Selasa, 08 Mei 2012

Pemerintah Merusak Ekologi Hanya Demi Pencitraan?

Sangat mengerikan melihat foto yang terpampang di halaman depan Bali Post, Minggu 6 Mei 2012. Sebuah foto alat berat mencaplok 2,3 hektar hutan bakau. Bersama timbunan batu kapur yang siap menutup rimbunan bakau yang akan menjadi legenda. Cepat atau lambat, pembunuhan massal ekologi di tiga titik, yaitu Benoa, seputaran Bandara Ngurah Rai, dan ujung Nusa Dua tak akan terelakkan.
Inilah proyek pencitraan jangka pendek yang jangka panjangnya akan makin mengikis unsur palemahan yang ada di Bali, pulau kecil yang telah digelari pulau surga oleh dunia. Sesungguhnya, hal ini sama saja menggoyangkan aplikasi konsep Tri Hita Karana yang hendaknya sama-sama kita jaga. Konsep keseimbangan tiga unsur yang hendaknya berjalan beriringan tanpa saling mendahului ini menjadi penjaga keseimbangan jagat sekala-niskala Bali.
Apakah tidak ada alternatif lain yang bisa dilakukan penguasa tanpa merusak alam Bali yang indah hanya untuk mendukung APEC 2013 itu? Menghancurkan hektar demi hektar hutan bakau.
Mari menyadari bahwa kita hidup di wilayah dengan risiko tsunami yang cukup tinggi. Hutan bakau adalah salah satu tameng vital dalam melindungi kita dan wilayah kita dari serangan tsunami ganas itu. Apakah para kuasa proyek jalan tol ini telah memikirkan hal ini? Apologi-apologi dari penguasa hanya untuk menyelimuti kepentingan dengan pembenaran-pembenaran busuk. Saya berani bertaruh, jika pun ada elemen pengganti yang disiapkan dalam mengatasi kerusakan ekologi yang terjadi saat ini, maka tidak akan bisa mengatasi masalah sebaik yang tergantikan. Hutan bakau akan jadi legenda. Tahun 2050 nanti Bali akan tenggelam hanyut oleh ulah para penguasa yang mengeruk bakau hanya untuk kepentingan sepihak.
Ketika kerakusan penguasa yang selalu pintar memanfaatkan setiap momen demi kepentingan sepihak, maka masyarakat janganlah merasa takut Bali tenggelam karena tameng-tameng telah tergerus proyek. Kita akan tenggelam bersama-sama. Karena inilah ''program kerja'' para wakil kita, para wakil yang mengatasnamakan karyat dan kepentingan umum.
Memang kita bersama harus menyadari setiap kebijakan memiliki kadar risiko yang berbeda-beda, baik positif maupun negatif. Sebab, setiap keputusan terbaik tidak selalu berdampak pada kebaikan bersama. Sebuah keputusan hanyalah sebuah pilihan yang harus segera dieksekusi agar tetap survive dalam hidup. Jika kebijakan yang dibuat terkait pembangunan jalan tol ini adalah sebuah keputusan yang terbaik untuk Bali dan APEC 2013, semoga saja ekologi yang telah rusak memakluminya.
Ketika lahir dampak yang merugikan, jangan ada yang menunjukkan alibi. Jangan menjadi pengecut menyerahkan bencana sepenuhnya pada rakyat. Jangan pula mendadak lupa dan mengaburkan kasus yang sangat perlu penyelesaian final. Jangan menjadi Lapindo! Jika tidak ingin menghadapi risiko, mari pikirkan langkah alternatif. Belum terlambat untuk menghentikan langkah.

Minggu, 06 Mei 2012

Tengoklah Ruang-ruang Kelas Itu

Pada dasarnya pendidikan tidak hanya sekedar melibatkan proses penambahan pengetahuan (intelektualitas) saja, tapi juga harus mengarah pada pengembangan karakter dan motivasi di kalangan peserta didik untuk bekal hidup. Pendidikan hendaknya mengajarkan sikap dan kehidupan.
Siswa yang mendapat nilai 10 mata pelajaran Matematika di kehidupan kelas tidak bisa mengukur volume kardus mie instan yang kerap ia makan di kehidupan nyata. Miris. Siswi yang mendapat ujian nasional 10 mata pelajaran Bahasa Inggris, tak pernah berani bercakap-cakap dengan wisatawan asing pada kehidupan nyata. Menyedihkan.
Lalu sikap generasi muda yang cepat puas dengan sesuatu menjadi sifat manja yang sangat memprihatinkan. Hati saya miris menyaksikan reaksi siswa-siswa SMA dan sederajat yang gagal ujian nasional melalui tayangan stasiun-stasiun televisi di Tanah Air beberapa tahun lalu.
Lebih menyedihkan lagi, masih ada siswa yang mengambil jalan pintas dengan mengakhiri hidupnya sendiri karena dinyatakan tidak lulus salah satu mata pelajaran (Kompas.com, 28/4/2010). Saya berpikir, inilah akibatnya jika pendidikan hanya berorientasi ujian nasional. Pendidikan bertahun-tahun sekolah hanya untuk mendapat ijazah, tidak lebih dari itu. Setelahnya, tak berguna sama sekali. Indonesia memroduksi SDM berjiwa konsumtif bukan produktif.
Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia setelah China (1,346 juta jiwa), India (1,198 juta jiwa), dan Amerika Serikat (315 juta jiwa). Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 lalu adalah 237.641.326 jiwa. Negara seperti Indonesia, dengan populasi keempat terbesar di dunia, harus mampu mengembangkan sumber daya manusia melalui pendidikan dan pengembangan bakat. Pengembangan sumber daya manusia memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan eksplorasi sumber daya alam. Upaya pengembangan sumber daya manusia inilah yang masih minim dan terkesan setengah hati.
Pertanyaan klise yang kerap muncul adalah mengapa negara seperti Indonesia yang memiliki kekayaan alam melimpah tidak berkorelasi positif terhadap kesejahteraan rakyatnya? Sejarah telah membuktikan bahwa kekuatan daya saing suatu bangsa bukan ditentukan oleh sumber daya alam, tapi ditentukan oleh sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya manusia merupakan kekayaan yang lebih berharga daripada sumber daya alam. Negara dengan sumber daya manusia yang melimpah dan berkualitas adalah faktor yang mampu meningkatkan produktivitas dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi serta dapat memberikan nilai tambah bagi daya saing bangsa.
Pemikiran masyarakat adalah pengaruh ‘pendidikan’ yang pernah mereka rasakan. Terjadi kesalahan dalam sistem pendidikan suatu negara bisa dilihat dari pemikiran dan perilaku masyarakatnya. Sudah terlalu banyak apologi yang diberikan sistem pendidikan agar terus berjalan seperti ini, untuk pembodohan secara sistematis.
Pada dasarnya, dua mata rantai ini bersumber pada satu hal: pendidikan. Potret pendidikan bangsa kita yang masih didominasi oleh kalangan menengah ke atas, ditambah lagi dengan komersialisasi pendidikan, telah memburamkan harapan anak-anak bangsa yang kurang berkecukupan untuk menikmati pendidikan. Konsep pendidikan untuk semua kalangan belum bisa diimplementasikan. Akibatnya, muncullah citra bahwa pendidikan hanya bagi orang kaya dan menjadi simbol status sosial.
Pendidikan di desa atau daerah pelosok masih belum terjamah renovasi. Sangat prihatin melihat pembritaan kondisi gedung SD. No. 2 Senganan, Penebel, Tabanan yang rusak sejak 2008 tapi belum terjamah sedikitpun. Mari ingat-ingat, hari ini sudah tahun berapa?
Dilaporkan Metrobali.com, kondisi tiga ruang kelas memang kondisinya sangat parah di bagian atap, beberapa bagian kosen jendela lapuk di makan rayap. Bahkan sepertiga atap ruangan kelas “terngangga” sehingga sinar matahari langsung menerobos masuk ruangan. Lebih parah lagi jika hujan tiba, kondisi belajar praktis menjadi kacau dan aktivitas belajar langsung dihentikan.
Selama itu lah para siswa belajar di emper kelas. Sungguh miris. Jika keadaannya seperti ini terus, bagaimana bisa pemerataan pada sistem pendidikan. Pendidikan untuk siswa miskin masih belum terealisasi. Inilah kewajiban yang benar-benar harus disadari. Karena terkadang beasiswa miskin tak tepat sasaran.
Birokrasi pendidikan harus benar-benar satu visi, karena hari ini orang-orang di birokrasi masih berjalan di atas kepentingan sendiri. Terjadilah adu kepentingan yang sangat tidak penting.
Pendidikan seharusnya menjadi dataran bersama yang menempatkan seluruh anggota masyarakat untuk mewujudkan cita-cita bersama. Pendidikan menciptakan pengetahuan bersama yang menjadi dasar seluruh tindakan bernegara sehingga kesatuan bangsa dapat diwujudkan berdasar prinsip kesetaraan untuk mencapai kemajuan bersama. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya menduduki ruang utama dalam rangka pembangunan bangsa dan negara.
Pendidikan tidak menggurui. Pendidikan juga harusnya tidak mematikan potensi peserta didik. Rancangan pendidikan dari pusat terkadang sudah sangat bagus, tetapi setelah diterapkan di bawah selalu melahirkan penyimpangan terstruktur.
Arti dari pendidikan itu sendiri seharusnya tidak direduksi hanya untuk mendapatkan ijazah dan nilai tinggi ketika ujian nasional. Pendidikan harus mencakup seluruh aspek kehidupan sebagai bekal hidup para tamatannya. Membatasi pendidikan hanya untuk mengejar kemampuan kognitif sebenarnya telah menyempitkan hakikat pendidikan itu sendiri. Pendidikan tidak hanya tentang proses pembelajaran teknis, tapi juga membantu setiap manusia untuk dapat mengembangkan bakat dan mempersiapkan diri untuk menjadi pemimpin di masa depan yang berintegritas dan bertanggung jawab. Setidaknya sebagai pemimpin bagi dirinya sendiri.
Kemajuan pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran para pendidik. Para pendidik tidak hanya bertugas mengajar saja, tapi juga harus mampu memberi teladan, motivasi, dan dorongan. Pendidik, dalam hal ini tidak hanya guru di sekolah tapi juga orang tua, harus bisa menumbuhkan niat dari diri sendiri lalu menginveksi para peserta didik. Pendidikan harus dimulai dari lingkungan keluarga, kemudian beranjak ke lingkup yang lebih besar, sehingga terbentuklah masyarakat pembelajar yang kondusif.
Beberapa hal yang kiranya perlu dilakukan adalah: (1) pendidik harus membantu para peserta didik untuk dapat berpikir terbuka (open mind), merangsang intelektualitas dan meluaskan cakrawala berpikir para peserta didik; (2) menanamkam budaya berinovasi siswa agar kreatif dan produktif hingga sifat konsumtif terdegradasi; (3) membangun sikap saling percaya antara pendidik dan peserta didik.
Hal-hal yang tersebut di atas hanyalah beberapa ‘usulan’ kecil untuk satu sisi pendidikan guna membenahi pendidikan negeri ini. masih banyak hal yang seharusnya mulai kita pikirkan bersama-sama demi mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana dituliskan UUD 1945.


Sabtu, 05 Mei 2012

Tiga Sajak Pendek


Pagi dan Embun yang Santun
Aku pagi dan engkau embun. Pagi ceria dengan embun yang santun. Aku sudah tak ada ketika mentari menembusmu. Embun kini ditemani pagi di ujung daun.


Cinta Pagi
Menjawab tanpa jawaban. Cintaku adalah rasa asin di lautmu. Pagi mengira, mentari sanggup melarung asin kita yang berlebih hingga menyatu.
Menjawab tanpa jawaban. Cintaku adalah bunga-bunga yang tumbuh di sela rumput liar. Pagi mengira, engkau yang memekarkan bungaku.


Untuk Sebuah Petang
Selembar malam yang aku rindu. Segulung pagi yang terlewati. Sesobek siang yang menyengat. Petang hadir dengan rumit. Tak bisa kumengerti sebagai rumus-rumus matematika. Terlalu panjang barisan antara nol dan koma.
Terlalu susah dipahami nyata.




Singaraja, jumat malam, 04052012

Jumat, 04 Mei 2012

Puisi Juara Gue

Tanggal 1 Maret 2012 itu adalah hari yang paling mengejutkan buat hidup gue. Ya setidaknya, sampe gue ngetik post ini, hehe. Gue nggak nyangka puisi iseng yang gue kirim ke lomba puisi yang diselenggarakan sama himpunan mahasiswa jurusan gue jadi juara 1. Puisi itu judulnya Senyum Kopi. Puisi paling ngaco yang gue buat, tapi dengan penyajian yang sok serius.
Puisi itu lahir ketika gue sedang nyruput kopi sebulan yang lalu, tepatnya Maret. Cuma gara-gara ngebayangin senyum seorang cewe ketika menyeruput kopi, gue bisa nulis puisi ‘juara’ itu. Ajaib sebenernya. Selain jadi juara 1 lomba, puisi gue juga dibacakan perdana di depan orang banyak. Dibacakan dengan sangat baik di gelaran malam sastra, di depan teman-teman se-jurusan dan para dosen gue. Bangga banget. Itu pembacaan pertama lhoo, dan gue pun belum sempet bacain puisi itu di depan orang setelah ditulis. Lucu ya :p.
Terharu banget dengernya ketika itu. Puisi gue dibacain oleh siswi SMA juara lomba puisi SMA se-Singaraja yang diselenggarakan oleh jurusan gue. Oia, gue kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Singaraja, Bali, ngambil jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia. Jurusan tercinta yang selalu menginspirasi. Pembacaan yang sangat menjiwai oleh siswi bergaun kuning. Seseorang yang sampe saat ini nggak gue kenal. Miris.
Ini dia puisi ‘juara’ gue..




Senyum Kopi
Aroma pagimu selalu saja lebih segar,
ringan membuka pintu hari

Aku masih terus-terusan betah duduk dalam waktu seperempat malam,
menarik selimut subuh,
bersikeras gelap masih menyertaiku

Senyum kopi menyambut seketika,
kedua kelopak mata kita bersentuhan rasa,
berhenti dengan rapi dalam jarak sekian senti dari cangkir kopiku yang mengepulkan asap dan aroma pagi yang kita kenal baik

Selamat pagi, katamu, dan matamu
Sekilas aku tersenyum mengingatnya dekatku pada suatu sarapan pagi.


(esabhaskara)

Selasa, 01 Mei 2012

Essai Perdana di Media Masa Lokal. Sumpah Gugup.


Sebuah ‘pemikiran’ gue dimuat di harian Bali Post, 29 April 2012. Akhirnya, setelah cukup lama menunggu, setelah berkali-kali gagal muat, setelah beberapa kali dikembalikan, satu yang lolos. Sebuah artikel yang menurut gue ‘remeh’ tapi ternyata hebat. Ini tulisan perdana, pengalaman pertama, dimuat di rubrik essai, kalau di rubrik suara hati dan suara mahasiswa sudah sering. Entahlah, ini ajaib! Terkadang, tulisan-tulisan gue dengan konsep pemikiran sederhana yang ‘menang’. Sedang tulisan yang agak terkesan ‘berat’ malah tidak masuk hitungan.
Tulisan gue yang dimuat di Bali Post Minggu itu berjudul ‘Membuat Majalah Sekolah Yuk!’. Sebuah ajakan untuk membangkitkan pers sekolah, khususnya pers abu-abu. Keberadaan media komunikasi masa seperti majalah sekolah sangat penting adanya. Kesadaran inilah yang coba gue ‘doktrin’ ke kepala pembaca.
Berhasil atau nggaknya, belum ketahuan sih. Heehe.
ini dia tulisan gue yg dimuat Bali Post