Rabu, 04 Januari 2012

Kritik Opini: Desentralisasi Pendidikan


Memajukan pendidikan di negeri ini adalah mimpi banyak orang, tapi susah untuk merealisasikannya. Banyak perdebatan mengenai sistem pendidikan yang baiknya digunakan. Ada yang menunjuk desentralisasi pendidikan paling bagus diterapkan di negeri ini. ada pula yang menghendaki kembalinya ke sistem sentralisasi pendidikan.
Roh reformasi peradaban Indonesia adalah desentralisasi pendidikan (Feliks Tans, “Desentralisasi Pendidikan”, Kompas, 28/12/2011). Ia mengatakan sentralisasi adalah sebuah program yang “tidak istimewa” dan dapat meruntuhkan mutu pendidikan Indonesia. Sudah waktunya diganti dengan desentralisasi pendidikan.
Ada beberapa cara penerapan desentralisasi pendidikan di negeri ini. Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 harus dilaksanakan secara penuh. Artinya, setiap tingkat satuan pendidikan (KTSP), harus menyusun sendiri kurikulumnya. Kedua dan ketiga, kurikulum yang disusun setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), baik di SD, SLTP, dan SLTA, harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar (MBKB) murid. Artinya setiap sekolah harus dibiarkan memilih mata pelajaran sesuai kondisi muridnya.
Keempat, ujian nasional (UN) dihapus. Kelima, manajemen berbasis sekolah perlu diterapkan secara sungguh-sungguh, termasuk untuk pengangkatan dan pemberhentian guru dan pegawai administrasi oleh pimpinan TSP tertentu, penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran, serta berbagai anggaran penyelanggaraan pendidikan pada TSP yang terkait, dengan memerhatikan salah satunya pertimbangan dewan guru dan komite sekolah. Keenam, pemangku kepentingan pendidikan, termasuk sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, tidak lagi berpaku pada ijazah formal saat menerima calon murid/mahasiswa atau karyawan, tetapi pada kompetensi nyatanya.
Implementasian desentralisasi pendidikan seperti di atas akan berjalan sesuai rancangan jika pemerintah pusat dan daerah mengawasi dan menyediakan dana secukupnya dan memegang dua tujuan utama. Pertama, menjamin setiap anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Kedua, setiap TSP melaksanakan tugas secara benar.
Dalam hal ini pendapat itu ada benarnya, tetapi ada kelemahan yang dibuat oleh penulisnya. Pertama, terlalu memvonis sistem sentralisasi pendidikan sebagai sistem yang tidak berguna. Kedua, tidak memikirkan bahwa desentralisasi pendidikan menuntut persamaan visi dari semua lapis pemerintahan. Apa yang terjadi saat ini bisa dijadikan gambaran. Ketika otonomi pendidikan dilaksanakan, politisasi mencampuri dunia pendidikan kita. Korupsi dana pendidikan yang dilakukan oleh raja-raja kecil menjamur terjadi.
Enam cara yang disajikan oleh penulis dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan terlalu dangkal. Pada langkah pertama disebutkan bahwa setiap tingkat satuan pendidikan (KTSP) harus menyusun sendiri kurikulumnya. Pertanyaannya adalah mampukah semua lapis satuan pendidikan melakukannya secara mandiri. Mestinya kita ingat bahwa pendidikan di negeri ini belum merata. Perkembangan dan kemajuan pendidikan di kota besar dengan di daerah pelosok jauh berbeda.
Sekolah-sekolah di pelosok, jangankan menyusun sendiri kurikulumnya, menyelenggarakan pendidikan saja mereka masih ngos-ngosan. Sarana dan prasarana yang mereka miliki sangat kurang. Mari kita ingat-ingat bagaimana keadaan SD Muhamadiah Gantong di Belitong yang melahirkan cerita fenomenal Laskar Pelangi. Kondisi sekolah seperti itu sangat tidak memungkinkan untuk menyusun sendiri kurikulumnya.
Berangsur-angsur memang akan bisa, tapi harus ada “tindakan” untuk mengawalinya. Merubah keadaan seperti ini tidak bisa instan. Harus ada langkah-langkah nyata dari banyak pihak dan menyasar banyak segi hingga melahirkan satuan pendidikan yang bisa dikembangkan potensinya dengan sistem desentralisasi ini. Disusunnya kurikulum langsung oleh setiap masing-masing satuan pendidikan sebenarnya sangat bagus karena dapat lebih tepat menyasar kemampuan siswa.
Menanggapi hal itu. Maka muncul pertanyaan. Apakah semua guru bisa melakukannya? Jika ini diterapkan, apakah Bu Muslimah satu-satunya guru di SD Muhamayah Gantong mampu melakukannya di sekolah yang berlatar belakang pedalaman itu? Ketidakyakinan pasti lebih banyak mengiringinya.
Begitu pun dengan implementasi berikutnya yang dianjurkan oleh saudara Feliks, yaitu kurikulum yang disusun setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), baik di SD, SLTP, dan SLTA, harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar (MBKB) murid. Melihat kondisi sekolah-sekolah yang susah disuruh bersekolah dan biaya sekolah berpengaruh dalam minimnya jumlah siswa disebuah sekolah. Jika kondisinya seperti ini, bagaimana bisa kita mengimplementasikan cara kedua itu? Kembali, sentralisasi pendidikan menjadi hal utama yang harus diperjuangkan saat ini.
Intinya adalah, kelemahan yang paling menonjol dari opini saudara Feliks Tans adalah terlalu gegabah “menetapkan” sistem desentralisasi pendidikan adalah yang paling bagus digunakan di negeri ini. Cara implementasi yang ditawarkan juga masih terlalu dangkal. Mengubah paradigm pendidikan tidaklah mudah. Semua aspek harus ikut serta di dalamnya.
Jika ditilik lebih lanjut, ide-ide yang dicetuskan oleh saudara Feliks cukup bagus dan cukup beralasan untuk dijadikan kiblat pendidikan di masa datang. Tapi perlu diingat, wilayah Indonesia yang luasnya dari Sabang sampai Merauke adalah tantangan terberatnya. Lain dari itu, perlu kiranya kita memperbaiki sistem otonomi daerah yang sedang berjalan sampai hari ini.
Sistem ini masih banyak menuai kontroversi. Jika ingin memaksimalkan pemerintahan yang mengandalkan otonomi daerah demi terwujudnya otonomi pendidikan, hendaknya sistem ini perlu dikaji ulang. Sebaiknya, untuk memajukan pendidikan negeri ini, mulai diperbaiki dari sistem otonomi pemerintahannya. Berikan jaminan bahwa memang tidak ada raja-raja kecil yang “merusak” sistem yang ada.
Disentralisasi memang paling memungkinkan untuk mengakomodasi luas wilayah dan keberagaman Indonesia tercinta ini. inilah alasan terlogis ketika muncul usulan menggunakan sistem sentralisasi pendidikan. Sistem yang saat ini dijalankan adalah sistem gabungan yang belum jelas arahnya ke mana. Sentralisasi atau disentralisasi. Ujian Nasional mencirikan sentralisasi pendidikan, sedangkan KTSP adalah perwujudan sistem disentralisasi. Saat ini kita melaksanakan kombinasi keduanya.
Ini ciri pemerintah yang belum yakin dengan apa yang dilakukan. Kuncinya adalah otonomi pemerintahan yang mesti dioptimalkan. Hingga berdampak ke sektor-sektor lain. Hal ini sama dengan melatih kemandirian. Imbasnya, pendidikan negeri ini juga akan mandiri (desentralisasi pendidikan).
Semua perlu proses. Negara ini pun sedang berproses mencari-cari bentuk terbaik. Sistem yang ada saat ini pun adalah ”jawaban” yang paling relevan untuk saat ini. Sentralisasi pendidikan bukan sebuah kelemahan, pun dengan desentralisasi pendidikan yang tak luput dari kelemahan. Maka saya pribadi tidak setuju dengan opini saudara Fekiks yang (secara tidak langsung) mengatakan sentralisasi pendidikan berdampak terhadap kemunduran pendidikan kita.
Perubahan hendaknya didasari atas kajian-kajian yang memang bertujuan memajukan atau menjadikan yang lebih baik. Dialihkannya sentralisasi pendidikan ke desentralisasi pendidikan adalah langkah nyata untuk memajukan pendidikan Indonesia. Perlu diperhatikan adalah dukungan semua pihak yang memang memiliki tujuan yang sama untuk memajukan negeri ini, dan bukan “memajukan” diri sendiri.
Jangan sampai penyalahgunaan otoritas terjadi dan semakin parah ke depannya ketika desentralisasi terealisasi.  Pemerintah pusat, pemerintah daerah, orang tua, sekolah dan komite sekolah harus benar-benar menyatukan visi mereka demi mereformasi pendidikan negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar