Nafsu
menjadi aktor yang lekat akhir-akhir ini. Nafsu begitu bergelora sepanjang
tahun. Nafsu, seorang remaja usia 16 tahun membuka mata semua orang akan
menggeloranya sebuah nafsu di masa puber. Nafsu usia 16 tahun ini begitu lihai
merayu. Kata-katanya begitu puitis layaknya anak Gibran. Para Hawa tak sanggup
menepis rayuan itu hingga terjerembab ke kawah nafsu milik Nafsu, remaja puber
usia 16 tahun ini. Hawa keluar dan masuk dari kamar kos Nafsu. Entah berapa
hawa telah tertidur nyenyak di kamar berukuran 3 x 3 meter itu. Entah sejak
malam keberapa Nafsu mengarungi nafsu bejatnya dengan para hawa pasrah itu.
Entahlah, apakah hawa-hawa ini memang benar-benar pasrah atau malah menyerahkan
diri dengan imbalan sewajarnya? Yang pasti setelah keluar kamar 3 x 3 meter
itu, para hawa menyeringai puas. Para ahli memvonis si Nafsu terpengaruh oleh
budaya instan teknologi yang berkembang pesat. Aku pikir, Nafsu hanya salah
satu korban. Korban yang lain masih tersebar di mana-mana. Mungkin termasuk
para ahli itu, Aku, entahlah. . .
Untunglah,
Nafsu tak kena perkara. Lebih untung lagi, Nafsu belum terjangkit HIV/AIDS.
Nafsu berkilah, “Tenang saja. Aku selalu menyediakan payung. Agar mereka tak
kena hujanku”. Payung, tidak selamanya membuat kita kering kan? Aku teringat
ketika aku kecil. Ketika itu hujan mengiringi perjalanan pulangku dari sekolah.
Aku mencari daun pisang untuk menutupi tubuhku dari guyuran hujan. Sampai di
rumah, setengah badan ku basah. Celana merah sekolahku kotor terkena lumpur.
Karena aku melewati jalan tanah yang banyak kubangan airnya saat menuju rumah.
Dari sana aku berpikir, tak selamanya payung akan membuatmu kering kan?
Walaupun payungku bukan payung. Hanya sebuah daun pisang yang aku dapat di
sebelah kebun orang dekat sekolahku. Tapi tetap payung juga namanya kan? Payung
tradisional, kata kakekku dulu. Karena beliau menggunakan itu ketika dia kecil,
hingga sekarang ketika beliau datang dari sawah saat hari hujan. Kakekku memang
tak menyukai payung modern yang terbuat dari kain tipis warna-warni itu.
Katanya sulit digunakan, tidak praktis. Dasar orang tua kataku dalam hati
sambil tersenyum.
Itu
mengapa aku tak pernah yakin dengan “payung” yang dikatakan aman oleh Nafsu.
Aku peringati dia untuk tetap hati-hati, karena payung itu tidak selamanya
aman. “Jika boleh aku berpesan padamu, jangan sampai menghujaninya,” kataku
sekali waktu pada Nafsu. Nafsu hanya tersenyum. “Tidak akan puas, teman,”
jawabnya enteng. Aku menyerah, tak mau memperingatiNafsu lagi. Walau dia teman
ku.
Ketika
aku membaca koran waktu itu. Aku temui nafsu versi lain. Nafsu yang ini
melakukan aksinya di dalam angkot. Sasarannya bukan remaja jelita seperti yang
didapat temanku Nafsu, tapi ibu-ibu yang berumur di atas 30 tahun. Aku makin
terenyak ketika tahu hal itu dilakukan oleh tiga nafsu sekaligus, dalam satu
kesempatan di sebuah angkot. Besoknya, mataku membelalak melihat nafsu menyasar
kereta api. Seperti berita yang aku lihat di tv, nafsu itu benar-benar berniat
dan mencari pemuas di angkutan kalayak ramai itu. Benar adanya, nafsu tak bisa
dikendalikan, bahkan oleh si empunya nafsu.
Nafsu
yang lain pernah aku dengar di dunia pendidikan. Ketika itu, nafsu antara dosen
dan mahasiswa bimbingannya. Aku makin tak habis pikir, bagaimana mau seorang
mahasiswi jelita yang masih mulus mau dipuaskan oleh seorang dosen tua renta
bin kriput? Inilah nafsu, dengan mudah melewati batas usia, hukum, dan logika
alam manusia.
Ada
lagi nafsu milik para penguasa. Penguasa yang berada jauh di sana, yang duduk
nyaman di kursi empuk yang dibeli dari pajak-pajak rakyat yang memilihnya
ketika pemilu, juga memendam nafsu menggelora. Betapa tidak, setelah
menggelapkan triliunan uang rakyat, berkoalisi dengan mafia hukum, kini
nafsunya ia curahkan kepada hubungan gelap di kamar-kamar hotel sewaan yang
kemudian ditangkap kamera-kamera para kuli foto. Cerobohnya lagi, nafsu si
penguasa terekam ketika isedang asik menonton gambar-gambar penuh nafsu ketika
sedang rapat para penguasa. Akhir cerita, ia pun malu. Terlihat jelas dari
geraknya, walau berbanding terbalik dari kata-katanya.
Nafsu
yang lain, menyasar seorang vokalis sebuah band yang terkenal di negerinya.
Nafsu itu hingga menyeretnya ke hotel pordeo. Si nafsu “memaksa” si empunya
raga untuk meniduri beberapa rekan artis yang cantik bin bohay. Sebagian orang
iri. Sebagian orang menyesali “kesalahan” nafsunya. Nafsu memang membawa nikmat
dan sengsara di waktu yang bersamaan.
Nafsu
bisa datang dan pergi seenak udelnya. Kadang nafsu ada di kamar kos, sekali
waktu nafsu mengunjungi hotel-hotel maupun vila-vila, hingga nafsu sengaja
dipelihara di dagang patok1 yang menjamur di pinggir-pinggir
jalan.
Bagaimana
nasib Nafsu, temanku itu? Hingga detik ini, ia masih disasar nafsu. Nafsunya
masih seperti dulu. Tetap menggelora. Sudah semakin banyak malam ia lewati
dengan nafsu di kamar 3 x 3 itu. Saya tak habis pikir, apabila payung-payungnya
tidak mempan lagi. Apa yang akan dilakukannya. Memilih bersembunyi seperti
nafsu si angkot? Memilih pergi untuk menghapus malu seperti nafsu si penguasa?
Ataukah ia punya jalan lain untuk tetap memelihara nafsunya? Kata nafsu
sepertinya ditakdirkan untuk berdefinisi seperti ini, sampingkan dulu semantis
kata ini. Aku tak tahu dan tak mau tahu.
1
dagang patok = dagang minuman,
beberapa ada yang merangkap bisnis seks.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar