ranjang terakhir
sahabatnya itu. Seorang bertubuh hitam kekar menunaikan tugasnya menutup
“ranjang” itu dengan tanah-tanah gersang merah yang tertimbun, kini di dekatku.
Good bye my best friend, I really
wish we can met again and great thank’s for your kidness. I miss you there…
(cerita ini hanya fiktif, jika ada kesamaan nama, tempat, kejadian, dll, saya mohon maaf)