Jumat, 10 Mei 2013

Bukan Pesta Politik, tapi Pesta Kreatif (2 of 4)

Makin parah ketika sebagian besar generasi muda mulai terbius oleh sajian-sajian media yang tidak cerdas itu. Praktis mereka tidak akan bisa menanggapi sesuatu dengan kritis, seperti misalnya mengenai kebangkitan nasional ini. Beberapa tindakan nyata haruslah mulai dilakukan dari sekarang dalam menyikapi situasi seperti ini. Kebangkitan Nasional tidak hanya untuk diperingati, tetapi diteruskan karena perjuangan belum berakhir. Bagai titik dalam koma.
Masih ingatkah kalian dengan kalimat terkenal dari Ir. Soekarno? Kalimat itu berbunyi begini. “Berikan aku 1000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, berikan aku 1 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Dari kalimat tersebut terlitas di benak saya sebuah pertanyaan, sehebat itukah para pemuda? Sekuat itukah mereka?
Selanjutnya saya yakin jawabannya “ya”. Tetapi ironisnya hari ini kondisi generasi muda nampaknya sudah sangat jauh dari harapan. Semakin maju zaman, semakin maju teknologi justru semakin membuat sebagian generasi muda negeri ini menjadi apatis, hedonis, dan kurang peka terhadap sesama. Ini efek nyata dari sajian media yang tidak cerdas tadi.
Indonesia kaya akan kebudayaan. Keberlangsungan hidup kebudayaan ini ada di tangan para generasi muda. Jika tidak, otomatis kebudayaan akan tergerus teknologi. Itu berarti, kearifan lokal yang kita miliki akan segera punah dalam hitungan detik. Praktis, efek terbesarnya adalah memburuknya ketahanan nasional. Saya tidak mengkambing hitamkan teknologi karena saya yakin kebudayaan lokal dan kemajuan teknologi bisa berjalan beriringan dan saling mendukung demi kebangkitan nasional. Contoh nyatanya, lihatlah Jepang.
Kecenderungan generasi muda saat ini lebih suka berpergian ke tempat perbelanjaan dan tempat hiburan daripada ke tempat-tempat atau acara-acara edukatif seperti seminar, workshop, dan sejenisnya. Saya pikir ini adalah akibat dari prinsip “mengatakan dengan mengatakan”, harusnya kita menganut prinsip “mengatakan tanpa mengatakan”. Prinsip “mengatakan dengan mengatakan” yang sudah membudaya membuat generasi muda menjadi tidak kritis dan hanya menerima. Kebiasaan ini lahir karena semua informasi disampaikan secara gamblang, masyarakat menjadi tidak bisa berpikir imajinatif. Terbukti, mayoritas masyarakat kita lebih menyukai sinetron. Prinsip “mengatakan tanpa mengatakan” yang terbaik karena kita dibiasakan kritis dan kreatif dalam menyoroti persoalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar