Dikisahkan pada pagi buta seorang
pengembala itik menuju ke sawah Subak Pandan tempat ia biasa menggembala itik.
Kebetulan ketika itu, si pengembala itik mendadak berkeinginan ke sawah pagi-pagi
lebih pagi dari biasanya. Sesampainya di sawah, penggembala itik segera melepaskan
itik-itiknya untuk menyebar masing-masing mencari makan. Begitu dia mau menaruh
panangan (tempat makan bebek-bebek)
dan menancapkan pangisih (alat
penghalau bebek yang bentuknya mirip lembing), alangkah terkejutnya sang
pengembala itik. Ia melihat seekor babi yang sangat besar sebesar sapi
menyumbil-nyumbil tanah sawah sampai-sampai menjadi onggokan yang tinggi
menyerupai bukit.
Si
Pengembala berkata dalam hati, “Rupa-rupanya babi raksasa itu akan membuat
bukit disini. Wah kalau dugaan saya ini benar, apa jadinya. Saya akan
kehilangan tempat tempat tinggal, kehilangan lahan untuk mengembala itik-itik
kesayangan saya. Jika itu kehilangan mata pencaharian. Sebab telur-telur bebek
itulah yang saya jual untuk mendapatkan uang demi memenuhi kebutuhan hidup anak
istri saya. Saya harus mengambil tindakan”.
Seketika
itu pulalah dia berteriak, “Jangan-jangan, tolong-tolong, jangan rusak sawah
ini!” Mendengar teriakan sang pengembala, babi raksasa pun bersuara lantang
menanggapi ucapan si Pengembala. Ternyata babi itu bisa berbicara layaknya
seorang manusia. “Tuan Pengembala, jangan panggil penduduk desa, jika tuan
menolong saya, saya akan memberi tuan hadiah pangan emas dan pangisih
emas. Tapi, jika tidak aku akan memangsamu!”.
Si
Penggembala pun takut. Si Pengembala mengiakan permintaan babi raksasa, dengan
tujuan babi raksasa tidak memangsanya. Sesungguhnya pengembala itik tidak
percaya dengan perkataan si babi. “Masak seekor babi mempunyai emas” pikirnya.
Babi raksasa juga percaya dengan jawaban si Pengembala bahwa dia tidak akan
memanggil orang-orang dan asik melanjutkan pekerjaannya.
Diam-diam sang pengembala pergi
memanggil penduduk sehingga berduyun-duyun mereka datang ke tempat kejadian.
Ada yang membawa pentongan, ada yang membawa cangkul, sabit, dan senjata yang
lain untuk mengusir babi raksasa tersebut. Sementara di tempat lain, di sawah
bagian selatan, tempat onggokan tanah satunya juga terdapat seekor babi raksasa
yang juga sedang menyumbil-nyumbil tanah sawah untuk dijadikan bukit.
Sorak sorai penduduk yang mengusir
babi raksasa di utara tersebut di dengar juga oleh babi raksasa di sawah bagian
selatan. Seketika itu, babi raksasa yang di utara dan di selatan sangat ketakutan
seraya lari ke sungai Yeh Sungi bagian sungai yang dalam yang sering disebut
“Tibu Lonokan”. Dengan demikian gagallah upaya si babi raksasa untuk membuat
bukit, hanya berhasil membuat onggokan tanah kurang lebih 1 are baik di sawah
bagian utara maupun bagian selatan. Diketahui kemudian, bukit-bukit yang dibuat
oleh kedua babi itu sedianya akan disambung menjadi sebuah bukit panjang yang panjangnya
melewati bahkan menyebrangi sungai Yeh Sungi itu, sedangkan rencana si babi
mengubah sungai tersebut menjadi danau.
Kegagalan upaya babi raksasa membuat
bukit, sampai saat ini dua onggokan tanah di sebidang tanah tersebut masih ada sampai
sekarang dan diberi nama “Bukit Buung” (bukit yang tidak jadi).
ini salah satu sastra lisan yg ada di desa saya. semoga dengan adanya pencatatan ini, cerita/mitos ini tetap lestari :)
BalasHapus