Selasa, 29 November 2011

cerpen: KOTAK WAKTU



Sebenarnya aku tidak pernah menyangka kita akan bertemu lagi. Sudah lama sekali  rasanya, padahal baru lima tahun lalu. Aku ingat betul pertengkaran yang kita sulut yang kian membara menjadi api yang memanaskan benang kita hingga putus. Kamu melempar-lempar batu keras-keras ke arahku. Tapi yang terjadi kemudian diluar kuasa kita. batu yang kamu lempar terbang jauh, mungkin kamu lempar dengan tenaga penuh, hingga menghujam deras kaca rumah tetangga kita. Aku masih ingat bagaimana pucatnya mukamu setelah itu. Dan, kamu langsung kabur, kan?! Ketika itu kita memang sering bertengkar. Tiada hari tanpa perang urat sarap. Selalu adu mulut. Tapi lucunya, tak lebih sejam kemudian kita bermain lagi seakan tak pernah ada ketengan yang memompa hati ini. Benar, kita memang sahabat sejati. Mungkin. Kamu marah, tapi wajahmu lucu. Mukamu merah tapi tak tampak menyeramkan. Kamu marah tapi seperti orang mau nangis.
Eh, masih ingatkan kamu ketika kita dengan lagak ilmuwan merancang sebuah perahu berdinamo kecil. Kita yakin sekali dengan karya kita ini, sampai-sampai kita sesumbar di depan teman-teman kita kalau perahu ini akan mampu menerjang arus kali kecil yang ada di dekat rumah kita itu. Tapi apa yang terjadi setelah dioprasikan? Ha..ha…ha… aku tak tahan untuk tidak tertawa. Aku juga malu karena telah sesumbar di hadapan teman-teman ketika perahu kebanggaan kita dengan polosnya tersapu arus kecil kali. Kebanggaan kita pun hanyut.
Oh iya, masihkah kamu ingat ketika kita menggali lubang yang cukup dalam di belakang rumah kecilmu, lalu kita menaruh sebuah kotak yang kita sebut kotak waktu? Kotak waktu itu sebenarnya hanya berisi barang-barang favorit masing-masing. Aku memasukkan robot Gundam kesayanganku, dan kamu memasukkan………. Aku pikir ini adalah ide terkonyol yang pernah kamu lakukan. Jujur, aku sangat ingin tertawa saat itu, tapi aku masih menjaga perasaanmu. Patung kupu-kupu yang kamu masukkan dalam kotak waktu kita selalu membuatku ketawa geli. Kamu mengatakan bahwa kupu-kupu itu adalah benda yang akan membuat orang ingat untuk selalu berbuat baik untuk dunia ini. panjang lebar kamu menjelaskan  padaku bahwa kupu-kupu itu mewakili perdamaian dan kasih sayang. Cerita versi kamu ini membuatku mengantuk saat mendengarkannya. Mungkin kamu orang yang paling aneh yang pernah aku kenal, setidaknya sampai saat detik itu.
Satu hal yang tercatat rapi dalam memoriku adalah saat kita memasuki gerbang SMU untuk pertama kalinya. Pagi itu cerah sekali. Surya merangkak menyapa seluruh isi bumi tak terkecuali kita berdua. Cerahnya pagi seakan beranalog dengan perasaanku saat itu. Mungkin perasaanmu juga. Karena hari itu hari pertama kita masuk sekolah, tepatnya kita berada di SMU favorit kita. dan ternyata kita tidak hanya berdua menikmati indah pagi ketika itu. Mata kita langsung menghujam tubuh mungil yang berjalan begitu anggunnya. Senyumnya menurutmu melebihi manis kadar manis madu Nirwana.
“Emang kamu pernah mencicipi madu Nirwana?” tanyaku.
Kamu tak menjawab. Kamu seakan terhipnotis (juga) oleh sosok mungil itu.
Sejak saat itu, seakan kita enggan meninggalkan sekolah ini. setelah sekian lama kita melawan perasaan yang berkecambuk di dalam diri sendiri, akhirnya kita memberanikan diri untuk berkenalan langsung dengan sosok mungil itu. Wik adalah nama pemilik tubuh mungil dengan senyum yang manisnya melebihi manis madu Nirwana itu. Wik sangat mudah bergaul. Kami pun langsung cocok. Lebih-lebih aku. Seakan lupa lingkungan jika sudah menikmati senyum madunya. Jika saja boleh aku minta setetes senyumnya, akan ku seduh setiap hari untuk memaniskan hatiku. Otakku semakin melayang ngalor ngidul. Aku pun agak melupakanmu teman.
Inilah salahku. Aku tak pernah berpikir jauh tentang apa kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi ketika aku berbuat sesuatu. Dan satu hal yang tidak aku sadari itu adalah ternyata kamu juga memendam rasa yang sama denganku kepada si mungil Wik. Aku dilema. Aku terlanjur melancarkan serangan demi serangan ke hati Wik, walau pun belum tepat sasaran. Belakangan aku pun segera mengetahui ternyata kamu juga melakukan hal yang sama secara diam-diam. Seakan kita kompak untuk tidak saling berbagi tentang rencana-rencana itu.
Pada suatu waktu yang tepat, Wik mulai mengunciku di dalam hatinya. Dan sekali lagi, aku tak mengatakan apa-apa tentang hal ini kepadamu kawan baikku. Sangat jarang terjadi hal seperti ini, dan kita tidak sekalipun saling curiga. Asyik saja aku dan Wik menikmati hari-hari ini dan besok, pun dengan lusa yang selalu kita rencanakan dengan cukup matang. Tidak terasa sudah seminggu aku dan Wik menghabiskan waktu, sampai-sampai aka tak menyadari jika kamu telah melangkah lebih jauh dariku. Sungguh, betapa terkejutnya hatiku menerima dilema besar ini.
Aku menanyakan padamu mengapa hal ini sampai terjadi. Kamu bisu. Aku menanyakan Wik, mengapa ia melakukan itu dan sedikitpun tak merasa melukai. Ia nyaris tak merasa menyesal. Aku tak mengerti apa tujuan dari drama pilu ini. Aku menanyakan diriku sendiri. Apakah aku telah gegabah? Aku bertanya pada hatiku, apakah engkau menguji persahabat ini? Semua nihil.
Saat aku menyadari kebingunagnku, ketika aku tak menemukan jawaban dari semua pertanyaannku, masalahku bertambah. Entah mengapa tiba-tiba orang tuaku harus pindah ke tempat yang sialnya sangat jauh dari temapt pijakku saat ini. Jerman tujuan mereka. Dan aku dengan sangat terpaksa ikut mereka. Hati yang belum terobati, logika yang terasa terbodohi menjadi bekal keberangkatannku ke negeri itu. Aku belum sempat mengatakan maaf kepada sahabatku itu. Jerman begitu dingin. Aku menggigil dengan hati bekuku. Hantu bersalah yang selalu menghujam.
Aku mengirimkan sepucuk surat elektronik tertuju Indonesia.
Untuk Div, sahabatku.
Maafkan aku dari hatimu. Aku dosa sahabatku. Merobek lukisan yang kita lukis sejak lama. Aku ingin kita selalu ingat dengan kotak waktu itu. Aku harap masih ada. Tolong bawakan aku besok. Ketika kita bertemu lagi.
Aku tidak pernah menginginkan ini. Meminta maaf dengan cara seperti ini, karena hanya alamat ini yang aku tahu. Semenjak aku pergi, kamu seakan menghapusku dalam hidupmu. Sepertinya Div terkejut. Tertegun sejenak dalam suasana lirih itu. Air mata lelaki itu akhirnya terjatuh. Sebuah peristiwa yang akan jarang ditemui di waktu normal. “Kotak waktu” mereka di atas ranjang terakhir sahabatnya itu. Seorang bertubuh hitam kekar menunaikan tugasnya menutup “ranjang” itu dengan tanah-tanah gersang merah yang tertimbun, kini di dekatku.
Good bye my best friend, I really wish we can met again and great thank’s for your kidness. I miss you there…


(cerita ini hanya fiktif, jika ada kesamaan nama, tempat, kejadian, dll, saya mohon maaf)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar