Minggu, 18 Desember 2011

cerpen: Nafsu


Coba cek arti kata nafsu di KBBI. Pasti akan ditemukan definisi keinginan, dorongan hati yg kuat untuk berbuat kurang baik dan gairah. Semua definisi itu mempunyai konteks negatif. Dan benar saja, sebuah nafsu akan berujung pada perbuatan terlarang. Terlarang secara hukum nasional, hukum adat, serta hukum agama. Jika sudah begini, jangan sekali-kali menamai anak anda dengan kata ini jika tidak ingin menyesal seumur hidup.
Nafsu menjadi aktor yang lekat akhir-akhir ini. Nafsu begitu bergelora sepanjang tahun. Nafsu, seorang remaja usia 16 tahun membuka mata semua orang akan menggeloranya sebuah nafsu di masa puber. Nafsu usia 16 tahun ini begitu lihai merayu. Kata-katanya begitu puitis layaknya anak Gibran. Para Hawa tak sanggup menepis rayuan itu hingga terjerembab ke kawah nafsu milik Nafsu, remaja puber usia 16 tahun ini. Hawa keluar dan masuk dari kamar kos Nafsu. Entah berapa hawa telah tertidur nyenyak di kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Entah sejak malam keberapa Nafsu mengarungi nafsu bejatnya dengan para hawa pasrah itu. Entahlah, apakah hawa-hawa ini memang benar-benar pasrah atau malah menyerahkan diri dengan imbalan sewajarnya? Yang pasti setelah keluar kamar 3 x 3 meter itu, para hawa menyeringai puas. Para ahli memvonis si Nafsu terpengaruh oleh budaya instan teknologi yang berkembang pesat. Aku pikir, Nafsu hanya salah satu korban. Korban yang lain masih tersebar di mana-mana. Mungkin termasuk para ahli itu, Aku, entahlah. . .
Untunglah, Nafsu tak kena perkara. Lebih untung lagi, Nafsu belum terjangkit HIV/AIDS. Nafsu berkilah, “Tenang saja. Aku selalu menyediakan payung. Agar mereka tak kena hujanku”. Payung, tidak selamanya membuat kita kering kan? Aku teringat ketika aku kecil. Ketika itu hujan mengiringi perjalanan pulangku dari sekolah. Aku mencari daun pisang untuk menutupi tubuhku dari guyuran hujan. Sampai di rumah, setengah badan ku basah. Celana merah sekolahku kotor terkena lumpur. Karena aku melewati jalan tanah yang banyak kubangan airnya saat menuju rumah. Dari sana aku berpikir, tak selamanya payung akan membuatmu kering kan? Walaupun payungku bukan payung. Hanya sebuah daun pisang yang aku dapat di sebelah kebun orang dekat sekolahku. Tapi tetap payung juga namanya kan? Payung tradisional, kata kakekku dulu. Karena beliau menggunakan itu ketika dia kecil, hingga sekarang ketika beliau datang dari sawah saat hari hujan. Kakekku memang tak menyukai payung modern yang terbuat dari kain tipis warna-warni itu. Katanya sulit digunakan, tidak praktis. Dasar orang tua kataku dalam hati sambil tersenyum.
Itu mengapa aku tak pernah yakin dengan “payung” yang dikatakan aman oleh Nafsu. Aku peringati dia untuk tetap hati-hati, karena payung itu tidak selamanya aman. “Jika boleh aku berpesan padamu, jangan sampai menghujaninya,” kataku sekali waktu pada Nafsu. Nafsu hanya tersenyum. “Tidak akan puas, teman,” jawabnya enteng. Aku menyerah, tak mau memperingatiNafsu lagi. Walau dia teman ku.
Ketika aku membaca koran waktu itu. Aku temui nafsu versi lain. Nafsu yang ini melakukan aksinya di dalam angkot. Sasarannya bukan remaja jelita seperti yang didapat temanku Nafsu, tapi ibu-ibu yang berumur di atas 30 tahun. Aku makin terenyak ketika tahu hal itu dilakukan oleh tiga nafsu sekaligus, dalam satu kesempatan di sebuah angkot. Besoknya, mataku membelalak melihat nafsu menyasar kereta api. Seperti berita yang aku lihat di tv, nafsu itu benar-benar berniat dan mencari pemuas di angkutan kalayak ramai itu. Benar adanya, nafsu tak bisa dikendalikan, bahkan oleh si empunya nafsu.
Nafsu yang lain pernah aku dengar di dunia pendidikan. Ketika itu, nafsu antara dosen dan mahasiswa bimbingannya. Aku makin tak habis pikir, bagaimana mau seorang mahasiswi jelita yang masih mulus mau dipuaskan oleh seorang dosen tua renta bin kriput? Inilah nafsu, dengan mudah melewati batas usia, hukum, dan logika alam manusia.
Ada lagi nafsu milik para penguasa. Penguasa yang berada jauh di sana, yang duduk nyaman di kursi empuk yang dibeli dari pajak-pajak rakyat yang memilihnya ketika pemilu, juga memendam nafsu menggelora. Betapa tidak, setelah menggelapkan triliunan uang rakyat, berkoalisi dengan mafia hukum, kini nafsunya ia curahkan kepada hubungan gelap di kamar-kamar hotel sewaan yang kemudian ditangkap kamera-kamera para kuli foto. Cerobohnya lagi, nafsu si penguasa terekam ketika isedang asik menonton gambar-gambar penuh nafsu ketika sedang rapat para penguasa. Akhir cerita, ia pun malu. Terlihat jelas dari geraknya, walau berbanding terbalik dari kata-katanya.
Nafsu yang lain, menyasar seorang vokalis sebuah band yang terkenal di negerinya. Nafsu itu hingga menyeretnya ke hotel pordeo. Si nafsu “memaksa” si empunya raga untuk meniduri beberapa rekan artis yang cantik bin bohay. Sebagian orang iri. Sebagian orang menyesali “kesalahan” nafsunya. Nafsu memang membawa nikmat dan sengsara di waktu yang bersamaan.
Nafsu bisa datang dan pergi seenak udelnya. Kadang nafsu ada di kamar kos, sekali waktu nafsu mengunjungi hotel-hotel maupun vila-vila, hingga nafsu sengaja dipelihara di dagang patok1 yang menjamur di pinggir-pinggir jalan.
Bagaimana nasib Nafsu, temanku itu? Hingga detik ini, ia masih disasar nafsu. Nafsunya masih seperti dulu. Tetap menggelora. Sudah semakin banyak malam ia lewati dengan nafsu di kamar 3 x 3 itu. Saya tak habis pikir, apabila payung-payungnya tidak mempan lagi. Apa yang akan dilakukannya. Memilih bersembunyi seperti nafsu si angkot? Memilih pergi untuk menghapus malu seperti nafsu si penguasa? Ataukah ia punya jalan lain untuk tetap memelihara nafsunya? Kata nafsu sepertinya ditakdirkan untuk berdefinisi seperti ini, sampingkan dulu semantis kata ini. Aku tak tahu dan tak mau tahu.

1 dagang patok = dagang minuman, beberapa ada yang merangkap bisnis seks.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar