Selasa, 06 Desember 2011

PENCITRAAN = KETIDAKJUJURAN


Orang yang merasakan perlunya pencitraan diri di hadapan publik sesungguhnya adalah orang yang tahu bahwa dirinya memiliki banyak kekurangan, bahkan memiliki banyak kesalahan dan dosa. Semakin kuat kebutuhan akan pencitraan untuk seseorang, sesungguhnya semakin besar pula kekurangan, kesalahan, dan dosa yang tersimpan dalam pribadi orang itu. Pencitraan adalah pengelabuan psikososial sistematis atas kekurangan, kesalahan, dan dosa seseorang. Melalui pencitraan, kekurangan, kesalahan, dan dosa disulap menjadi kelebihan, jasa, dan kebaikan.
Kita mengetahui bahwa para pejabat pemerintah kita, terutama yang dipilih langsung oleh rakyat, dapat menduduki jabatan mereka karena pencitraan. Jadi, sebenarnya kini kita dipimpin oleh orang-orang yang memiliki banyak kekurangan, kesalahan, dan dosa yang telah dikelabukan sehingga tidak tampak atau setidaknya tidak kentara lagi.
Ketika orang-orang yang memiliki banyak kekurangan, kesalahan, dan dosa itu menjalankan jabatannya, tentulah rakyat berharap banyak. Salah satu yang paling penting sekaligus paling populer adalah harapan agar sang pejabat dapat memimpin pemberantasan korupsi. Setidaknya dalam lingkup wilayah kekuasaan sang pejabat. Namun, di tengah keberadaan para pejabat pemerintah yang berhasil menduduki jabatan mereka karena pencitraan, sebenarnya harapan itu tidak realistis.
Harapan rakyat terhadap para pemberantasan korupsi jelas mengandaikan betapa para pejabat pemerintah itu adalah pribadi-pribadi yang luar biasa baiknya, luar biasa kelebihan-kelebihannya, dan luar biasa beraninya. Mengubah kebiasaan korupsi di Indonesia, sepertinya merupakan suatu pekerjaan sangat (luar biasa) besar, sulit, dan mengerikan. Pekerjaan seperti itu tidak bisa dilaksanakan oleh pemimpin atau pejabat pemerintah yang biasa-biasa saja, apalagi oleh pemimpin yang sesungguhnya memiliki banyak kekurangan, kesalahan, dan dosa yang selama ini—berkat pencitraan—dapat dikelabukan di hadapan publik.
Di tengah kampanye bergelimang pencitraan, para calon pejabat pemerintah menebar banyak janji. Perilaku demikian adalah salah satu ciri pribadi yang sesungguhnya memiliki banyak kekurangan, kesalahan, dan dosa.
Perilaku itu sebenarnya adalah sebuah bentuk pengelabuan juga mekanisme bertahan. Dalam genggaman para pejabat yang sebenarnya memiliki banyak kekurangan, kesalahan, dan dosa, dapat ditebak bahwa janji-janji itu bakal tidak dapat dipenuhi. Apalagi jika janji-janji itu terkait dengan pelaksanaan pekerjaan luar biasa besar, sulit, dan mengerikan seperti pemberantasan korupsi.
Dengan demikian, begitu besar dosa pencitraan di hadapan rakyat Indonesia. Pencitraan menghadirkan ketidakjujuran dan ketidakbenaran, yang kemudian selalu berbuahkan kerentanan psikososial, yang oleh psikoanalis Karen Horney disebut disillusionment. Suatu bentuk kekecewaan mendalam di hati sanubari karena ”citra-citra hebat”, yang ternyata hanyalah ilusi-ilusi, itu secara sedikit demi sedikit tetapi pasti rontok, hanya menyisakan wajah dan keadaan sebenarnya yang begitu banyak kekurangan, kesalahan, dan dosanya.
Dosa besar
Kendati pencitraan begitu besar dosanya terhadap rakyat Indonesia, agaknya ini masih akan menjadi andalan utama orang-orang Indonesia yang ingin menjadi pejabat pemerintah dan pemimpin melalui pemilihan langsung di negeri ini.
Setidaknya melalui tulisan ini, penulis menyampaikan tiga peringatan. Pertama, pencitraan sesungguhnya adalah pengelabuan atas kekurangan, kesalahan, dan dosa calon pejabat pemerintah dan calon pemimpin. Kedua, pencitraan yang begitu kuat dan ekstrem justru terjadi secara tanpa sadar untuk menutupi kekurangan, kesalahan, dan dosa yang sesungguhnya juga sedemikian besar dan ekstrem. Dan, ketiga, pencitraan hampir selalu pada kemudian hari membuahkan kekecewaan mendalam.
Dengan memperhatikan ketiga peringatan itu, mungkin rakyat Indonesia akan dapat selangkah lebih maju dan lebih cerdas dalam memilih pejabat pemerintah dan pemimpin kendati kekuatan ilusif pencitraan masih akan terus menerpa mereka.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar