Selasa, 28 Februari 2012

Sikapi Kemiskinan Dari Sisi Lain


Kemiskinan masih menjadi masalah sosial yang belum terselesaikan. Bahkan setiap tahun mengalami penambahan kuantitas. Pendataan dari Badan Pusat Statistik Bali akhir tahun lalu mencatat kedalaman kemiskinan di daerah perkotaan lebih rendah dibandingkan daerah perdesaan. Begitu juga halnya dengan indeks keparahan kemiskinan. Kondisi ini mencerminkan kemiskinan di daerah perdesaan lebih parah dan ketimpangan pengeluaran diantara penduduk miskin lebih melebar dibandingkan daerah perkotaan. Hal yang sangat parah.
Laju pertumbuhan ekonomi Bali yang cukup mengesankan ternyata tidak sepenuhnya berpengaruh kepada jumlah warga miskin di Bali. Kemiskinan merupakan masalah kompleks dan kronis baik nasional maupun regional. Untuk itu, penanggulangannya memerlukan strategi yang tepat dan berkelanjutan. Pemerintah lewat program pembangunan yang dilaksanakan selama ini, sebenarnya memberikan perhatian besar terhadap upaya pengentasan kemiskinan. Tapi dalam pelaksanaannya masih setengah hati.
Selain itu, masyarakat juga sebaiknya dibekali pengetahuan tentang hal-hal yang dapat membuat mereka miskin. Di lain sisi, pemerintah juga hendaknya mencari tahu penyebab kemiskinan yang melanda warganya. Salah satunya, pengaruh kapitalisme yang membuat masyarakat miskin menjadi semakin miskin, dan yang kaya menjadi semakin kaya. Pemiskinan (juga) terjadi karena masyarakat tidak dapat memanfaatkan sumber-sumber pendapatan yang telah tersedia. Ilustrasinya seperti ini, seorang yang tidak berpendidikan akan susah mendapat pekerjaan yang terbaik.
Usaha yang harus dilakukan dalam mengubah pandangan masyarakat dari kebudayaan miskin yaitu dengan cara memberikan kesejahteraan kepada masyarakat tersebut baik dari segi pendidikan, keterampilan, maupun sarana dan prasarana yang mereka butuhkan untuk membantu mereka dalam menjalankan hidup. Masyarakat dapat mengubah paradigma mereka dan dapat berpikir kembali bahwa kemiskinan bukan berasal dari keadaan turun-temurun yang menjadikan mereka miskin, tetapi kemiskinan terjadi karena mereka tidak dapat berusaha untuk mencari suatu pemecahan permasalahan dari apa yang mereka hadapi.
Maka dari itu, perlu kiranya tindakkan yang lebih nyata terkait penyelesaian masalah kemiskinan ini. Yang juga sangat perlu disadari adalah apa sebenarnya definisi miskin itu. Jangan sampai pemerintah salah memaknai warga miskin. Pemerintah juga jangan tertipu pada warga yang mengaku miskin hanya untuk mendapatkan bantuan. Jelas akan salah sasaran. Semoga di tahun 2012 ini, kemiskinan menjadi salah satu prioritas yang akan diselesaikan.

Senin, 27 Februari 2012

Jeritan Dunia Pendidikan


Indonesia (sebenarnya) memiliki potensi sumber daya manusia yang tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Jumlah penduduk yang menyentuh angka 242 juta jiwa, tahun ini adalah modal luar biasa, jika benar-benar dikelola dengan baik. Namun ironisnya, kesenjangan pembangunan manusia masih terjadi.
Negeri ini memiliki masalah bangsa yang sangat banyak dan sudah menyentuh jenjang yang serius. Di antara banyaknya persoalan tersebut, hendaknya pemerintah segera bertindak dengan menentukan skala prioritas terlebih dahulu. Karena ‘pekerjaan rumah’ yang banyak itu tidak bisa selesai dalam sekejap mata.
Pendidikan layak menjadi skala prioritas dalam pembangunan saat ini. Seperti yang kita ketahui, kemajuan dalam pendidikan di sebuah negara akan berpengaruh bagi masa depan bangsa dan negara itu sendiri. Anggaran dana masih menjadi alasan. Memang anggaran pendidikan yang ada saat ini (sebesar 20%) masih digolongkan sangat kecil dan sangat pas-pasan. Jika dibandingkan anggaran pendidikan negara lain. Melihat dari sana, maka tidak mengherankan situasi pendidikan yang terjadi saat ini masih memprihatinkan.
Pendidikan nasional memiliki tugas mulia yaitu membangun watak dan jati diri bangsa. Sudah sepantasnyalah masyarakat lebih diprioritaskan untuk dapat mengenyam pendidikan. Tentunya dengan menyediakan akses yang bisa dimasuki oleh segala golongan. Maka sarana dan prasarana yang mumpuni merupakan pendukung yang sangat penting disediakan.
Masalah akses dan prasarana inilah belum bisa dipenuhi oleh pihak-pihak terkait. Memang butuh kerjasama seluruh lapisan masyarakat dalam memprioritaskan pendidikan sebagai investasi bangsa dikemudian hari. Ingatlah pendidikan digunakan untuk mencerdaskan bangsa dan ke depan kecerdasan akan menjadi bekal membangun bangsa.
Ada beberapa hal yang hendaknya perlu diperhatika dalam menangani kesenjangan di dunia pendidikan saat ini. Pertama, terciptanya akses yang bisa dijangkau semua lapisan. Kedua, sarana dan prasarana yang mumpuni. Ketiga, merevisi sistem pendidikan nasional.
Akses sekolah di negeri ini masih menjadi sesuatu mahal bagi sebagian masyarakat. Mungkin lebih mahal dari harga sebuah BB yang sekarang laris bak kacang goreng. Eksklusifitas sosial dalam dunia pendidikan masih terjadi. Walaupun masih terselubung. Tidak adanya sekolah yang layak untuk ‘si miskin’ perlu disikapi dengan lebih bijak oleh pihak berwenang.
Indikatornya bisa dilihat dari ketimpangan anggarang pendidikan tahun lalu, antara rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dengan sekolah standar nasional (SSN). Alokasi untuk RSBI sebesar Rp 289 miliar, sementara untuk SSN hanya sebesar Rp 250 miliar. Ketika dicermati jumlah sekolah RSBI yang ada saat ini hanya berjumlah ribuan, bandingkan dengan jumlah SNN yang berjumlah jutaan dari Sabang sampai Merauke! Hal ini mengindikasikan pemerintah masih menganaktirikan SNN yang secara nyata menjadi harapan generasi muda bangsa ini yang kita tahu sebagian masih berada di bawah garis kemiskinan.
Masih ditemuinya sekolah rusak, bahkan sekolah roboh dan benar-benar tidak bisa digunakan adalah potret suram pendidikan nasional. Keberadaan sekolah pun masih terlalu jauh dan sulit dijangkau banyak siswanya. Kadang para siswa yang memiliki semangat tinggi untuk belajar harus melewati jurang, hutan dan menyeberang sungai tanpa jembatan hanya untuk mengenyam pendidikan. Dan ternyata perjuangan ekstrem mereka hanya mendapat ganjaran kondisi sekolah yang nyaris ambruk. Sungguh memprihatinkan!
Terkadang adanya anggaran rehabilitasi yang dijatahkan oleh pemerintah pusat untuk sekolah-sekolah dengan keadaan seperti di atas juga tidak menjadikan lebih baik. Ketakutan lain terjadi yaitu penggelapan anggaran oleh oknum masyarakat, dinas, dan sekolah itu sendiri. Terkadang raja-raja kecil di daerah mengebiri hak warga sekolah. Tidak semua memang, tapi ada yang seperti itu.
Mengenai sistem pendidikan, hendaknya hal ini direvisi lagi sehingga benar-benar melahirkan generasi-generasi berkarakter, dalam arti sesungguhnya. Bukan berkarakter teroris, penipu seperti saat ini. Karena sistem saat ini mengajarkan pembodohan, contek sana sini dan mengagungkan citra sekolah saja. Tanpa memikirkan watak lulusannya.
Semoga ke depan, pemerintah pusat dan daerah lebih mendukung keadaan pendidikan negeri ini ke arah lebih baik. Maksimalkan otoritas daerah (jika sistem ini masih digunakan kelak) untuk menciptakan putra-putri daerah yang membanggakan. Kita bisa!

Kamis, 23 Februari 2012

Kesenjangan Pelayanan Publik

Infrastruktur dan sumber daya yang mencukupi sering disebut sebagai modal utama dalam pemberian pelayanan publik yang baik di tingkat kabupaten/kota (Good Governance Brief, 2009). Isu mengenai kualitas layanan cenderung menjadi semakin penting dalam menjelaskan kinerja organisasi pelayanan publik. Banyak pandangan negatif yang terbentuk mengenai organisasi publik muncul karena ketidakpuasan masyarakat terhadap kualitas layanan yang diterima dan organisasi publik. Muncullah sikap pesimis.
Sebagian masyarakat masih pesimis terhadap negeri ini. Apa sebab? Banyak. Secara umum seperti saya sebut di atas. Kata memuaskan ini memang terkesan subjektif, tapi pari kita lihat dari pandangan objektifnya. Jika mau mengerucut lagi dan mengambil contoh kecil, yaitu jalan, pasti segera bisa mengamini letak objektifitas permasalahan ini. Semua pasti sangat prihatin dengan keadaan jalan-jalan yang ada di negeri ini. Jalan rusak dimana-mana, alih fungsi trotoar pun menjalar.
Saya pun akhirnya pesimis (juga). Jalan adalah sarana vital dalam transportasi. Pun dengan trotoar sebagai fasilitas satu-satunya untuk pejalan kaki. Keadaan kedua infrastruktur ini sungguh mengernyitkan dahi semua orang yang perduli. Bagi yang tidak, pasti akan acuh. Tapi perlu diingat semua ini untuk kepentingan orang banyak, jadi sangat penting.
Jamak kita lihat jalan yang berlubang dijadikan kolam pancing oleh warga disekitarnya. Ada juga yang ‘bercocok tanam’ dengan media jalan rusak ini. Jangan merasa bangga dulu ketika melihat kedua hal ini. Sadarilah, mereka tidak sedang mencari alternatif dalam mencari ikan pun bercocok tanam. Tapi semua itu adalah wujud dari kekesalah mereka akan ketidaktanggapan pihak berwenang dalam menyikapi masalah ini.
Ada di suatu tempat saya lihat jalan yang memiliki kerusakan parah, seperti sungai yang sedang surut. Hancur lebur dan saya anggap sudah tidak layak disebut jalan. Ketika berkendara melewati jalan itu, sudah bisa dipastikan badan akan terasa sakit dan pinggang terasa pegal karena guncangan yang cukup besar. Perlu kiranya kita mengingat bahwa jalan rusak juga bisa menjadi jalan alternatif menuju akhirat. Tidakkah ada yang perduli dengan hal ini?
Banyak pemberitaan tentang hal ini. Makin banyak pihak-pihak yang berkewajiban menyikapi masalah ini malah melengos cuek. Ketika akhirnya terpaksa menjawab, dana yang tak cukup selalu menjadi jawaban jitu. Lalu ketika mendengar pernyataan seperti itu, maka segera saja hati kecil saya menjawab. “Mengapa untuk korupsi selalu cukup?”
Ya korupsi. Korupsi masih terus menjadi penghambat bagi tata-kelola pemerintahan yang baik. Undang-undang anti korupsi dan pelaksanaannya masih berada dalam tahap awal, dan belum menghasilkan apa-apa. Nah,agar tidak semakin banyak pikiran-pikiran buruk seperti saya sangat indah kiranya mulai diadakan transparansi anggaran dana pada masyarakat. Apakah transparansi anggaran dana yang tersedia untuk jalan, dan lain-lain. Sehingga masyarakat memiliki dasar keyakinan bahwa apa yang telah dikerjakan pihak-pihak berwenang sesuai dengan swadarma masing-masing. Pelayanan publik tidak harus berarti pengalokasian dana yang besar, tetapi lebih pada orientasi terhadap penerima pelayanan daerah dan diutamakan pada keperluannya.
Mengapa sampai detik ini juga belum ada transparansi dan penyelesaian mengenai masalah ini? Tanyakan pada diri sendiri! Karena ketika pertanyaan ini kita lontarkan kepada pihak yang berwenang, seringkali mendapat jawaban yang tidak memuaskan.
Melihat permasalahan jalan rusak ini semakin kronis saya sempat berpikir dan mencanangkan ide besar. Apakah tidak sebaiknya masyarakat mulai bergerak sendiri, karena sudah kadung kecewa dengan pelayanan yang diberikan? Saya sempat merencanakan sebuah gerakan memperbaiki jalan secara swadaya yang dananya berasal dari orang-orang yang memang perduli dengan kondisi ini.
Hal itu terbersit dipikiran saya ketika melihat gerakan Koin Prita, BolBal, Indonesia Bertidak, dan gerakan-gerakan lain yang serupa. Intinya gerakan-gerakan yang sudah saya sebutka di atas adalah gerakan-gerakan yang dilakukan oleh orang-orang yang begitu perduli dengan kehidupan sekitar. Karena disaat bersamaan, pihak berwenang sangat lamban menyikapinya, muncullah penyelesaian alternatif seperti itu. Padahal permasalahan ini memrlukan penanganan yang sigap. Lain dari itu, saya sering diolok-olok oleh teman-teman karena daerah saya terkenal dengan jalan rusak yang sangat parah.
Gerakan-gerakan itu yang membuat saya berpikir untuk merancang gerakan serupa untuk menyelesaikan masalah jalan rusak ini. Tapi sejujurnya, ide besar saya ini hanya saya pendam di dalam kepala. Birokrasi yang cukup ribet adalah kendalanya. Menciptakan gerakan seperti ini cukup susah. Perlu perencanaan yang sangat terencana. Karena ini masalah pembangunan untuk orang banyak. Sangat tidak mungkin bagi saya ketika itu.
Lalu jikapun pada nantinya gerakan ini berhasil saya lakukan setidaknya di daerah tempat tinggal saya yang memang memiliki jalan rusak yang sangat kronis. Lalu apa kerja para penanggung jawab pelayanan publik jalan bagian ini? Lalu saya pun berpikir lagi, hendaknya masalah ini diselesaikan secara bersama dan didukung oleh semua pihak.
Jujur saja, saya sangat ingin memiliki jalan yang aman dan nyaman untuk berkendara ataupun berjalan kaki. Setidaknya jalan yang tidak membuat pinggang pegal ketika melewatinya. Jalan yang aman untuk kendaraan dan pengendara.
Janganlah dulu melihat Jepang yang memang memiliki fasilitas jalan ternyaman di seluruh dunia. Karena mereka membangun fasilitas dan memeliharanya dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Itu jangka panjangnya, ingin menjadi seperti Jepang. Jangka pendeknya, ke depan negeri ini atau setidaknya daerah saya memiliki jalan yang aman dan nyaman digunakan.
Atau bahkan ada yang mau membantu merealisasikan rencana besar saya, karena sudah gregetan dengan kondisi yang ada? Mari kita berjuang bersama-sama. Mari kita mengubah pesimis menjadi optimis dengan cara kita. Mari kita mengukur optimalisasi kinerja birokrasi yang ada dengan melihat kualitas layanan yang ditawarkan.

Minggu, 05 Februari 2012

cerpen: YUI (Part I)


Aku teringat gadis bernama Yui. Pertamanya aku tak begitu mengenalnya. Seiring waktu, keadaan mendekatkan kami. Seketika, detik-detik Yui akan berada bersinggungan dengan detik-detikku. Kita tak pernah merencanakannya. Setiap perjalanan pesti memiliki tujuan. Tapi aku tak melihat Yui sebagai seorang ambisius yang berbekal ransel besar untuk mencapai tujuannya. Ia begitu santai, selalu melangkah semaksimal mungkin, tetap berada pada garis. Hingga ia mendapat sesuatu, selalu begitu. Tak sekalipun ia menyesal dengan langkah-langkahnya.
Tak pernah ada tolok ukur, apa yang akan dia coba gapai. Yui selalu membuatku senang ketika ia mengerjakan tugas-tugas yang aku berikan dengan sangat baik. Hanya perlu sedikit teori untuk memulainya, dia memendar cahaya diwajahnya, lalu memokuskannya di pipi tembemnya. Sekejap setelah itu, dia akan tersenyum dengan bibir mungilnya. Jika begini, tandanya ia memang sudah memahami apa yang aku inginkan. Beberapa waktu berlalu, ia pun akan segera melaporkan pekerjaannya, dan hasilnya memang seperti yang aku harapkan. Selalu begitu.
Yiu memang tipikal wanita modern. Bukan seorang Kartini yang masih tertindas patriarki. Dia tak pernah memberi sekat dengan lingkungannya. Selama tak mendobrak tembok-tembok pembatas, ia akan nyaman bermain di setiap halaman dan taman kita. “Aku belum mengerti, ulangi sekali lagi”. Dia tersenyum. “Apakah sudah seperti yang Kamu harapkan?” Dia datang dengan hasil yang brilian.
Aku menyukainya. Sungguh.

Jumat, 03 Februari 2012

cerpen: Masih Pagi, Tapi Rindumu Sudah Menggenang Di Atas Cangkir Kopi?[i]


Gelap ketika aku meneguk kenangan. Sudah hilang memang. Tapi aku mengais-ngais kenangan dalam gelap. Siapa tahu masih ada yang lekat di sana. Ketika gelap aku membutuhkan cinta. Cinta yang lain.
Semua berawal ketika kita ditempatkan dalam ruang kerja yang sama. Kamu rekan kerja baruku. Kamu satu, mungkin yang terindah, dari segelintir wanita yang ada di sekitarku. Kamu, aku rasa ketika itu, percikan embun pagi saat kemarau dalam hatiku. Jutaan wanita memang berkeliaran dan seringkali membuatku liar saat melewati setiap detik bersama. Selain kamu, juga ada Aya dan Irene yang merasakan suasana baru di tempat ini, sama denganmu. Aku tak pernah meraba-raba, tapi benar-benar rasanya berbeda. Aku merasakan!
Pertemuan itu memang tak pernah aku agendakan. Kamu terkejut, aku takjub. Mungkin juga kita pernah bertemu sebelumnya, karena kamu sudah berada di tempat yang sama denganku sejak beberapa waktu yang lalu. Tapi kita tak pernah menyadarinya. Aku tak pernah merasakannya.
Ketika berdua, kita menatap. Saling menatap seakan hanya ketika itu hari terakhir kita bisa saling bertatapan. Saling menyentuh. Dan lenguhan menjadi klimaks pertemuan itu.
Malam itu, meski suasana di kantor yang cukup ramai karena lembur, aku yang ada di depanmu hanya memandangmu tanpa bisa mengucapkan kata, seperti biasa. Aku hanya berdiri. Menatap lurus pada bola-bola matamu yang indah. Tak kalah indahnya, bibir mungil itu selalu menyimpan sesuatu yang bergairah untuk hatiku. Beberapa menit lewat, aku masih belum berucap.
Mungkin….
Detik detik terbuang sia-sia. Menit menit pertemuan kita hanya terisi kebekuan. Harusnya kita selalu cair untuk menyatu dalam proyek-proyek yang harus kita selesaikan. Walau masih beku, lambat laun mulai meluber juga dan akhirnya aku berasil berucap. Satu kata. Satu frase. Satu kalimat.
Selalu seperti itu sepanjang pertemuan kita. Malam pun berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Dan kau masih di sekitarku. Aku masih di sekitarmu. Kita mulai banyak berbicara. Kita mulai sering bercanda. Malam-malamku mulai terisi wajahmu, senyum manismu, bibir mungilmu. Hingga malam berlalu, berganti pagi. Pagi pergi, malam datang lagi. Kamu masih di sekitarku.
Setiap malam senyummu menyusup dalam mimpi-mimpiku. Dan tak terasa sudah ratusan malam senyum manismu ku nikmati, hingga akhirnya mulai ku kagumi, mulai ku rindukan, tak pernah ingin ku lewatkan. Ya, aku merindukanmu.
Mungkin….
Aku menyadari tak akan setiap waktu bisa menemuimu. Kini telah sedikit berubah. Keadaanya sedikit berbeda tapi banyak pengaruhnya. Kita hanya bisa bertemu kala gelap. Mengapa gelap? Karena cinta. Aku tak tahu jawaban yang lain.
Begitu juga perasaan di hatiku. Aku tak dapat mendefinisikannya. Atau mungkin aku terlalu takut mendefinisikan, sehingga perasaan ini ku biarkan. Lambat laun makin menusuk setiap jengkal pikiranku. Entah apa namanya, aku tak ingin mencarinya dalam kamus-kamus di perpustakaan, aku juga tak mau menanyakan ini ke psikiater, aku hanya ingin menikmati saja.
Malam pun datang bersama bulan dari arah yang berlawanan dengan pagi. Kadang terlihat cerah berbinar, kadang redup tertutup awan. Aku makin tak mengerti. Tak seperti senyummu yang malam itu terlihat semakin manis di mataku. Mengalir dalam desir darahku, menuju jantungku.
Menggetarkannya, memacu degupnya. Aku mungkin mengerti, aku merindukanmu. Aku hanya memandang bulan yang belum bundar sempurna.
Hal yang paling ku takuti adalah dibenci oleh perempuan karena perasaan seperti ini. Tiga tahun sebelum bertemu denganmu, ku rasakan hal itu. Dibenci karena rasa ini. Aku tak ingin hal itu terulang. Aku juga tak mau malu karena ulah rasa yang sama. Ini juga pernah aku alami beberapa tahun lalu. Tapi anehnya kini aku tak tahu, aku takut kau membenciku aku juga tak takut malu lagi. Tapi aku tak berucap. Aku malu.
Hingga saat malam datang bersama bulan yang tak terlihat karena awan begitu pekat. Aku tersentak, hatiku berontak, kebenaran terkuak. Aku tak sendiri selama ini. Aku merindukanmu di belakang istriku. Bulan enggan muncul lagi hingga datangnya pagi.
Malam-malam berikutnya seakan hampa. Seakan ada lubang besar di dalam jiwa. Walau senyummu masih menghiasi wajahmu, tapi bukan untukku. Aku merasa tak pantas lagi. Senyum yang masih saja manis, seperti pelangi yang berlapis-lapis walau sedikit membuat hati ini teriris. Dan lesung di pipimu, terus saja menyiksaku. Ingin rasanya ku ambil darimu semua keindahan, ku rekatkan pada bintang, ku terbangkan menuju bulan agar bisa ku nikmati setiap malam.
Kini, ku masih menikmati senyummu yang masih terbias di wajah bulan yang masih datang setiap malam. Senyum yang masih memacu degup jantungku.
Suatu saat nanti akan ku habiskan seluruh malam bersama bulan. Ditemani secangkir kopi, sekumpulan kenangan, dan beberapa lembar senyummu. Ku ceritakan pada bulan suatu kisah tentang ini yang akan ku kuburkan di batas langit dan bumi, di penghujung malam, di awal pagi. Aku mengaduk-aduk perasaan ini dalam secangkir kopi dalam gelap. Gelap favorit kita.



[i] Terinspirasi dari salah satu twit milik Djenar Maesa Ayu tertanggal 2 Februari 2012

Sajak Pelacur

Bibir-bibir mencibir, melampirkan cacian hinaan tajam, gelar kupu-kupu malam tak ingin disandang, menyusuri jalan setapak memandang jauh hidup kelak tak berletak, dimana, kemana dan mengadu kepada siapa dia tak tahu jawabannya.
Seorang lelaki berbisik mesra, ‘kau cantik sekali malam ini’, menyiram kedengkian, memupuk kebencian, namun tak kuasa membunuh si hama. Dengki dipelihara, benci diberi sarang ranting luka mengikat diri dengan tali kemiskinan bersimpul keterpaksaan.
Sebelum mentari memergoki, dia seret darah rembulan setelah disayat mayat-mayat yang berbisik semalam, kembali membuta, menutup bola mata pun mata hatinya, tak ada tetesan kali ini, mungkin airnya sudah terkena kemarau abadi musim hujan berkepanjangan, dia lupa pada payungnya, ditinggalkan begitu saja di tikungan saat dia berbelok menuju neraka itu.
Bibir merah dibuatnya merekah, alis lentik dibuatnya semakin cantik, pipi merona dilukisnya mempesona, bau anyir dosa ditutup parfum yang tak kenal masa dan asa, tak berani lagi dia menyulam mimpi, terlalu takut untuk mengingat kembali, ‘aku pelacur hanya menunggu hancur’. Bisikan kematian melukis indah warna-warni sisa hidup.
Aku tak mengenalmu pelacurku, tapi telingaku sudah cukup kenyang, menguping mereka tertawa, menghina, mencacimaki, lalu pergi sembunyi-sembunyi mengajakmu tidur di kasur yang mereka bawa sendiri.

Maafkan aku, aku tak tahu siapa kau oh pelacurku!