Bali
sejak dulu terkenal sebagai wilayah agraris. Bentangan sawah yang luas tidak
hanya difungsikan sebagai pemenuh kebutuhan pangan warganya, melainkan juga
berkembang sebagai tempat pariwisata yang begitu elok untuk tidak dinikmati.
Lihat saja apa yang terjadi di Desa Jatiluwih, Tabanan. Hingga ada julukan
Tabanan sebagai Kota Lumbung Padi. Saat ini masihkah seperti itu?
Jika
kondisinya seperti sekarang ini, saya pikir hanya akan meninggalkan julukannya
saja Bali sebagai wilayah agraris yang termasyur dengan subaknya. Pemberdayaan
sektor pertanian Bali tidak bisa lagi dikelola dengan pola-pola konvensional,
perlu adanya revolusi segera. Komitmen untuk menyatakan revolusi itu harus
didukung oleh kebijakan pemerintah yang benar-benar mau berpihak kepada sektor
pertanian. Di Bali, hanya Unud yang saya lihat aktif memperhatikan bidang
pertanian ini. Ketika keadaan seperti ini, kemandirian pangan tidak akan pernah
bisa terlaksana. Hanya akan menjadi mimpi. Hal ini tidak boleh dipandang
sebelah mata, ingat pangan adalah salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia
yang mutlak harus tipenuhi jika dilihat dari kaca mata ekonomi.
Bali
menerima tambahan beras impor 8.450 ton yang didatangkan dari Vietnam untuk
memenuhi kebutuhan persediaan pangan nasional 2010. Juga 6.500 ton beras
produksi petani Sulawesi Selatan (Sulsel) awal Juli 2010, dan tambah lagi dari
Jawa Timur sebanyak 6.000 ton. Melihat laporan itu di media massa,
membuat saya mengernyitkan dahi. Apa sebenarnya yang terjadi pada sawah-sawah
di Bali. Ini pekerjaan rumah kita bersama!
Hemat
saya semua terjadi, tidak terlepas dari menyusutnya lahan pertanian di Bali.
Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali mencatat periode 1999 luas lahan
pertanian di Bali mencapai 86.071 hektar. Angka tersebut mengalami peyusutan
hingga 4.140 hektar atau tersisa 81.931 hektar di periode 2009. Lalu pada
catatan terbaru, lahan persawahan aktif di Pulau Bali berkurang 6.479 hektar
selama tahun 2010, dari 150.283 hektar menjadi 143.804 hektar. Penyusutan lahan
ini menjadikan produksi padi pun turun dari 878.000 ton menjadi 846.000 ton.
Pemerintah Provinsi Bali diharapkan mampu mengendalikan tergerusnya lahan
pertanian karena pertumbuhan pembangunan yang mendorong alih fungsi lahan.
Melihat catatan-catatan di atas, semakin menyimpulkan dugaan saya memang ada
yang salah pada sektor ini. Saya harap pemerintah dibantu oleh pihak-pihak
terkait ikut mendukung revolusi ini, dengan memberikan perhatian lebih
sebagaimana sektor pariwisata Bali yang bisa berkembang sangat pesat.
Mari
kita wariskan sawah beserta padi-padinya kepada anak cucu kelak. Jangan hanya
mewariskan julukan agraris itu saja kepada mereka. Memang sulit mengembalikan
dan mencegah penyusutan sawah itu. Lain itu, perlindungan pemerintah terhadap
produk lokal masih sangat rendah. Produk-produk pertanian impor begitu bebas
masuk Bali dan tampil sebagai saingan yang sangat berat bagi produk-produk
pertanian lokal. Ini yang membuat kita kalah. Hendaknya perlu diperhatikan apa
yang sempat disampaikan pakar rekayasa genetika Fakultas Pertanian Universitas
Udayana (Unud) Prof. Dr. Ir. I Gede Putu Wirawan, M.Sc. yang menyatakan paling
tidak ada enam langkah urgen untuk menyelamatkan pertanian Bali.