Minggu, 29 September 2013

Bernard Batubara Kembali Bercerita



Saya pertama mengenal nama Bernard Batubara melalui film Radio Galau FM. Sebuah film yang diadaptasi novel berjudul sama karangan Bara (nama panggilan bang Bernard Batubara). Film dengan alur sederhana, cerita yang sudah sering kita temukan dalam kehidupan sehari-hari, namun tetap menarik disimak. Nah, poin terakhir inilah yang menurut saya jadi kelebihan bang Bara. Dia bisa menulis cerita sederhana namun tetap memikat. Saya membaca hingga tidak sadar saya sudah menyelesaikannya tanpa sempat berhenti. Senjata lain dari bang Bara yang bisa memikat siapa saja adalah bahasa yang digunakan relatif ringan dengan minim metafora berat namun tetap bisa merasuk hati. Setiap halaman cerita yang bang Bara buat selalu berpotensi menyimpan kejutan.
Bang Bara sangat produktif. Dalam satu tahun ini saja dia sudah melahirkan 3 buah buku. Sampai tulisan ini diposting, sudah ada draf cerita yang siap dicetak. Gila nggak tuh! Kata Hati (novel), Milana (kumcer), dan kemudian Cinta dengan titik (novel) terbit dengan kualitas yang prima. Secara tidak langsung ini menjadi sebuah motivasi buat saya yang masih segini-segini saja. Sudah beberapa tahun, draf-draf tulisan masih saja bersembunyi dalam folder-folder laptop. Mungkin sudah banyak sarang laba-labanya.

Buku terbaru bang Bara (sumber: http://www.bisikanbusuk.com)

Minggu, 01 September 2013

Catatan Tentang Cerpen Siswa


Setelah lama tidak menulis di blog ini, akhirnya saya muncul kembali. Saya absen beberapa waktu karena disibukkan dengan skripsi yang sampai tulisan ini diposting, skripsi itu belum selesai. Penuh tantangan, banyak pelajaran, dan cukup memusingkan. Skripsi saya tentang gaya bahasa pada cerpen siswa. Nah, berbicara tentang cerpen karya siswa, ada beberapa titik kelemahan yang mestinya bisa mulai disoroti untuk pembelajaran cerpen ke depannya. Meskipun saya hanya menggunakan cerpen dari satu kelas, ini cukup untuk menggambarkan kondisi menulis cerpen di kalangan siswa secara umum. Bahkan, dalam lomba-lomba menulis cerpen yang diikuti pelajarpun kadang ditemui kelemahan-kelemahan yang sama.

Sebagian besar naskah yang saya gunakan untuk skripsi mengalami permasalahan kedodoran dalam persoalan bahasa. Rata-rata peserta belum mampu menulis atau mengarang dengan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Mereka lemah dalam hal penggunaan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dan tata bahasa. Gaya bahasa gaul (prokem) dan kalimat-kalimat bahasa Inggris mendominasi naskah peserta lomba. Ini menunjukkan peserta kurang percaya diri menggunakan bahasa nasionalnya. Atau, jangan-jangan pelajaran bahasa dan sastra Indonesia kurang mendapat perhatian di sekolah-sekolah di Bali.

Unsur-unsur intrinsik cerpen juga kurang tergarap dengan baik, seperti pemilihan tema, setting cerita, plot/alur, penokohan, gaya bahasa, dialog, amanat, sudut pandang pengarang. Sebagian besar peserta mengangkat tema percintaan remaja, dengan bahasa yang sangat “ABG”. Sebenarnya tema percintaan bisa saja diangkat menjadi cerpen yang menarik, tergantung bagaimana cara menuturkan atau mengemasnya sehingga enak dibaca. Tema percintaan akan menjadi basi jika dituturkan dengan cara “begitu-begitu” saja, terlalu konvensional, dan tanpa angle (sudut pandang) yang menarik.

Berkaitan dengan tema yang segaram, kelemahan lain siswa dalam menggarap tema menjadi sebuah cerpen adalah tema yang diangkat terlalu dipaksakan. Hal ini disebabkan karena kurang eksplorasi, riset, atau memahami pokok persoalan yang sedang ditulis menjadi cerpen. Artinya, peserta harus lebih banyak membaca, mengadakan riset, atau studi banding dengan cerpen-cerpen yang mengangkat tema serupa. Semoga dengan beberapa temuan kelemahan ini, pembelajaran cerpen di sekolah atau pun di luar sekolah bisa lebih baik dan tidak tertutup kemungkinan untuk para otodidak juga.