Beberapa waktu lalu,
novel Anak Sejuta Bintang (ASB)
sempat menuai banyak kritik pedas. Novel karangan Akmal Nasery Basral ini
menceritakan kisah masa kecil Aburizal Bakrie. Dan karena itu lah penulis yang
juga aktif di media mikroblog twitter, Goenawan Mohamad ini sempat mengecap
novel ABS sebagai “sastra pilpres”. Novel ABS ini dicurigai sebagai novel
pencitraan. Tetapi penilaian masih sebatas kitrikan secara kasar. Karena belum
tentu penyair senior yang memposting kicauannya (tweet) pada 29 Januari 2012
lalu itu membaca secara menyeruluh teks dalam novel ASB.
ABS adalah novel yang
mengandung motivasi dan (katanya) edukasi. Tetapi permasalahan yang akan saya
bicarakan bukanlah masalah apakah sosok Ical – panggilan Aburizal Bakrie –
cocok, atau menginspirasi atau tidak. Yang menjadi sorotan saya adalah
munculnya kisah-kisah inspiratif dan motivatif akhir-akhir ini. Dan novel-novel
yang berkisah seperti itu laku di pasaran, bahkan mendapat predikat bestseller.
Sejak Laskar Pelangi (dan tetraloginya), novel
semi-otobiografis – setidaknya itu sebutan yag diberikan orang-orang- karya
Andrea Hirata dinikmati masyarakat. Tidak berhenti sampai tetralogi Laskar Pelangi, kisah-kisah ‘masa lalu’
sang pengarang asli Belitong ini pun muncul lagi dalam karya-karya selanjutnya.
Setelahnya, novel-novel serupa pun bermunculan. Seperti Negeri 5 Menara (dan triloginya) karya Ahmad Fuadi yang ‘bernasib’
serupa dengan Laskar Pelangi. Novel
ini juga bisa digolongkan sebagai novel semi-otobiografis. Dan masih ada
beberapa novel serupa yang muncul beberapa tahun belakangan. Novel-novel di
atas bernafas sama, yaitu menghembuskan motivasi bagi para pembacanya.
Sah-sah saja sebuah
novel atau karya sastra memantik semangat pembacanya. Tapi apakah itu tujuan
utama sebuah karya sastra? Atau yang lebih mendasar, apakah karya sastra adalah
fiksi (imajinasi). Tetapi novel-novel motivasi (istilah ini bukan sebuah
penggolongan sastra) dan berpredikat bestseller
di atas adalah pengalaman nyata pengarangnya atau orang lain. Jika seperti ini,
apakah novel-novel ini masih bisa dikatakan sebagai karya sastra?
Reaksi sebagai sebuah
sastra motivasi muncul ketika sebuah novel mampu memberi kesan dan agaknya
dapat mengobati kegelisahan-kegelihan di hati pembaca mengenai kehidupannya.
Lalu peristiwa yang dihadirkan oleh pengarang yang merupakan kisah nyata nan
inspiratif juga ide-ide yang dihadirkan menjadi kekal di pikiran pembaca.
Apalagi ketika kejadian dalam untaian cerita itu memiliki kemiriban dengan yang
pernah pembaca alami. Maka pembaca pun memuji dan memberi kesan.
Dan motivasi-motivasi
maupun kisah-kisah inspiratif tidak hanya lahir melalui kisah-kisah orang
sukses. Terkadang penulis mengembangkan cerita-cerita itu dari potret kehidupan
yang lebih beragam. Sehingga lahirnya buku-buku semacam Cacing dan Kotoran Kesayangannya dan cerita-cerita inspiratif dari
acara Kick Andy serta kisah-kisah
dari para guru muda proyek Indonesia
Mengajar. Buku-buku itu bukan novel tapi untaian kisah-kisah inspiratif
yang ketika dilempar kepasaran menjadi buku-buku bestseller. Masyarakat mulai menyenangi kisah-kisah seperti ini.
Kian banyak kisah
motivatif yang selalu memantik minat banyak orang. Tidak tertutup kemungkinan
ke depan akan makin banyak lahir buku-buku semacam ini. Dan akhirnya, ini akan
baik untuk perkembangan sastra. Sastra akan tersaji dengan lebih santai dan
dibaca dengan santai pula. Tidak dengan kening yang berkerut-kerut. Inilah yang
saya pikir kelebihan novel-novel jenis ini.
Mengenai, apakah
kisah-kisah seperti ini bisa dimasukkan dalam golongan sastra karena
menghadirkan fakta bukan fiksi seperti yang sudah lama dikenal sebagian orang,
saya pikir tentu saja bisa. Mengapa tidak. Sastra dilahirkan oleh kreativitas
dan estetika yang melebur menjadi untaian makna yang multitafsir. Saya pikir
sastra adalah menyubliman ekspresi dari budaya.
Sebuah sastra,
khususnya novel ataupun cerpen sekalipun sebenarnya berupa sketsa-sketsa
kehidupan yang kerap terjadi di sekitar penulis. Bahkan kisah-kisah tersebut
langsung dialami penulisnya dan terkadang pembaca pun seakan pernah mengalami
kisah-kisah itu. Maka dari itu, lahirlah novel-novel seperti Laskar Pelangi maupun Negeri 5 Menara. Tapi tidak serta merta
sketsa-sketsa kehidupan itu ditampilkan ‘telanjang’. Cerita-cerita itu dibangun
dari cuplikan pragmen-pragmen hidup yang tidak harus condong membangun sebuah
cerita utuh.
Cerita pada sebuah
sastra tidak mungkin hanya berasal dari khayalan pengarang saja. Tokoh-tokoh
dalam sebuah cerita mungkin saja menunjuk pada sosok yang memang hidup di dunia
nyata. Hanya saja sosok-sosok itu dihadirkan dengan mengikuti jalan cerita atau
jalan hidup yang telah dibuat pengarangnya. Dan merekapun telah memasuki dunia
baru yaitu alur yang telah diciptakan pengarangnya. Jadi tak ada alasan untuk
meragukan Laskar Pelangi dan
novel-novel bernafas serupa bukanlah sebuah karya sastra.