Saya
terkejut ketika melihat pemberitaan seorang pejabat Dinas Pendidikan, Pemuda,
dan Olahraga tingkat kota melakukan perampasan kamera terhadap wartawan yang
sedang meliput kegiatan terkait dana BOS di kota itu (28 Okt 2011). Saya heran
ketika membaca berita ada seorang Bupati memukul wartawan televisi lokal hanya
karena kesal terhadap sebuah pemberitaan yang dilakukan korban (9 Sep 2011). Tidak
ada ketuntasan, dan kasus-kasus serupa terjadi lagi. Pun tidak habis pikir,
seorang Gubernur melakukan sebuah gugatan terhadap media lokal yang ada di
daerah yang ia pimpin. Beberapa “kekerasan” terhadap kemerdekaan pers yang saya
paparkan ini menjadi bukti betapa institusi pers dan orang-orang yang ada di
dalamnya belum mendapatkan kenyamanannya. Jika begini, apa guna Undang-undang
Pers?
Masih
banyak kekerasan yang secara langsung atau tidak yang bisa mengerdilkan
kemerdekaan pers. Indikasinya, beberapa kasus seperti di atas (yang dilakukan
oleh para penguasa) dan sikap penguasa yang menolak merekomendasi UU tentang
Pers. Hendaknya semua komponen negeri ini menyadari hubungan yang harus dijaga
antara pers, masyarakat, dan tentunya penguasa (pemerintah). Menyangkut
kebebasan pers di Bali, sudah waktunya semua komponen duduk bersama untuk
mencari penyelesaian. Jangan anarki apalagi berbuat kriminal tanpa melihat
peraturan yang berlaku.
Mari
sadari swadarma masing-masing. Semua
komponen penting dan saling mendukung satu sama lain. Pers merupakan pembuka
jendela masyarakat terhadap dunia. Pers pun menjadi penyambung antara
pemerintah dengan masyarakat. Pers adalah pengontrol transparansi pemerintah. Saya
harap kita semua menyadari ini dan bisa memosisikan diri.
Sadarilah
bahwa pers adalah mata dan telinga kita. Mari kita berjalan beriringan tanpa
ada yang merasa lebih di atas, hingga bisa seenaknya mengintervensi satu sama
lain. Jangan selalu mencari pembenaran, mari berpijak pada hukum. Dalam hal
ini, pemerintah, pers, pun masyarakat menurut saya berada di garis yang sama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar