Minggu, 04 Desember 2011

cerpen: Mungkin Esok Tak Pernah Ada


Segalanya berawal ketika aku masih berumur 6 tahun. Ketika itu aku sedang bermain di halaman rumah. Aku bertemu anak laki-laki. Anak ini sebenarnya sama saja dengan anak laki-laki lain yang sering aku temui. Ia sangat senang menggoda ku. Jika itu terjadi, aku akan segera mengejarnya lalu memukulnya.
Setelah pertemuan pertama dan aku memberinya hadiah pukulan, kami selalu bertemu hari-hari berikutnya. Ketika kami bertemu untuk kedua kalinya, aku memukul kepalanya. Pertemuan ketiga kalinya, aku memukul pipinya. Pertemuan berikutnya, aku memukul perutnya. Sejak aku sering memukulnya, dia hanya berani mengintipku bermain dari lubang sempit pagar halaman rumahku. Aku melihatnya, dan segera mengejarnya, lalu menghujamkan pukulan tepat di punggungnya. Ya, kami selalu bertemu dan aku selalu memukulnya. Tapi seiring waktu, dia mulai berani padaku, tapi masih diam. Lalu terjadilah saling pukul antara kami di batas pagar itu.
Tapi itu tidak lama. Kami selalu bertemu di pinggir pagar itu dan kami selalu bersama. Aku menceritakan semua rahasia yang aku punya kepadanya. Dia sangat pendiam… dia hanya mendengarkan apa yang aku ceritakan. Aku selalu menganggapnya teman yang paling asyik diajak bercerita tentang apa saja, tentang rahasia. Lebih-lebih rahasia tentang diriku sendiri. Jika sudah begitu, aku akan merasa lega. Walau dia masih saja diam.
Di sekolah, kami memiliki teman-teman bermain yang berbeda tapi ketika sudah berada di rumah, dia akan menjadi temanku. Jika sudah begini, aku akan menceritakan tentang apa yang terjadi di sekolah hari itu. Suatu hari, aku bercerita kepadanya tentang anak laki-laki yang saya sukai, tapi laki-laki itu menyakiti hatiku…. Dia menghiburku dan mengatakan semuanya akan beres. Dia mulai banyak mengerti tentang masalahku.
Dia memberi sinar-sinar kecil yang menghapus temaram di hati labilku. Kata-kata yang selalu aku tunggu darinya selalu membuat ku puas. Aku pun segera melupakan kegundahan yang sebelumnya menumpuk di sela-sela kerutan dahiku. Aku selalu bahagia ketika dia melahap semua cerita yang aku suapi. Dan dia selalu berkomentar tentang apa saja yang selalu membuat saya senang dan tidak rugi menyuapi dia.
Semenjak itu, aku mulai menyadari hati ini tak ingin dibohongi. Tapi aku bersikeras menampik kata hati yang sangat jujur ini. Aku galau. Sungguh. Selama itu aku mendustai diri sendiri. Aku masih berpikir, tidak akan ada perubahan dalam benang merah pengikat kita.
Selama SMA dan semasa kelulusan, kami selalu bersama dan aku selalu berpikir bahwa ini adalah persahabatan. Tapi jauh di pori-pori sumsum tulang putih ku ada rasa suci sesuci warna belulangku. Ada sesuatu yang lain, yang melebihi pikirku.
Pada malam kelulusan, meskipun ketika itu kami sudah memiliki pasangan masing-masing, sesungguhnya aku menginginkan dia yang menjadi pasanganku malam itu. Egoiskah? Aku mendustai diri sendiri lagi. Malam itu telah usai. Aku bergegas ke rumahnya untuk mengatakan sesuatu.
Seharusnya malam itu adalah kesempatan terbesar yang aku miliki. Belum tentu akan datang di lembar-lembar napasku selanjutnya. Aku hanya duduk bersamanya di hamparan karpet alami halaman rumahnya. Menatap bintang-bintang tak berkelamin itu. Mereka diam berjauh-jauhan, tak seperti aku yang duduk sangat dekat dengan seorang yang belum tegas aku tempatkan di sebelah mana dalam hatiku.
Aku menatap matanya, ia bercerita tantang impiannya. Masa depannya. Dia ingin sukses. Impian semua orang, katanya ketika itu. Aku? Hanya bisa menceritakan impianku. Tentang masa depanku juga. Tapi harusnya bukan ini yang aku ceritakan di malam emas ini.
Akhirnya aku pulang ke rumah dengan hati terluka. Karena aku menggores diri sendiri dengan tidak mengatakan apa-apa padanya ketika kesempatan telah begitu lebar di buka oleh sang Kuasa. Lambat laun, aku membiarkan rasa ini pergi jauh. Jauh pergi meninggalkan hati perihku. Aku berpikir, mungkin suatu hari akan ada kesempatan lagi. Ya, kesempatan kedua.
Selama di universitas, aku kembali membuka kotak rasa yang dulu sempat aku buang jauh. Tapi dia selalu bersama dengan seseorang yang membuatku mundur perlahan. Setelah lulus, dia meninggalkanku ke Bandung. Aku gembira dan bersedih pada momen yang sama. Aku masih menyimpannya. Ketika itu, beku. Aku hanya menatapnya dari bawah ketika dia menaiki burung besi itu. Akau menjawab perpisahan itu dengan sapuan lambaian tangan.
Aku sedih. Aku menangis lagi. Sudah sekian kali sedari aku menunggu momen itu. Sekarang kemungkinan untuk kesempatan ketiga semakin musnah. Aku tidak ingin musnah di hatinya. Aku terluka lagi. Aku tak pernah sanggup mengucapkan rintihan hati ini ketika ada di dekatnya. Aku masih menyeka masa lalu, menatap bintang dari jendela kamarku.
Setelah lambat laun aku mulai nyaman dengan keadaan saat ini, tiba lah sebuah berita yang seketika membuat aku bahagia dan sedih pada saat yang bersamaan. Ketika itu aku sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan percetakan terbesar di kotaku. Tapi bukan pekerjaanku yang menjadi pangkal masalahnya. Karena ketika menikmati pekerjaanku dan aku sedang bekerja ketika itu, ada yang mengantarkan sebuah undangan pernikahan untukku.
Akhirnya aku merasa benar-benar kalah. Tak ada kesempatan lagi bahkan hanya untuk memimpikannya. Bermimpi bersamanya. Beberapa hari berikutnya, ada kiriman surat dari Bandung yang berisi bahwa dia sedang bahagia pasca undangan pernikahan itu.
Sejak itu, aku menutup seluruh kisah dan impian yang sedari umur 6 tahun aku pendam ini. kehidupanku harus tetap berjalan. Tahun-tahun berlalu… dia mengirimiku kabar, aku membalas dengan memberinya juga kabar tentang aku, hari-hariku, kecuali tentang hatiku. Dalam beberapa kesempatan, kami secara intens saling bertukar kabar dan cerita. Lalu, setelah aku menikmati cerita jarak jauh ini, aku mulai menyadari bahwa kabar terakhirku belum dibalas juga. Dalam waktu yang cukup lama.
Aku tiada harapan lagi. Lalu tiba-tiba ada catatan kecil menghampiri meja kerjaku yang mengatakan, “temui aku di batas pagar di mana kita sering bercerita”. Bergegas aku ke batas pagar. Di sana seseorang sudah menungguku. Tapi kali ini aku tidak memukulnya lagi seperti ketika kanak-kanak. Aku bahagia. Pelukan itu membuatku tidak bisa bernapas. Dia bercerita, aku mendengarkan, lalu aku menangis. Dia tetap tegar dengan hidupnya. Baru sekali seumur hidupku aku menangis di batas pagarku.
Perpisahan mereka membuat aku bangkit, lalu menangis pedih. Benar-benar sebuah dilema. Hari-hari berikutnya, dia telah melupakan semua kesedihan yang menimpanya. Aku pun ikut senang. Kami bercerita lagi seperti ketika mengisi waktu luang ketika masa puber awal. Aku masih saja memendamnya. Lidahku masih beku untuk mengucapkannya. Hingga dia akhirnya pergi lagi untuk melanjutkan kerja. Dia sudah cukup gembira. Dia berjanji akan menemuiku lagi setiap kali mendapat libur.
Aku pun mulai berpikir kesempatan keempat. Saking tidak sabarnya aku menunggu, aku tak dapat menunggu. Aku begitu ingin bercerita dan duduk di dekatnya sambil memandangi bintang. Suatu hari dia tidak muncul. Hari berganti, dia tidak muncul juga. Bulan berganti dan aku pun melupakannya.
Suatu hari aku mendapatkan kabar dari Bandung. Kabar yang membunuh hatiku secara perlahan. Dia yang lama aku tunggu ceritanya meninggal dalam kecelakaan mobil dalam perjalanan ke tempat kerjanya. Aku menangis sejadi-jadinya.  Sampai detik ini aku belum mengatakan sepatah kata pun. Hari esok mungkin tak pernah ada, untukku.


2007

Tidak ada komentar:

Posting Komentar