Memajukan pendidikan di
negeri ini adalah mimpi banyak orang, tapi susah untuk merealisasikannya.
Banyak perdebatan mengenai sistem pendidikan yang baiknya digunakan. Ada yang
menunjuk desentralisasi pendidikan paling bagus diterapkan di negeri ini. ada
pula yang menghendaki kembalinya ke sistem sentralisasi pendidikan.
Roh reformasi peradaban
Indonesia adalah desentralisasi pendidikan (Feliks Tans, “Desentralisasi
Pendidikan”, Kompas, 28/12/2011). Ia
mengatakan sentralisasi adalah sebuah program yang “tidak istimewa” dan dapat
meruntuhkan mutu pendidikan Indonesia. Sudah waktunya diganti dengan
desentralisasi pendidikan.
Ada beberapa cara
penerapan desentralisasi pendidikan di negeri ini. Pertama, Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 harus dilaksanakan secara penuh. Artinya, setiap
tingkat satuan pendidikan (KTSP), harus menyusun sendiri kurikulumnya. Kedua
dan ketiga, kurikulum yang disusun setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), baik
di SD, SLTP, dan SLTA, harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar
(MBKB) murid. Artinya setiap sekolah harus dibiarkan memilih mata pelajaran
sesuai kondisi muridnya.
Keempat, ujian nasional
(UN) dihapus. Kelima, manajemen berbasis sekolah perlu diterapkan secara
sungguh-sungguh, termasuk untuk pengangkatan dan pemberhentian guru dan pegawai
administrasi oleh pimpinan TSP tertentu, penyediaan sarana dan prasarana
pembelajaran, serta berbagai anggaran penyelanggaraan pendidikan pada TSP yang
terkait, dengan memerhatikan salah satunya pertimbangan dewan guru dan komite
sekolah. Keenam, pemangku kepentingan pendidikan, termasuk sekolah lanjutan dan
perguruan tinggi, tidak lagi berpaku pada ijazah formal saat menerima calon
murid/mahasiswa atau karyawan, tetapi pada kompetensi nyatanya.
Implementasian
desentralisasi pendidikan seperti di atas akan berjalan sesuai rancangan jika
pemerintah pusat dan daerah mengawasi dan menyediakan dana secukupnya dan
memegang dua tujuan utama. Pertama, menjamin setiap anak Indonesia untuk
mengenyam pendidikan. Kedua, setiap TSP melaksanakan tugas secara benar.
Dalam hal ini pendapat
itu ada benarnya, tetapi ada kelemahan yang dibuat oleh penulisnya. Pertama,
terlalu memvonis sistem sentralisasi pendidikan sebagai sistem yang tidak
berguna. Kedua, tidak memikirkan bahwa desentralisasi pendidikan menuntut
persamaan visi dari semua lapis pemerintahan. Apa yang terjadi saat ini bisa
dijadikan gambaran. Ketika otonomi pendidikan dilaksanakan, politisasi
mencampuri dunia pendidikan kita. Korupsi dana pendidikan yang dilakukan oleh
raja-raja kecil menjamur terjadi.
Enam cara yang
disajikan oleh penulis dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan
terlalu dangkal. Pada langkah pertama disebutkan bahwa setiap tingkat satuan
pendidikan (KTSP) harus menyusun sendiri kurikulumnya. Pertanyaannya adalah
mampukah semua lapis satuan pendidikan melakukannya secara mandiri. Mestinya
kita ingat bahwa pendidikan di negeri ini belum merata. Perkembangan dan
kemajuan pendidikan di kota besar dengan di daerah pelosok jauh berbeda.
Sekolah-sekolah di
pelosok, jangankan menyusun sendiri kurikulumnya, menyelenggarakan pendidikan
saja mereka masih ngos-ngosan. Sarana dan prasarana yang mereka miliki sangat
kurang. Mari kita ingat-ingat bagaimana keadaan SD Muhamadiah Gantong di
Belitong yang melahirkan cerita fenomenal Laskar Pelangi. Kondisi sekolah
seperti itu sangat tidak memungkinkan untuk menyusun sendiri kurikulumnya.
Berangsur-angsur memang
akan bisa, tapi harus ada “tindakan” untuk mengawalinya. Merubah keadaan
seperti ini tidak bisa instan. Harus ada langkah-langkah nyata dari banyak
pihak dan menyasar banyak segi hingga melahirkan satuan pendidikan yang bisa
dikembangkan potensinya dengan sistem desentralisasi ini. Disusunnya kurikulum
langsung oleh setiap masing-masing satuan pendidikan sebenarnya sangat bagus
karena dapat lebih tepat menyasar kemampuan siswa.
Menanggapi hal itu.
Maka muncul pertanyaan. Apakah semua guru bisa melakukannya? Jika ini
diterapkan, apakah Bu Muslimah satu-satunya guru di SD Muhamayah Gantong mampu
melakukannya di sekolah yang berlatar belakang pedalaman itu? Ketidakyakinan
pasti lebih banyak mengiringinya.
Begitu pun dengan
implementasi berikutnya yang dianjurkan oleh saudara Feliks, yaitu kurikulum
yang disusun setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), baik di SD, SLTP, dan
SLTA, harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar (MBKB) murid. Melihat
kondisi sekolah-sekolah yang susah disuruh bersekolah dan biaya sekolah
berpengaruh dalam minimnya jumlah siswa disebuah sekolah. Jika kondisinya
seperti ini, bagaimana bisa kita mengimplementasikan cara kedua itu? Kembali,
sentralisasi pendidikan menjadi hal utama yang harus diperjuangkan saat ini.
Intinya adalah, kelemahan
yang paling menonjol dari opini saudara Feliks Tans adalah terlalu gegabah
“menetapkan” sistem desentralisasi pendidikan adalah yang paling bagus
digunakan di negeri ini. Cara implementasi yang ditawarkan juga masih terlalu
dangkal. Mengubah paradigm pendidikan tidaklah mudah. Semua aspek harus ikut
serta di dalamnya.
Jika ditilik lebih
lanjut, ide-ide yang dicetuskan oleh saudara Feliks cukup bagus dan cukup
beralasan untuk dijadikan kiblat pendidikan di masa datang. Tapi perlu diingat,
wilayah Indonesia yang luasnya dari Sabang sampai Merauke adalah tantangan
terberatnya. Lain dari itu, perlu kiranya kita memperbaiki sistem otonomi
daerah yang sedang berjalan sampai hari ini.
Sistem ini masih banyak
menuai kontroversi. Jika ingin memaksimalkan pemerintahan yang mengandalkan
otonomi daerah demi terwujudnya otonomi pendidikan, hendaknya sistem ini perlu
dikaji ulang. Sebaiknya, untuk memajukan pendidikan negeri ini, mulai
diperbaiki dari sistem otonomi pemerintahannya. Berikan jaminan bahwa memang
tidak ada raja-raja kecil yang “merusak” sistem yang ada.
Disentralisasi memang
paling memungkinkan untuk mengakomodasi luas wilayah dan keberagaman Indonesia
tercinta ini. inilah alasan terlogis ketika muncul usulan menggunakan sistem
sentralisasi pendidikan. Sistem yang saat ini dijalankan adalah sistem gabungan
yang belum jelas arahnya ke mana. Sentralisasi atau disentralisasi. Ujian
Nasional mencirikan sentralisasi pendidikan, sedangkan KTSP adalah perwujudan
sistem disentralisasi. Saat ini kita melaksanakan kombinasi keduanya.
Ini ciri pemerintah
yang belum yakin dengan apa yang dilakukan. Kuncinya adalah otonomi
pemerintahan yang mesti dioptimalkan. Hingga berdampak ke sektor-sektor lain.
Hal ini sama dengan melatih kemandirian. Imbasnya, pendidikan negeri ini juga
akan mandiri (desentralisasi pendidikan).
Semua perlu proses.
Negara ini pun sedang berproses mencari-cari bentuk terbaik. Sistem yang ada
saat ini pun adalah ”jawaban” yang paling relevan untuk saat ini. Sentralisasi
pendidikan bukan sebuah kelemahan, pun dengan desentralisasi pendidikan yang
tak luput dari kelemahan. Maka saya pribadi tidak setuju dengan opini saudara
Fekiks yang (secara tidak langsung) mengatakan sentralisasi pendidikan
berdampak terhadap kemunduran pendidikan kita.
Perubahan hendaknya
didasari atas kajian-kajian yang memang bertujuan memajukan atau menjadikan
yang lebih baik. Dialihkannya sentralisasi pendidikan ke desentralisasi
pendidikan adalah langkah nyata untuk memajukan pendidikan Indonesia. Perlu
diperhatikan adalah dukungan semua pihak yang memang memiliki tujuan yang sama
untuk memajukan negeri ini, dan bukan “memajukan” diri sendiri.
Jangan sampai
penyalahgunaan otoritas terjadi dan semakin parah ke depannya ketika
desentralisasi terealisasi. Pemerintah
pusat, pemerintah daerah, orang tua, sekolah dan komite sekolah harus
benar-benar menyatukan visi mereka demi mereformasi pendidikan negeri ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar