Kamis, 29 Maret 2012

Mengapa Rok Mini?


Sampai kapanpun perempuan akan selalu menjadi kontroversi karena tubuhnya. Karena bentuk tubuh perempuan tidak sama dengan bentuk tubuh lelaki, maka sampai kapan pun perlakuan terhadapnya tidak akan pernah sama. Kenapa setelah ribuan tahun perempuan masih meneriakkan persamaan hak? Karena tubuh perempuan tidak sama?
Perempuan kaya lekukan. Ia berlekuk di simpul senyum, di dada, di pinggul, di tempat-tempat yang tidak dimiliki lelaki. Seakan tubuh perempuan selalu menjadi semacam “pelanggaran”, sehingga banyak orang merasa harus mengaturnya. Paling absurd adalah kenyataan bahwa perempuan dianggap tidak kompeten untuk mengatur tubuhnya sendiri. Perempuan menjadi kurang punya hak atas tubuhnya sendiri. Maka bagi saya, yang patut diperjuangkan sebenarnya bukan semata hak-hak yang sama dengan laki-laki, melainkan hak otonomi atas tubuhnya.
Siapa yang tidak tergoda untuk mengomentari perempuan berrok mini atau berkaos superketat? Siapa lelaki yang tidak suka melihat sesuatu ‘di luar kebiasaan,’ eksotis, sensual, maka kita cepat menanggapi. Apakah respon darii laki-laki ini termasuk tidak berbudaya? Saya pikir semuanya bisa baik-baik saja, semuanya (kedua pihak) gembira, maka di mana salahnya?
Tapi tidak semua lelaki seberbudaya itu. Lalu, saya golongan yang mana? Silahkan Anda yang mengenal saya menilai. Bagaimana pula orang-orang di sekitar Anda? Mari menilai bersama-sama. Yang terpenting adalah andara lelaki dan perempuan berada dalam batas-batas kenyamanan jika dihadapkan oleh situasi seperti itu. Maka tidak akan timbul masalah.
Mungkin selalu saja ada lelaki di lampu merah perempatan yang memelototi paha perempuan yang bercelana pendek. Apakah lelaki seperti ini tidak punya referensi yang memadai mengenai tubuh perempuan? Mungkin? Apakah lelaki salah? Mungkin? Apakah perempuan salah? Bisa saja, tergantung dari sisi mana Anda mencari pembenaran.
Separah itukah si celana pendek, rok mini, dan kawannya si pakaian superketat? Nah, kalau sekarang Menteri Agama dan satgas antipornografi sampai harus mengatur rok perempuan-perempuan Indonesia, bagaimana? Seharusnya kasus sir ok mini dan teman-temannya tidak ditanggapi segawat ini.
Sesungguhnya pemakai rok mini dan sebangsanya tidak diberi label pornografi. Ini sama saja manggap pemakai rok mini dan film biru sama-sama pornonya. Porno sebenarnya berarti potensi merusak moral. Jika aturannya ditetapkan demikian, maka seharusnya yang kena sangsi tidak hanya perempuan pemakai rok mini, tetapi juga mata-mata lelaki yang sudah memelototi dan  menghadirkan gambar kotor di otaknya. Porno itu letaknya di otak!
Lain dari itu, adanya satgas antipornografi yang  mengatur rok perempuan, berarti mengakui rendahnya tingkat kecerdasan terhadap tubuh perempuan. Menyedihkan. Lalu saya juga berpikir, bagaimana aturan itu dijalankan? Apakah dengan segera menangkap perempuan-perempuan yang didapati sedang menggunakan rok mini? Saya pikir itu tindakan yang bodoh.
Kehidupan mengalir penuh dinamika, mempengaruhi dan dipengaruhi, dan akan terus begitu. Mau pakai busana apa: rok mini atau celana panjang, potongan dada rendah, yang penting dengan rasa aman dan nyaman, tidak akan jadi masalah. Moral itu tanggung jawab kita bersama, bukan satu pihak.

Selasa, 27 Maret 2012

Resensi: Jangan Mati di Bali; Upaya Menemukan Bali


Judul      : Jangan Mati di Bali
Penulis   : Gde Aryantha Soethama
Penerbit  : Penerbit Buku Kompas
Tahun     : I, 2011
Halaman : 316 halaman
Harga      : Rp. 54.000


Ada gula ada semut. Bali adalah gula dan di luar sana sudah banyak semut yang bersiaga menikmati gula itu. Bali merupakan kota pariwisata yang eksotik.  Selain itu Bali memiliki bentangan alam yang elok, budaya dan adat istiadat masyarakat setempat yang melimpah ruah sekaligus menawan dan memikat hati wisatawan. Tidak salah bila Bali kerap dijadikan sebagai tempat tujuan utama oleh para wisatawan baik lokal maupun mancanegara.
Itulah beberapa penggambaran Bali secara umum oleh orang-orang luar Bali, orang luar yang sudah lama tinggal di Bali. Seperti yang dituliskan oleh penulisnya, Gde Aryantha Soethama dalam pengantar buku ini bahwa sudah terlalu banyak tulisan tentang Bali, tampil dengan aneka rupa dan sudut pandang. Tulisan-tulisan itu bisa dikatakan kurang akurat, sehingga orang-orang menjadi sangsi: Bali yang sesungguhnya seperti apa?
Maka, kehadiran buku ini seakan menjadi kunci jawaban atas pertanyaan tadi. Sebuah sajian asli dari Bali oleh seorang Bali yang secara otentik melakoni segala kehidupan di Bali setiap hari. Ini penting untuk mengenal persoalan-persoalan Bali lebih dalam. Gde Aryantha dalam kumpulan tulisannya, Jangan Mati di Bali ini tak hanya mempertanyakan Bali, tapi juga melakukan kritik atas perubahan-perubahan sosial yang terjadi di Bali.
Banyak sisi mengenai Bali yang "disentuh" oleh Gde Aryantha, mulai dari adat, kesenian, makanan, wisata, hikayat, hingga polah orang Bali. Semuanya ia sajikan dalam tulisan yang ringan, santai, sesekali dibumbui humor, tanpa kehilangan daya kritisnya.
Kemudian soal desakralisasi kesenian Bali, misalnya saja tarian. Demi memperkenalkan tarian Bali ke publik secara luas, tarian sakral Bali dikemas dengan cara yang berbeda. Alhasil, tarian sakral penuh makna menjadi "tarian pop" yang lebih mudah dicerna dan dikonsumsi oleh publik.
Perubahan sosial karena persentuhan dengan budaya luar secara teoritis sulit untuk dihindari. Namun ini bukanlah justifikasi untuk membiarkan Bali berubah. Apalagi trend perubahan itu menjurus ke arah lenyapnya lokalitas Bali. Padahal, lokalitas tersebut merupakan daya tarik wisata.
Lewat buku ini Gede Aryantha seolah ingin mengingatkan bahwa masyarakat Bali harus mewaspadai kecenderungan-kecenderungan negatif akibat komodifikasi budaya Bali. Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme jutru akan membuat persoalan kian pelik. Dari apa yang diungkapkan oleh Gde Aryantha, pembaca akan melihat bahwa perubahan-perubahan dalam masyaratak telah terjadi secara memprihatinkan. Ironisnya, perubahan itu tidak disadari oleh masyarakat Bali itu sendiri.
Orang Bali seakan “diperingati” agar jangan terlena oleh sanjungan dan tepuk tangan saat kita terlalu asik mengbral kesakralan seni pertunjukan Bali. Kemungkinan terburuk yang ditakuti adalah menguapnya sanjungan itu menjadi makian yang melukai keharuman seni Bali (Takdir Bali, Jadi Tontonan hal. 233). Menyerahkan diri kepada permintaan pasar turisme jutru tidak bagus.
Orang Bali juga hendaknya mulai waspada akan pujian yang menyerang bertubi-tubi. Jangan sampai mabuk pujian hingga lupa melakukan kegiatan-kegiatan produktif untuk menandingi keunggulan bangsa Barat. Waktu kita telah banyak hilang untuk mengejawantahkan simbol-simbol dalam upacara yang rumit (Jangan Biarkan Kami Primitif hal 207).
            Industrialisasi selalu membawa perubahan pada kehidupan sosial. Begitu juga dengan industri pariwisata di Bali. Di pulau nan elok itu, kesakaralan, kearifan lokal, dan pemaknaan atas spiritualitas, telah mengalami perubahan. Lain dari itu contoh kegagalan pemerintah termasuk masyarakat adat untuk memertahankan daerahnya semakin pesat.
Seakan-akan orang Bali akan melakukan sesuatu asal diberi uang. Para wisatawan pun berpikir seakan-akan semua yang ada di Bali bisa dibeli. Ini yang berbahaya. Jangan sampai ungkapan orang Bali lebih gesit dalam menjual tanah daripada membeli terus berlarut-larut.
Apakah hal itu semata-mata karena pariwisata di Bali digenjot habis-habisan demi keuntungan. Atau karena masyarakat Bali kini lebih realistis, dalam arti mereka lebih memilih uang ketimbang nilai-nilai lokal yang sebelumnya sulit untuk diusik. Inilah pertanyaan-pertanyaan untuk Bali dalam rangka mempertahankan Bali ke depannya. Gde Aryantha berhasil menjawabnya dengan paparan pengalaman-pengalaman singkat dalam buku ini.
Paparan singkat mengenai Antipoligami (hal 2) seakan melegakan para laki-laki Bali. Sebelumnya laki-laki Bali dicap sangat gemar berpoligami, membiarkan istri mencari nafkah dan mengurus keluarga. Lelaki Bali juga ditegarai suka membuang-bunag waktu di bale banjar dan suka mencampakkan perempuan. Sebenarnya anggapan-anggapan itu berasal dari analisis yang dangkal. Secara turun temurun di Bali telah ada awig-awig yang mengharuskan lelaki Bali monogami. Mereka yang mendapat pandangan jelek hanya termakan kehidupan modern.
Catatan yang dibuat Gde Aryantha dalam rentang setengah abab ini menjadi peringatan bagi kawasan potensial wisata lain di Indonesia pada umumnya dan Bali secara khusus. Kekeliruan dalam menerjemahkan kebutuhan industri wisata akan memunculkan masalah sosial dan budaya yang kian parah.
Sudah saatnya semua pihak yang berkepentingan memajukan wisata harus memiliki strategi yang tepat. Sebuah strategi yang dapat menjawab kebutuhan persaingan wisata, tanpa mengorbankan identitas lokal yang potensial mencabut masyarakat dari akar budayanya. Apalagi mematikan sektor lain demi membangun pariwisata. Sungguh tidak bijak kiranya.

Sabtu, 24 Maret 2012

Resensi: Madre; Sebuah Penjelajahan Rasa


sumber: Google


Judul                              : Madre
Pengarang                       : Dewi Lestari “Dee”
Editor                             : Sitok Srengenge
Penerbit                          : Bentang Pustaka
Cetakan                          : Cetakan kedua, Agustus 2011
Tebal Buku                     : 162 halaman; 20cm


Madre adalah salah satu buku yang diterbitkan oleh Bentang pustaka  dikemas secara ringan dan menarik. Antologi ini merupakan salah satu hasil karya dari penulis ternama Dewi Lestari atau yang biasa dikenal dengan nama pena “Dee” lahir di Bandung, 20 Januari 1976.  Sejak menerbitkan novel Supernova yang populer pada tahun 2001, ia juga dikenal luas sebagai novelis. Adapun karya fiksi Dee lainnya seperti Filosofi kopi (2006) dan Rectoverso(2008).
            Madre merupakan kumpulan karya Dee yang ketujuh selama lima tahun terakhir. Terdiri dari 13 karya fiksi dan prosa pendek disuguhkan dengan berbagai tema menarik seperti perjuangan seorang pemuda yang ingin menghidupkan kembali toko roti, arti sesungguhnya tentang apa itu cinta, dan juga tentang kepahlawanan. Namun dari sekian cerita yang ditampilkan ada satu yang lebih menarik untuk dibahas, yaitu kisah seorang pemuda bernama Tansen yang di darah nya mengalir darah Tionghoa, India dan Manado. Ia mendapatkan wasiat oleh lelaki yang bernama Tan. Tansen tidak mengenali siapa Tan, seiring berjalannya waktu dia pun tau ternyata Tan adalah kakeknya. Wasiat yang berisi sebuah kunci itu adalah kunci lemari pendingin yang merupakan tempat dimana Madre disimpan.


Madre lahir di sebuah toko bernama Tan De Bakker, yang tak lain nama pemiliknya “Tan Sin Gie”. Tansen yang awalnya tinggal di Bali, kini ia harus merelakan kehidupannya disana demi memperjuangkan toko roti Tan De Bakker yang telah tutup selama 5 tahun itu di sebuah kota bernama Jakarta. Ternyata Tan mewariskan Madre ke tangan yang tepat, terbukti baru beberapa hari Tansen di Jakarta Tan De Bakker seolah muncul lagi dan bangkit dari mati surinya itu.
Cerita-cerita di dalam buku ini menarik namun ada beberapa hal yang kurang logis penceritaannya. Sebagian kisah yang ditampilkan dengan kalimat sastra yang berat sehingga lama untuk dicerna apa maksudnya dengan pembaca, seperti dikutip dari cerita Percakapan di Sebuah Jembatan- ”Dan aku bertanya : apakah yang sanggup mengubah gumpal luka menjadi intan, Yang membekukan air mata menjadi kristal garam? Sahabatku menjawab : Waktu ” halaman 123
              Penceritaan alur di dalam buku ini sangat mengejutkan, membuat pembaca penasaran dengan ending yang akan diberikan oleh pemilik karya Madre ini. Pemilihan kata khas dari Dee pun menambahkan kesan yang mendalam, Inspiratif dan menjadi penyemangat tersendiri kepada pembacannya. Di setiap cerita terdapat makna yang mendalam seperti :
”Itulah cinta. Itulah Tuhan. Pengalaman, bukan penjelasan. Perjalanan, bukan tujuan. Pertanyaan, yang sungguh tidak berjodoh dengan segala jawaban” -Semangkuk Acar Untuk Cinta dan Tuhan- halaman 103
”Layang-layang itu bebas di langit. Tapi tetap ada benang yang mengikatnya di Bumi" – Menunggu Layang-Layang- halaman 152
Dalam buku ini Dee setidaknya telah membuka rahasia dapur toko roti. Dee memberikan pengetahuan bahwa ternyata toko roti mempunyai formula khusus seperti adonan biang, yang diceritakan dalam kisah “Madre”.
Dengan kehadiran buku ini diharapkan dapat menjadi referensi, semoga bermanfaat bagi seluruh pembaca. Dan dapat dijadikan pelajaran untuk kehidupan kedepannya agar lebih baik lagi.