Penulis : Gde Aryantha Soethama
Penerbit : Penerbit Buku Kompas
Tahun : I, 2011
Halaman : 316 halaman
Harga : Rp. 54.000
Ada gula ada semut.
Bali adalah gula dan di luar sana sudah banyak semut yang bersiaga menikmati
gula itu. Bali merupakan kota pariwisata yang eksotik. Selain itu Bali
memiliki bentangan alam yang elok, budaya dan adat istiadat masyarakat setempat
yang melimpah ruah sekaligus menawan dan memikat hati wisatawan. Tidak salah bila
Bali kerap dijadikan sebagai tempat tujuan utama oleh para wisatawan baik lokal
maupun mancanegara.
Itulah beberapa
penggambaran Bali secara umum oleh orang-orang luar Bali, orang luar yang sudah
lama tinggal di Bali. Seperti yang dituliskan oleh penulisnya, Gde Aryantha
Soethama dalam pengantar buku ini bahwa sudah terlalu banyak tulisan tentang
Bali, tampil dengan aneka rupa dan sudut pandang. Tulisan-tulisan itu bisa
dikatakan kurang akurat, sehingga orang-orang menjadi sangsi: Bali yang
sesungguhnya seperti apa?
Maka, kehadiran buku
ini seakan menjadi kunci jawaban atas pertanyaan tadi. Sebuah sajian asli dari
Bali oleh seorang Bali yang secara otentik melakoni segala kehidupan di Bali
setiap hari. Ini penting untuk mengenal persoalan-persoalan Bali lebih dalam. Gde
Aryantha dalam kumpulan tulisannya, Jangan Mati di Bali ini tak hanya
mempertanyakan Bali, tapi juga melakukan kritik atas perubahan-perubahan sosial
yang terjadi di Bali.
Banyak sisi mengenai
Bali yang "disentuh" oleh Gde Aryantha, mulai dari adat, kesenian,
makanan, wisata, hikayat, hingga polah orang Bali. Semuanya ia sajikan dalam
tulisan yang ringan, santai, sesekali dibumbui humor, tanpa kehilangan daya
kritisnya.
Kemudian soal
desakralisasi kesenian Bali, misalnya saja tarian. Demi memperkenalkan tarian
Bali ke publik secara luas, tarian sakral Bali dikemas dengan cara yang
berbeda. Alhasil, tarian sakral penuh makna menjadi "tarian pop" yang
lebih mudah dicerna dan dikonsumsi oleh publik.
Perubahan sosial karena
persentuhan dengan budaya luar secara teoritis sulit untuk dihindari. Namun ini
bukanlah justifikasi untuk membiarkan Bali berubah. Apalagi trend perubahan itu
menjurus ke arah lenyapnya lokalitas Bali. Padahal, lokalitas tersebut
merupakan daya tarik wisata.
Lewat buku ini Gede Aryantha seolah ingin mengingatkan bahwa
masyarakat Bali harus mewaspadai kecenderungan-kecenderungan negatif akibat
komodifikasi budaya Bali. Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme
jutru akan membuat persoalan kian pelik. Dari apa yang diungkapkan
oleh Gde Aryantha, pembaca akan melihat bahwa perubahan-perubahan dalam
masyaratak telah terjadi secara memprihatinkan. Ironisnya, perubahan itu tidak
disadari oleh masyarakat Bali itu sendiri.
Orang Bali seakan
“diperingati” agar jangan terlena oleh sanjungan dan tepuk tangan saat kita
terlalu asik mengbral kesakralan seni pertunjukan Bali. Kemungkinan terburuk
yang ditakuti adalah menguapnya sanjungan itu menjadi makian yang melukai
keharuman seni Bali (Takdir Bali, Jadi Tontonan hal. 233). Menyerahkan diri
kepada permintaan pasar turisme jutru tidak bagus.
Orang Bali juga
hendaknya mulai waspada akan pujian yang menyerang bertubi-tubi. Jangan sampai
mabuk pujian hingga lupa melakukan kegiatan-kegiatan produktif untuk menandingi
keunggulan bangsa Barat. Waktu kita telah banyak hilang untuk mengejawantahkan
simbol-simbol dalam upacara yang rumit (Jangan Biarkan Kami Primitif hal 207).
Industrialisasi selalu
membawa perubahan pada kehidupan sosial. Begitu juga dengan industri pariwisata
di Bali. Di pulau nan elok itu, kesakaralan, kearifan lokal, dan pemaknaan atas
spiritualitas, telah mengalami perubahan. Lain dari itu contoh
kegagalan pemerintah termasuk masyarakat adat untuk memertahankan daerahnya
semakin pesat.
Seakan-akan orang Bali
akan melakukan sesuatu asal diberi uang. Para wisatawan pun berpikir
seakan-akan semua yang ada di Bali bisa dibeli. Ini yang berbahaya. Jangan
sampai ungkapan orang Bali lebih gesit dalam menjual tanah daripada membeli
terus berlarut-larut.
Apakah hal itu semata-mata karena pariwisata di Bali
digenjot habis-habisan demi keuntungan. Atau karena masyarakat Bali kini lebih
realistis, dalam arti mereka lebih memilih uang ketimbang nilai-nilai lokal
yang sebelumnya sulit untuk diusik. Inilah pertanyaan-pertanyaan untuk Bali
dalam rangka mempertahankan Bali ke depannya. Gde Aryantha berhasil menjawabnya
dengan paparan pengalaman-pengalaman singkat dalam buku ini.
Paparan singkat mengenai Antipoligami (hal 2) seakan
melegakan para laki-laki Bali. Sebelumnya laki-laki Bali dicap sangat gemar
berpoligami, membiarkan istri mencari nafkah dan mengurus keluarga. Lelaki Bali
juga ditegarai suka membuang-bunag waktu di bale banjar dan suka mencampakkan
perempuan. Sebenarnya anggapan-anggapan itu berasal dari analisis yang dangkal.
Secara turun temurun di Bali telah ada awig-awig yang mengharuskan lelaki Bali
monogami. Mereka yang mendapat pandangan jelek hanya termakan kehidupan modern.
Catatan yang dibuat Gde Aryantha dalam rentang setengah abab
ini menjadi
peringatan bagi kawasan potensial wisata lain di Indonesia pada umumnya dan
Bali secara khusus. Kekeliruan dalam menerjemahkan kebutuhan industri wisata
akan memunculkan masalah sosial dan budaya yang kian parah.
Sudah saatnya semua
pihak yang berkepentingan memajukan wisata harus memiliki strategi yang tepat.
Sebuah strategi yang dapat menjawab kebutuhan persaingan wisata, tanpa
mengorbankan identitas lokal yang potensial mencabut masyarakat dari akar
budayanya. Apalagi mematikan sektor lain demi membangun pariwisata. Sungguh tidak
bijak kiranya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar