Senin, 24 Mei 2010

keping 6 (novel perdana: CINTA 24 karya Esa Bhaskara)


KEPUTUS ASAAN

S
ehari setelah peristiwa menyesakkan itu, Ayu seakan tidak memiliki gairah hidup. Ia merasa semuanya sudah dirampas oleh Putera. Bunuh diri seakan obat yang paling manjur untuk mengobati sakit dan perih yang ia rasakan. Dan hampir saja ia melakukannya jika tidak cepat disadarkan oleh Andre, sahabatnya.
Masih dalam tangis yang begitu menyesakkan dan rasa yang begitu dalam melukai hatinya, Ayu lemah tak berdaya. Dia menjadi labil. Sakit hatinya selalu menggoyahkan pertahanan batinnya. Ia selalu merasa jadi orang yang tidak berguna. Orang yang sudah tidak berharga. Hatinya begitu remuk. Pecah berkeping-keping. Setelah ia di angkat sedemikian tinggi, diajak terbang ke langit ke tujuh menikmati surga dunia, tiba-tiba Putera menghempaskannya tanpa rasa. Memang, Ayu tak pernah mengharapkan balasan apapun, tapi Ayu sudah memberikan semuanya, mengorbankan apa pun yang bisa membahagiakan Putera, tapi semua bunga yang Ayu berikan dibalas dengan rasa kecewa. Hanya sakit, lukanya sampai hari ini pun masih perih. Ayu tak habis fikir, begitu cepatnya kasih sayang dan cinta juga rasa kagum yang ia rasakan pada Putera berubah menjadi benci yang begitu pekat dalam hati merah jambunya.
 “Dre aku nggak berguna lagi. Aku nggak ada gunanya hidup. Nggak ada yang bisa aku banggakan dalam diri aku.”
“Jangan ngomong seperti itu Yu!”
“Aku sudah kotor Dre. Aku nggak bisa bertahan dengan kondisi seperti ini.”
“Karena itu elo mau mati? Mau bunuh diri? Itu nggak bakal nylesein masalah Yu! Elo kira dengan mati bisa terlepas dari semua ini? Semua masalah bukannya selesai Yu, elo bakalan dikejar masalah lain lagi. Dengan cara ini elo nggak bakal bisa terlepas dari sakit ini.”
“Nggak Dre. Gue mau mati aja. Dengan begitu gue bakan bisa jauh dari dia. Gue nggak tahan Dre, terlalu sakit.”
“Oh….elo fikir dengan begitu elo bisa langsung jauh, bisa langsung melupakan dia?”
Ayu terdiam. Lalu ia menangis. Lagi, lagi, menangis sejadi-jadinya. Ia masih duduk di sana, di teras rumah Andre. Andre juga diam, tidak melanjutkan kalimatnya. Teras rumah Andre sepi menjadi sepi. Memang orang tua Andre sedang tidak ada. Sehingga hanya mereka saja yang ada di sana. Dan sekarang mereka berdua terdiam. Isak tangis lembut Ayu yang terdengar sayup-sayup ditelinga.
Begitu teduh dan asri. Pohon-pohon dan berbagai tanaman hias disana menjadi saksi kejadian sore itu. Hijaunya dedaunan, mekarnya bunya dengan indah warnanya yang membuat sekelompok kupu-kupu menjadikan taman kecil di sekitar teras ruman Andre itu markasnya, tak jua membuat hati Ayu jernih kembali. Hanya mereka berdua ada di sana. Tetapi teduhnya suasana tidak berpengaruh pada perasaan Ayu. Ayu masih saja goyah, penuh emosi, masih putus asa. Sedangkan Andre berdiri tidak jauh darinya, kira-kira hanya satu meter di depannya. Andre bingung, tetapi ia terus mencoba menyelamatkan temannya ini. Andre memandang langit membelakangi Ayu.
Gue nggak tau harus gimana lagi Dre.
Andre membalikkan badan, setelah Ayu menyelesaikan kalimatnya.
Ini bukan penyelesaian masalah Yu. Elo bakal menambah masalah. Elo bunuh diri kayak gini, berarti elo nggak bisa berfikir jernih lagi. Elo mati dengan bunuh diri gini, berarti elo mati sebelum waktunya elo mati.
Andre begitu emosi. Ia terus merusaha meyakinkan Ayu agar mengurungkan niatnya itu. Tetapi tanpa sadar Ayu sudah memegang cutter di tangan kanannya dan bersiap memotong urat nadi tangan kirinya. Untung Andre cepat mengadarinya. Tanpa sempat Ayu melakukannya, Andre dengan sigap menendang cutter yang Ayu ngenggam itu. Kaki Andre tergores cukup dalam, tetapi tidak parah, karena bagian cutter yang ia tendang tepat bagian muka katernya. Katernya terlempar jauh. Ternyata cutter itu lumayan tajam. Untungnya Ayu selamat, karena mungkin saja luka yang menggores tangannya akan lebih parah dari luka yang menimpa kaki Andre.
“Aarkh………” teriak Andre, merasakan luka itu.
Situasi menjadi agak kacau setelah kejadian itu. Kaki Andre mengeluarkan darah yang lumayan. Andre lalu menjatuhkan tubuhnya, dan langsung duduk.
“Elo ga apa-apa kan Dre?”
“Maafin gue Dre, gara-gara gue elo jadi gini.”
“Elo liat kan Yu? Apa yang sudah ingin elo lakuin, hanyalah sesuatu yang bodoh. Hanya ngerugiin orang.”
“Tapi kenapa elo tendang tadi cutternya? Kan elo jadi gini.”
“Tapi kalo gue nggak lakuin itu, elo yang jadi gini. Bahkan mungkin lebih parah. Elo nyadar nggak? Elo kebayang nggak apa yang bakal terjadi pada diri elo?”
Andre begitu emosi. Amarahnya keluar tak terkendali. Suaranya keras dan lantang. Membuat para tupai di hutan sana terbangun dari tidurnya. Ayu hanya terdiam. Kali ini ia tidak bisa membela diri lagi. Sepertinya ia sadar.
“Gue mohon ke elo, kalo elo masih nganggep gue sahabat, elo jangan lakuin ini lagi. Elo nggak sendiri Yu. Elo masih punya keluarga elo, temen-temen yang begitu peduli dengan elo. Mereka semua sayang ke elo. Gue, sahabat elo. Gue udah nganggep elo seperti adik kandung gue sendiri Yu.”
 Sebelum Andre menyelesaikan kalimatnya, Andre dipeluk oleh Ayu. Tangannya memeluk erat tubuh Andre yang kecil itu, sampai ia agak kesulitan bernapas. Ayu menangis lagi. Kali ini tangis penyesalan. Air matanya membasahi baju Andre.
“Jadi, elo jangan ngecewain gue. Juga semua orang yang udah nyayangin elo.”
Ayu mengangguk tanda kalau dia sudah mengerti apa yang ia fikir selama ini salah. Ia pun teringat dugaan sang ibu tentang Putera saat Ayu baru jadian dan menceritakannya kepada mamanya. Kala itu, Ayu tidak bisa menerima omongan ibunya, yang menurutnya asal menebak saja, karena tidak tahu Putera seperti apa.
“Sepertinya hubungan kamu dengan Putera tidak akan berjalan lama Yu.”
“Uuh………kok Mama gitu sih. Bukannya malah ngedukung anaknya, malah bilang gitu.”
“Bukannya nggak ngedukung sayang. Mama ngerasa kalian nggak terlalu cocok dan kalian nggak akan betah berlama-lama ngejalanin hubungan kalian.”
“Ayu nggak peduli Ma. Kali ini Ayu nggak mau dengerin omongan Mama. Ayu tau yang terbaik buat Ayu sendiri. Mama tenang aja ya!”
Sang ibu mengangguk. Ia tidak mau mengecewakan anaknya. Ia tidak mau mematahkan semangat anaknya, dengan fonis yang ia berikan tentang hubungan anaknya dengan pacar barunya itu, hubungan Ayu dengan Putera. Tapi sang ibu selalu memiliki feeling ajaib. Seakan ia tahu, apa yang akan terjadi pada masa depan sang anak. Dan untuk kesekian kalinya, hipotesis sang ibu menemui kebenaran. Sehingga dapat disimpulkan bahwa seorang ibu selalu dapat melihat dan meraba apa yang siap menunggu di depan, di jalan yang akan dilewati sang buah hati.
ilustrasi :)
Hanya tangis dan luka, kiasan maupun harafiah, yang mengakhiri kejadian sore itu. Sore yang tenang sebenarnya, tetapi agak sedikit gaduh oleh peristiwa yang terjadi di teras Andre. Tetapi semua telah usai, dan dapat diatasi oleh sahabat itu. Iya, Andre sahabat yang selalu jadi keranjang sampah semua keluhan dan curhat-curhat masa lalunya.