Apa itu berita? Apakah berita hanya mengandung fakta? Siapa
saja yang diuntungkan dalam pemberitaan sebuah berita? Apakah mungkin ada
kepentingan “lain” di balik sebuah berita? Beberapa pertanyaan inilah yang
mendasari penulisan analisis kecil ini.
Media Massa (Mass Media)
adalah chanel, media/medium, saluran, sarana, atau alat yang dipergunakan dalam
proses komunikasi massa, yakni komunikasi yang diarahkan kepada orang banyak (channel of mass communication).
Komunikasi massa sendiri merupakan kependekan dari komunikasi melalui media
massa (communicate with media).
Pesatnya kemajuan media informasi dewasa ini cukup memberikan
kemajuan yang signifikan. Media cetak maupun elektronik pun saling bersaing
kecepatan sehingga tidak ayal bila si pemburu berita dituntut kreativitasnya
dalam penyampaian informasi (Kristina, 2007). Akibatnya, media informasi pun
dalam hal ini media massa mengalami perkembangan. Pada zaman ini yang termasuk
media massa utama adalah suratkabar, majalah, radio, televisi, dan film sebagai
The Big Five of Mass Media (Lima
Besar Media Massa), juga internet (cybermedia, media online).
Jenis media yang disebut terakhir termasuk pada media massa
modern. Hal ini disebabkan oleh perkembangan teknologi dan sosial budaya yang
sangat pesat, hingga media SMS (Short
Message Service) dan telephone seluler pun menjadi media massa zaman ini
(Romli, 2009). Hal ini sah-sah saja karena salah satu dari ciri media massa
adalah menjadi perantara dan mengirim informasinya melalui saluran tertentu.
Walau pun sudah jamak media massa modern, media massa
tradisoanal tetap hidup. Media massa tradisional seperti
surat kabar,
majalah, radio, televisi, film (layar lebar) bahkan semakin
berkembang. Ini tidak lepas dari pengaruh media bagi masyarakat.
Pengaruh media bisa ditelusuri dari
fungsi komunikasi massa, Harold Laswell pada artikel klasiknya tahun 1948
mengemukakan model sederhana yang sering dikutip untuk model komunikasi hingga
sekarang, yaitu siapa (who), pesannya apa (says what), saluran
yang digunakan (in what channel), kepada siapa (to whom), dan apa
dampaknya (with what effect). Ini terbukti, surat kabar (Koran) tetap
menjadi pilihan utama, walau pun sudah banyak media massa dengan format online yang bisa diunduh gratis. Tapi
bagi saya, mungkin banyak orang di luar sana memiliki pendapat dengan saya,
bahwa membaca produk cetak lebih merupakan sebuah penikmatan pada karya seni.
Maka dari itu, penulis pun berhipotesis bahwa, media cetak
seperti koran tak akan pernah mati. Bahkan “mereka” akan terus berkembang. Ini
akan terjadi jika penulis penikmat media menikmatinya seperti menikmati seni.
Seni tak akan terganti, bagaimana pun wujudnya. Karena seni tidak ada baik dan
buruk. Seni punya pesan dan energy, atau apa pun itu. Tafsiran dan pemaknaan
atas Koran biarlah di wilayah otoritas pembacanya.
Perkembangan media di Bali cukup menarik untuk ditelusuri. Menurut
Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan (LSPP) tentang peta media di Bali, perkembangan
media di Bali diawali
pada zaman kolonial Belanda yang memiliki topik hangat tentang kasta, hingga lahirnya
Shanti Adnyana dalam bentuk kalawarta (newsletter) pada 1923. Produk ini tidak
bertahan lama, karena perpecahan intern hingga akhirnya berhenti terbit. Shanti
Adnyana kemudian berubah nama jadi Bali Adnyana yang berarti Pikiran Bali sejak
1 Januari 1924. Majalah ini terbit tiga kali sebulan yaitu tiap tanggal 1, 10,
dan 20. Pengasuhnya I Gusti Tjakratanaya dan I Gusti Ketut Putra. Ketut Nasa
dan kawan-kawannya sesama jaba kemudian mendirikan Surya Kanta sebagai
tandingan Bali Adnyana pada 1 Oktober 1925.
Perkembangan media di
Bali melewati banyak peristiwa penting negeri ini. Setelah masa kolonial
Belanda, media Bali (khusnya cetak) masih terus berkembang, walau belum
menemukan konsistensi karena situasi negeri yang masih labil. Hingga Maret
2007, koran harian yang masih terbit di Bali adalah Bali Post, Denpost,
BisnisBali, NusaBali, Radar Bali, Warta Bali, Fajar Bali, dan Patroli Post.
Selain itu ada majalah bulanan Sarad dan Raditya yang lebih banyak menulis
masalah agama Hindu dan adat Bali (LSPP, 2007).
Dari sebuah perlawanan,
kini media bisa menjadi ajang promosi diri oleh siapa pun. Lebih-lebih Bali
Post, sebuah rintisan Ketut Nadha, kerap menjadi ajang pencitraan diri, organisasi
maupun instansi. Hingga hadirlah secara khusus rubrik Seremonial pada halaman 7
dan 8. Lebih dalam lagi jika melihat dari konstruksi kalimat yang digunakan
dalam artikel-artikel pencitraan diri, maupun artikel lain pada umumnya, di
Bali Post akan kita temukan banyak “kepentingan” di sana. Seakan-akan, fungsi
media pada zaman ini telah sedikit bergeser. Pun kepentingan yang dianut si
media. Bahkan sebuah media massa zaman ini sering “menghakimi” aktor berita.
Penganjur paradigma kritisisme menilai bahwa baik
paradigma positivism maupun paradigma interpretivisme tidak peka terhadap
proses produksi dan reproduksi makna. Kedua paradigma tersebut mengabaikan
kehadiran unsur kekuasaan dan kepentingan dalam setiap praktik berwacana.
Karena itu, alih-alih mengkaji ketepatan tatabahasa menurut tradisi positivisme
atau proses penafsiran sebagaimana tradisi interpretivisme, paradigma
kritisisme justru memberi bobot lebih besar terhadap pengaruh kehadiran
kepentingan dan jejaring kekuasaan dalam proses produksi dan reproduksi makna
suatu wacana. Baik sebagai subjek maupun objek praktik wacana, individu tidak
terbebas dari kepentingan ideologik dan jejaring kekuasaan.
Meskipun ada banyak ranting aliran (variance)
dalam paradigma ini, semuanya memandang bahwa bahasa bukan merupakan medium
yang netral dari ideologi, kepentingan dan jejaring kekuasaan.
Karena
itu, analisis wacana kritis perlu dikembangkan dan digunakan sebagai piranti
untuk membongkar kepentingan, ideologi, dan praktik kuasa dalam kegiatan
berbahasa dan berwacana. Dua di antara sejumlah ranting aliran analisis wacana
kritis yang belakangan sangat dikenal adalah buah karya Norman Fairclough dan
Teun van Dijk (Eriyanto, 2001). Dibanding
sejumlah karya lain, buah pikiran van Dijk dinilai lebih jernih dalam merinci
struktur, komponen dan unsur-unsur wacana. Karena itu, model analisis wacana
kritis ini pula terkesan mendapat tempat tersendiri di kalangan analis wacana
kritis.