Selasa, 27 Maret 2012

Resensi: Jangan Mati di Bali; Upaya Menemukan Bali


Judul      : Jangan Mati di Bali
Penulis   : Gde Aryantha Soethama
Penerbit  : Penerbit Buku Kompas
Tahun     : I, 2011
Halaman : 316 halaman
Harga      : Rp. 54.000


Ada gula ada semut. Bali adalah gula dan di luar sana sudah banyak semut yang bersiaga menikmati gula itu. Bali merupakan kota pariwisata yang eksotik.  Selain itu Bali memiliki bentangan alam yang elok, budaya dan adat istiadat masyarakat setempat yang melimpah ruah sekaligus menawan dan memikat hati wisatawan. Tidak salah bila Bali kerap dijadikan sebagai tempat tujuan utama oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Itulah beberapa penggambaran Bali secara umum oleh orang-orang luar Bali, orang luar yang sudah lama tinggal di Bali. Seperti yang dituliskan oleh penulisnya, Gde Aryantha Soethama dalam pengantar buku ini bahwa sudah terlalu banyak tulisan tentang Bali, tampil dengan aneka rupa dan sudut pandang. Tulisan-tulisan itu bisa dikatakan kurang akurat, sehingga orang-orang menjadi sangsi: Bali yang sesungguhnya seperti apa?
Maka, kehadiran buku ini seakan menjadi kunci jawaban atas pertanyaan tadi. Sebuah sajian asli dari Bali oleh seorang Bali yang secara otentik melakoni segala kehidupan di Bali setiap hari. Ini penting untuk mengenal persoalan-persoalan Bali lebih dalam. Gde Aryantha dalam kumpulan tulisannya, Jangan Mati di Bali ini tak hanya mempertanyakan Bali, tapi juga melakukan kritik atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Bali.
Banyak sisi mengenai Bali yang "disentuh" oleh Gde Aryantha, mulai dari adat, kesenian, makanan, wisata, hikayat, hingga polah orang Bali. Semuanya ia sajikan dalam tulisan yang ringan, santai, sesekali dibumbui humor, tanpa kehilangan daya kritisnya.
Kemudian soal desakralisasi kesenian Bali, misalnya saja tarian. Demi memperkenalkan tarian Bali ke publik secara luas, tarian sakral Bali dikemas dengan cara yang berbeda. Alhasil, tarian sakral penuh makna menjadi "tarian pop" yang lebih mudah dicerna dan dikonsumsi oleh publik.
Perubahan sosial karena persentuhan dengan budaya luar secara teoritis sulit untuk dihindari. Namun ini bukanlah justifikasi untuk membiarkan Bali berubah. Apalagi trend perubahan itu menjurus ke arah lenyapnya lokalitas Bali. Padahal, lokalitas tersebut merupakan daya tarik wisata.
Lewat buku ini Gede Aryantha seolah ingin mengingatkan bahwa masyarakat Bali harus mewaspadai kecenderungan-kecenderungan negatif akibat komodifikasi budaya Bali. Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme jutru akan membuat persoalan kian pelik. Dari apa yang diungkapkan oleh Gde Aryantha, pembaca akan melihat bahwa perubahan-perubahan dalam masyaratak telah terjadi secara memprihatinkan. Ironisnya, perubahan itu tidak disadari oleh masyarakat Bali itu sendiri.
Orang Bali seakan “diperingati” agar jangan terlena oleh sanjungan dan tepuk tangan saat kita terlalu asik mengbral kesakralan seni pertunjukan Bali. Kemungkinan terburuk yang ditakuti adalah menguapnya sanjungan itu menjadi makian yang melukai keharuman seni Bali (Takdir Bali, Jadi Tontonan hal. 233). Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme jutru tidak bagus.
Orang Bali juga hendaknya mulai waspada akan pujian yang menyerang bertubi-tubi. Jangan sampai mabuk pujian hingga lupa melakukan kegiatan-kegiatan produktif untuk menandingi keunggulan bangsa Barat. Waktu kita telah banyak hilang untuk mengejawantahkan simbol-simbol dalam upacara yang rumit (Jangan Biarkan Kami Primitif hal 207).
            Industrialisasi selalu membawa perubahan pada kehidupan sosial. Begitu juga dengan industri pariwisata di Bali. Di pulau nan elok itu, kesakaralan, kearifan lokal, dan pemaknaan atas spiritualitas, telah mengalami perubahan. Lain dari itu contoh kegagalan pemerintah termasuk masyarakat adat untuk memertahankan daerahnya semakin pesat.
Seakan-akan orang Bali akan melakukan sesuatu asal diberi uang. Para wisatawan pun berpikir seakan-akan semua yang ada di Bali bisa dibeli. Ini yang berbahaya. Jangan sampai ungkapan orang Bali lebih gesit dalam menjual tanah daripada membeli terus berlarut-larut.
Apakah hal itu semata-mata karena pariwisata di Bali digenjot habis-habisan demi keuntungan. Atau karena masyarakat Bali kini lebih realistis, dalam arti mereka lebih memilih uang ketimbang nilai-nilai lokal yang sebelumnya sulit untuk diusik. Inilah pertanyaan-pertanyaan untuk Bali dalam rangka mempertahankan Bali ke depannya. Gde Aryantha berhasil menjawabnya dengan paparan pengalaman-pengalaman singkat dalam buku ini.
Paparan singkat mengenai Antipoligami (hal 2) seakan melegakan para laki-laki Bali. Sebelumnya laki-laki Bali dicap sangat gemar berpoligami, membiarkan istri mencari nafkah dan mengurus keluarga. Lelaki Bali juga ditegarai suka membuang-bunag waktu di bale banjar dan suka mencampakkan perempuan. Sebenarnya anggapan-anggapan itu berasal dari analisis yang dangkal. Secara turun temurun di Bali telah ada awig-awig yang mengharuskan lelaki Bali monogami. Mereka yang mendapat pandangan jelek hanya termakan kehidupan modern.
Catatan yang dibuat Gde Aryantha dalam rentang setengah abab ini menjadi peringatan bagi kawasan potensial wisata lain di Indonesia pada umumnya dan Bali secara khusus. Kekeliruan dalam menerjemahkan kebutuhan industri wisata akan memunculkan masalah sosial dan budaya yang kian parah.
Sudah saatnya semua pihak yang berkepentingan memajukan wisata harus memiliki strategi yang tepat. Sebuah strategi yang dapat menjawab kebutuhan persaingan wisata, tanpa mengorbankan identitas lokal yang potensial mencabut masyarakat dari akar budayanya. Apalagi mematikan sektor lain demi membangun pariwisata. Sungguh tidak bijak kiranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar