Segalanya
berawal ketika aku masih berumur 6 tahun. Ketika itu aku sedang bermain di
halaman rumah. Aku bertemu anak laki-laki. Anak ini sebenarnya sama saja dengan
anak laki-laki lain yang sering aku temui. Ia sangat senang menggoda ku. Jika
itu terjadi, aku akan segera mengejarnya lalu memukulnya.
Setelah
pertemuan pertama dan aku memberinya hadiah pukulan, kami selalu bertemu
hari-hari berikutnya. Ketika kami bertemu untuk kedua kalinya, aku memukul
kepalanya. Pertemuan ketiga kalinya, aku memukul pipinya. Pertemuan berikutnya,
aku memukul perutnya. Sejak aku sering memukulnya, dia hanya berani mengintipku
bermain dari lubang sempit pagar halaman rumahku. Aku melihatnya, dan segera
mengejarnya, lalu menghujamkan pukulan tepat di punggungnya. Ya, kami selalu
bertemu dan aku selalu memukulnya. Tapi seiring waktu, dia mulai berani padaku,
tapi masih diam. Lalu terjadilah saling pukul antara kami di batas pagar itu.
Tapi
itu tidak lama. Kami selalu bertemu di pinggir pagar itu dan kami selalu
bersama. Aku menceritakan semua rahasia yang aku punya kepadanya. Dia sangat
pendiam… dia hanya mendengarkan apa yang aku ceritakan. Aku selalu
menganggapnya teman yang paling asyik diajak bercerita tentang apa saja,
tentang rahasia. Lebih-lebih rahasia tentang diriku sendiri. Jika sudah begitu,
aku akan merasa lega. Walau dia masih saja diam.
Di
sekolah, kami memiliki teman-teman bermain yang berbeda tapi ketika sudah
berada di rumah, dia akan menjadi temanku. Jika sudah begini, aku akan
menceritakan tentang apa yang terjadi di sekolah hari itu. Suatu hari, aku
bercerita kepadanya tentang anak laki-laki yang saya sukai, tapi laki-laki itu
menyakiti hatiku…. Dia menghiburku dan mengatakan semuanya akan beres. Dia
mulai banyak mengerti tentang masalahku.
Dia
memberi sinar-sinar kecil yang menghapus temaram di hati labilku. Kata-kata
yang selalu aku tunggu darinya selalu membuat ku puas. Aku pun segera melupakan
kegundahan yang sebelumnya menumpuk di sela-sela kerutan dahiku. Aku selalu
bahagia ketika dia melahap semua cerita yang aku suapi. Dan dia selalu
berkomentar tentang apa saja yang selalu membuat saya senang dan tidak rugi
menyuapi dia.
Semenjak
itu, aku mulai menyadari hati ini tak ingin dibohongi. Tapi aku bersikeras
menampik kata hati yang sangat jujur ini. Aku galau. Sungguh. Selama itu aku
mendustai diri sendiri. Aku masih berpikir, tidak akan ada perubahan dalam
benang merah pengikat kita.
Selama
SMA dan semasa kelulusan, kami selalu bersama dan aku selalu berpikir bahwa ini
adalah persahabatan. Tapi jauh di pori-pori sumsum tulang putih ku ada rasa
suci sesuci warna belulangku. Ada sesuatu yang lain, yang melebihi pikirku.
Pada
malam kelulusan, meskipun ketika itu kami sudah memiliki pasangan masing-masing,
sesungguhnya aku menginginkan dia yang menjadi pasanganku malam itu. Egoiskah?
Aku mendustai diri sendiri lagi. Malam itu telah usai. Aku bergegas ke rumahnya
untuk mengatakan sesuatu.
Seharusnya
malam itu adalah kesempatan terbesar yang aku miliki. Belum tentu akan datang
di lembar-lembar napasku selanjutnya. Aku hanya duduk bersamanya di hamparan
karpet alami halaman rumahnya. Menatap bintang-bintang tak berkelamin itu.
Mereka diam berjauh-jauhan, tak seperti aku yang duduk sangat dekat dengan
seorang yang belum tegas aku tempatkan di sebelah mana dalam hatiku.
Aku
menatap matanya, ia bercerita tantang impiannya. Masa depannya. Dia ingin
sukses. Impian semua orang, katanya ketika itu. Aku? Hanya bisa menceritakan
impianku. Tentang masa depanku juga. Tapi harusnya bukan ini yang aku ceritakan
di malam emas ini.
Akhirnya
aku pulang ke rumah dengan hati terluka. Karena aku menggores diri sendiri
dengan tidak mengatakan apa-apa padanya ketika kesempatan telah begitu lebar di
buka oleh sang Kuasa. Lambat laun, aku membiarkan rasa ini pergi jauh. Jauh
pergi meninggalkan hati perihku. Aku berpikir, mungkin suatu hari akan ada
kesempatan lagi. Ya, kesempatan kedua.
Selama
di universitas, aku kembali membuka kotak rasa yang dulu sempat aku buang jauh.
Tapi dia selalu bersama dengan seseorang yang membuatku mundur perlahan.
Setelah lulus, dia meninggalkanku ke Bandung. Aku gembira dan bersedih pada
momen yang sama. Aku masih menyimpannya. Ketika itu, beku. Aku hanya menatapnya
dari bawah ketika dia menaiki burung besi itu. Akau menjawab perpisahan itu dengan
sapuan lambaian tangan.
Aku
sedih. Aku menangis lagi. Sudah sekian kali sedari aku menunggu momen itu.
Sekarang kemungkinan untuk kesempatan ketiga semakin musnah. Aku tidak ingin
musnah di hatinya. Aku terluka lagi. Aku tak pernah sanggup mengucapkan
rintihan hati ini ketika ada di dekatnya. Aku masih menyeka masa lalu, menatap
bintang dari jendela kamarku.
Setelah
lambat laun aku mulai nyaman dengan keadaan saat ini, tiba lah sebuah berita
yang seketika membuat aku bahagia dan sedih pada saat yang bersamaan. Ketika
itu aku sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan percetakan terbesar di
kotaku. Tapi bukan pekerjaanku yang menjadi pangkal masalahnya. Karena ketika
menikmati pekerjaanku dan aku sedang bekerja ketika itu, ada yang mengantarkan
sebuah undangan pernikahan untukku.
Akhirnya
aku merasa benar-benar kalah. Tak ada kesempatan lagi bahkan hanya untuk
memimpikannya. Bermimpi bersamanya. Beberapa hari berikutnya, ada kiriman surat
dari Bandung yang berisi bahwa dia sedang bahagia pasca undangan pernikahan
itu.
Sejak
itu, aku menutup seluruh kisah dan impian yang sedari umur 6 tahun aku pendam
ini. kehidupanku harus tetap berjalan. Tahun-tahun berlalu… dia mengirimiku
kabar, aku membalas dengan memberinya juga kabar tentang aku, hari-hariku,
kecuali tentang hatiku. Dalam beberapa kesempatan, kami secara intens saling
bertukar kabar dan cerita. Lalu, setelah aku menikmati cerita jarak jauh ini,
aku mulai menyadari bahwa kabar terakhirku belum dibalas juga. Dalam waktu yang
cukup lama.
Aku
tiada harapan lagi. Lalu tiba-tiba ada catatan kecil menghampiri meja kerjaku
yang mengatakan, “temui aku di batas pagar di mana kita sering bercerita”.
Bergegas aku ke batas pagar. Di sana seseorang sudah menungguku. Tapi kali ini
aku tidak memukulnya lagi seperti ketika kanak-kanak. Aku bahagia. Pelukan itu
membuatku tidak bisa bernapas. Dia bercerita, aku mendengarkan, lalu aku
menangis. Dia tetap tegar dengan hidupnya. Baru sekali seumur hidupku aku
menangis di batas pagarku.
Perpisahan
mereka membuat aku bangkit, lalu menangis pedih. Benar-benar sebuah dilema.
Hari-hari berikutnya, dia telah melupakan semua kesedihan yang menimpanya. Aku
pun ikut senang. Kami bercerita lagi seperti ketika mengisi waktu luang ketika
masa puber awal. Aku masih saja memendamnya. Lidahku masih beku untuk
mengucapkannya. Hingga dia akhirnya pergi lagi untuk melanjutkan kerja. Dia
sudah cukup gembira. Dia berjanji akan menemuiku lagi setiap kali mendapat
libur.
Aku
pun mulai berpikir kesempatan keempat. Saking tidak sabarnya aku menunggu, aku
tak dapat menunggu. Aku begitu ingin bercerita dan duduk di dekatnya sambil
memandangi bintang. Suatu hari dia tidak muncul. Hari berganti, dia tidak
muncul juga. Bulan berganti dan aku pun melupakannya.
Suatu
hari aku mendapatkan kabar dari Bandung. Kabar yang membunuh hatiku secara
perlahan. Dia yang lama aku tunggu ceritanya meninggal dalam kecelakaan mobil
dalam perjalanan ke tempat kerjanya. Aku menangis sejadi-jadinya. Sampai detik ini aku belum mengatakan sepatah
kata pun. Hari esok mungkin tak pernah ada, untukku.
2007
Tidak ada komentar:
Posting Komentar