Selasa, 23 Agustus 2011

Saat Kepedulian Terhadap Pertanian Segera Ditumbuhkan


Bali sejak dulu terkenal sebagai wilayah agraris. Bentangan sawah yang luas tidak hanya difungsikan sebagai pemenuh kebutuhan pangan warganya, melainkan juga berkembang sebagai tempat pariwisata yang begitu elok untuk tidak dinikmati. Lihat saja apa yang terjadi di Desa Jatiluwih, Tabanan. Hingga ada julukan Tabanan sebagai Kota Lumbung Padi. Saat ini masihkah seperti itu?
Jika kondisinya seperti sekarang ini, saya pikir hanya akan meninggalkan julukannya saja Bali sebagai wilayah agraris yang termasyur dengan subaknya. Pemberdayaan sektor pertanian Bali tidak bisa lagi dikelola dengan pola-pola konvensional, perlu adanya revolusi segera. Komitmen untuk menyatakan revolusi itu harus didukung oleh kebijakan pemerintah yang benar-benar mau berpihak kepada sektor pertanian. Di Bali, hanya Unud yang saya lihat aktif memperhatikan bidang pertanian ini. Ketika keadaan seperti ini, kemandirian pangan tidak akan pernah bisa terlaksana. Hanya akan menjadi mimpi. Hal ini tidak boleh dipandang sebelah mata, ingat pangan adalah salah satu dari tiga kebutuhan pokok manusia yang mutlak harus tipenuhi jika dilihat dari kaca mata ekonomi.
Bali menerima tambahan beras impor 8.450 ton yang didatangkan dari Vietnam untuk memenuhi kebutuhan persediaan pangan nasional 2010. Juga 6.500 ton beras produksi petani Sulawesi Selatan (Sulsel) awal Juli 2010, dan tambah lagi dari Jawa Timur  sebanyak 6.000 ton. Melihat laporan itu di media massa, membuat saya mengernyitkan dahi. Apa sebenarnya yang terjadi pada sawah-sawah di Bali. Ini pekerjaan rumah kita bersama!
Hemat saya semua terjadi, tidak terlepas dari menyusutnya lahan pertanian di Bali. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali mencatat periode 1999 luas lahan pertanian di Bali mencapai 86.071 hektar. Angka tersebut mengalami peyusutan hingga 4.140 hektar atau tersisa 81.931 hektar di periode 2009. Lalu pada catatan terbaru, lahan persawahan aktif di Pulau Bali berkurang 6.479 hektar selama tahun 2010, dari 150.283 hektar menjadi 143.804 hektar. Penyusutan lahan ini menjadikan produksi padi pun turun dari 878.000 ton menjadi 846.000 ton. Pemerintah Provinsi Bali diharapkan mampu mengendalikan tergerusnya lahan pertanian karena pertumbuhan pembangunan yang mendorong alih fungsi lahan. Melihat catatan-catatan di atas, semakin menyimpulkan dugaan saya memang ada yang salah pada sektor ini. Saya harap pemerintah dibantu oleh pihak-pihak terkait ikut mendukung revolusi ini, dengan memberikan perhatian lebih sebagaimana sektor pariwisata Bali yang bisa berkembang sangat pesat.
Mari kita wariskan sawah beserta padi-padinya kepada anak cucu kelak. Jangan hanya mewariskan julukan agraris itu saja kepada mereka. Memang sulit mengembalikan dan mencegah penyusutan sawah itu. Lain itu, perlindungan pemerintah terhadap produk lokal masih sangat rendah. Produk-produk pertanian impor begitu bebas masuk Bali dan tampil sebagai saingan yang sangat berat bagi produk-produk pertanian lokal. Ini yang membuat kita kalah. Hendaknya perlu diperhatikan apa yang sempat disampaikan pakar rekayasa genetika Fakultas Pertanian Universitas Udayana (Unud) Prof. Dr. Ir. I Gede Putu Wirawan, M.Sc. yang menyatakan paling tidak ada enam langkah urgen untuk menyelamatkan pertanian Bali.

Sabtu, 20 Agustus 2011

PENYESALAN SELALU DATANG BELAKANGAN


Mengapa kita sesalu menilai budaya barat adalah budaya negatif? Harusnya kita mengambil budaya-budaya barat yang positif. Kita tidak bisa menghakimi seseorang dari prilaku negatifnya saja, karena setiap manusia pasti pernah berbuat negatif. Negatif itu relatif. Begitu pula analogi bagi penilaian terhadap sebuah kebudayaan.
Mengapa kita tidak pernah belajar dari orang-orang China? Mereka mayoritas pengusaha yang selalu berusaha mengembangkan perusahaan warisan mereka secara turun temurun. Hingga nantinya ia wariskan ke cucu mereka. Apa artinya itu? Ini berarti bahwa, jangan berikan kesempatan pihak luar menjadi raja di kerajaan kita.
Ini sama halnya dengan proyek jalan tol di Bali. Harusnya, dari sejak dulu diprioritaskan untuk dikelola oleh Pemprov Bali bekerja sama dengan Pemkab Badung. Jangan biarkan masyarakat bali jadi tamu di negeri sendiri, melihat lahannya dikerjakan orang asing dalam hal ini PT. Jasa Marga Tbk.
Pemprov Bali yang tahu akan lahan ini, dan Pemkab Badung sebagai pemilik lahan akan kena imbas nanti jika proyek ini mengalami kegagalan. Saya tidak menuding bahwa PT. Jasa Marga tidak becus, tetapi waspada boleh kan? Saya tidak perlu menyebutkan proyek-proyek gagal yang diambil pihak “swasta”. Semua sudah tahu. Yang rugi siapa?
Andai saja pengusaha lokal, kelompok koperasi dan lembaga perekonomian desa serta “orang-orang lokal” lainnya tentu ini akan berimbas pada perekonomian lokal. Kita seakan negara yang kaya, yang masyarakatnya sudah mapan dan sejahtera. Padahal jauh dari itu. Dan andai saja proyek jalan tol ini diambil oleh duet Pemprov dan Pemkab Badung, sudah barang tentu akan memberi dampak positif paka kejesahtraan masyarakat sekitar.
Harusnya jika sadar akan hal di atas, Pemprov dan Pemkab mulai memikirkan hal-hal yang akan didapat dari proyek itu. Jangan menyesal setelah semuanya terjadi.

Sabtu, 13 Agustus 2011

REALITA BAHASA INDONESIA


ilustrasi :)
Rendahnya angka kelulusan mata pelajaran bahasa Indonesia pada ujian nasional 2011 jenjang SMA/MA dinilai akibat soal terlalu sulit. Naskah soal tergolong sulit karena lebih mengutamakan soal yang bersifat penalaran. Terlalu banyak soal yang diawali dengan bacaan juga sebenarnya menghambat siswa dalam mengefektifkan waktu. Banyak soal yang tanpa bacaan pun bisa dijawab, tetapi malah berisi bacaan. Tentu saja hal ini akan berpengaruh dalam pengerjaan soal. Selain karena kemampuan siswa secara pribadi terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia yang mungkin memang rendah.
Ada banyak faktor yang bisa kita telusuri terkait masalah di atas. Karena jebloknya nilai ujian nasional terjadi secara umum (banyak), berarti bukan karena pribadi, tetapi mungkin memang soalnya benar-benar sulit. Proses pembelajaran di kelas kurang efektif, kurikulum yang disajikan, atau faktor buku, dan bisa saja kemampuan gurunya yang kurang. Jujur saja, ini masalah yang cukup pelik. Semua pihak hendaknya mencari solusinya.
Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku yang tinggal di beberapa pulau. Negara Indonesia memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat penting kedudukannya dalam kehidupan masyarakat. Sekretaris Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani sempat berujar, rendahnya sikap positif masyarakat terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia membuat mata pelajaran tersebut menjadi kalah bergengsi dengan mata pelajaran bahasa Inggris. Apa implikasinya? Terbukti masyarakat lebih prestisius menggunakan bahasa asing. Bahasa Indonesia masih diremehkan.
Sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Indonesia seharusnya terus berkembang pesat, terutama yang terkait dengan proses pembelajaran. Atas dasar itu, para siswa dan tenaga pengajar mata pelajaran bahasa Indonesia harus terus diberikan buku-buku yang mendukung proses pembelajaran dan pemahaman pada mata pelajaran tersebut dan guru pun harus tetap aktif menuntun. Peran para guru cukup berat jika benar-benar mengerjakan “tugas” mereka. Tetapi nyatanya di lapangan masih banyak guru yang “malas”. Jamak guru yang tidak fokus terhadap tugas mereka dalam mengajarkan bahasa Indonesia itu. Jamak guru yang lebih mementingkan pendidikan “lanjut” nya sehingga siswa-siswanya ikut menggarap tugas-tugas ataupun penelitian-penelitian sang guru. Masuk akal memang, karena tuntutan dari dunia pendidikan membuat aturan demikian. Tidak salah memang jika diterapkan pada dosis yang sesuai, tapi penulis pikir hal ini sangat salah. Ini merupakan masalah yang cukup berkembang akhir-akhir ini.
Jika terjadi hal-hal seperti ini terus proses pembelajaran pasti akan sangat terganggu. Jika sang guru “meminta bantuan” pada siswanya dengan dalih untuk nilai tugas akhir atau tugas tengah semester, mengapa para siswa membatin, mencak-mencak. Tugas ini tidak benar. Harusnya siswa bisa menikmati tugas yang diberikan berapa pun kadar kesulitannya jika memang tugas itu mencerminkan apa yang sedang siswa pelajari. Bagi para guru maupun calon guru kelak agar memperhatikan jeritan-jeritan hati siswa. Ketidaknyamanan siswa dalam belajar akan sangat menghambat pelajaran menerobos dinding-dinding otak siswa. Jawabannya, bagaimana cara guru membuat suasana belajar siswa menjadi nyaman. Tidak zaman seorang guru pura-pura galak. Jangan menjadi guru yang ditakuti siswa, tetapi jadilah guru yang disegani siswa.
Kembali kepada rendahnya minat kepada bahasa Indonesia yang sebenarnya sudah diajarkan kepada siswa dari jenjang kelas 1. Dalam UU Nomor 24 Tahun 2009 dijelaskan tentang bagaimana kita harus mengutamakan jati diri dengan menggunakan bahasa Indonesia. Di Indonesia kita melihat kurang ada kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia, terutama di kalangan cendekiawan. Dalam pidato para pejabat, termasuk Presiden SBY, sering kali digunakan bahasa Inggris. Kita juga gemar mengambil alih kata bahasa Inggris dan menjadikannya kata dalam bahasa Indone- sia. Mungkin karena malas atau karena gemar (sok berbahasa Inggris). Padahal, ada kata padanan untuk kata-kata yang diserap itu.
Contohnya kata arogan, disparitas, kondusif, klir. Padahal, arrogant tak lain tak bukan ’sombong’; disparity itu ’perbedaan’; conducive for ’mendukung untuk’; clear ’jernih’ atau ’jelas’. Masih banyak lagi kata-kata Inggris yang sering digunakan oleh para cendekiawan kita dalam kegiatan sehari-hari. Kita berharap pers ikut di dalam kegiatan mengurangi penggunaan kata-kata Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Untuk hal-hal seperti di atas berterimakasihlah pada pers. Pers atau media massa berperan besar memasyarakatkan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Banyak siswa meremehkan pelajaran bahasa Indonesia. Buat mereka, mata pelajaran bahasa Indonesia tak terlalu penting. Asal kita mampu bicara bahasa Indonesia, sudah cukup. Lebih miris lagi jika melihat kenyataan bahwa jurusan kita di Undiksha ini menjadi jurusan “buangan”. Bisa dibuktikan, berapa siswa jurusan kita yang memang menempatkan bahasa Indonesia pada pilihan pertama mereka saat test masuk, baik SMNPTN maupun PMJL. Mereka “lari” ke Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra tercinta ini agar bisa saja kuliah di sini.
Tapi jika memang bersungguh-sungguh hal itu tidak masalah. Terpenting ada kesungguhan dari guru atau dosen dan siswa atau mahasiswa dalam menyikapi ini. Anggap saja sudah terlanjur basah. Tidak ada yang bisa menebak nasib orang kan? Hidup memang sebuah pilihan.
Bagaimana dengan kenyataan masyarakat atau kalangan pendidik dan terdidik itu? Dalam kenyataan, kemampuan mereka berbahasa Indonesia kurang baik, padahal kemampuan itu amat dibutuhkan untuk bisa maju, baik sebagai pribadi maupun sebagai bangsa. Butir ketiga Sumpah Pemuda yang pernah kita anggap sebagai salah satu kebanggaan bangsa mulai meredup. Kita perlu tumbuhkan kembali kebanggaan itu.