Minggu, 20 November 2011

Akar Masalah: Tradisi Usang


ilustrasi :)
Peraturan-peraturan yang “aneh” terkait kembar buncing ini memang sudah lama dihapuskan oleh Pemerintah di Bali melalui PERDA NO. 10 TAHUN 1951 sejak tahun 1951, dan tidak lagi tercantum di awig-awig desa adat. Tetapi beberapa daerah masih dipertahankan sampai sekarang. Beberapa contoh masih dipermasalahkannya kembar buncing pasca dihapuskannya peraturan mengenai kembar buncing bisa dilihat dari beberapa kasus ini.
Kasus kembar buncing di Desa Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali tahun 2004 lalu adalah contoh masih diberlakukannya peraturan “aneh” ini. Ketika itu, Nengah Tarsa (34 th) dengan Ketut Susun (29 TH) beserta bayinya dipindahkan dari rumah asalnya kesebuah rumah darurat diatas tanah Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan.
Pun dengan sebuah kelahiran bayi kembar di Desa Adat Lawak, Desa Belok-Sidan, Petang setahun sebelum musibah yang menimpa keluarga Nengah Tarsa (Denpost, 25 Maret 2003). Kembar buncing yang berorang tua Made Kandi dan Ketut Jinah harus melakukan pecaruan besar yang sangat berat bagi keluarganya yang notabene hanya seorang petani. Bagaimanapun, sangsi adat untuk membersihkan “leteh” di desanya itu harus dijalankan. Kasus lain menimpa I Wayan Artika penulis Novel Incest yang diadili oleh adat karna tulisannya pada novel yang dianggap menceritakan aib desanya kepada publik. Yang kemudian, penulis harus membayarnya dengan dikeluarkan dari desa tersebut, adalah contoh nyata betapa kembar buncing masih menyimpan “kegelisahan” yang menyelimuti masyarakat Bali.
Ini menandakan masalah kembar buncing masih aktual dalam masyarakat Bali. Masalah ini pun menjadi topik yang diambil oleh banyak pengarang di Bali, sebut saja I Wayan Artika (Incest), Wayan Sunarta (Kembar Buncing) dan Ayu Suartini (Senja Pilu). Dalam penelitian ini peneliti mengambil cerpen. Melakukan analisis karya sastra khususnya cerpen tidaklah mudah, apalagi cerpen-cerpen bertema Bali, karena banyaknya cerpen yang mengambil isu serupa dari belbagai sudut pandang yang dihasilkan oleh sastrawan Bali (yang tinggal di Bali ataupun yang tinggal di luar Bali).
Salah satu cerpen yang mengangkat fenomena ini, seperti sudah disebutkan di atas, adalah cerpen karya Wayan Sunarta. Mengapa Sunarta? Karena cerpen Kembar Buncing karyanya sangat jelas menggambarkan bagaimana “kegelisahan” masyarakat Bali merespon isu Kembar Buncing ini. Lain dari itu, cerpen Kembar Buncing ini pun telah mendapat apresiasi dari harian nasional Kompas. Sehingga dalam hal ini, tepatlah pilihan peneliti.
Masyarakat Bali dewasa ini sangat fenomenal sebagaimana terekspresikan dalam cerpen (Manuaba, 2009). Cerpen yang merupakan bagian dari karya sastra yang banyak sekali mengandung makna-makna kehidupan tergantung tema apa yang diangkat. Ini terekspresi dalam karya pengarang yang hidup dan mengalami dunia sosial Bali; dunia yang mengalami ketegangan sosial dan kultural, baik berupa konflik-konflik yang terbuka maupun yang terpendam. Selain itu, adanya kekurangberdayaan lembaga desa adat (pekraman) dalam mengatasi berbagai konflik internal. Masyarakat Bali yang berpandangan modern tidak lagi menerima begitu saja apa yang dipaksakan desa adat (Ady dalam Manuaba 2009).
Fenomena sosial yang terwacanakan dalam cerpen memperlihatkan tidak adanya perimbangan antara kenyataan masyarakat yang mengalami perubahan sosial dan kultural dengan kemauan dan kemampuan masyarakat untuk meresponnya. Kehidupan manusia harus mampu membangun tradisi yang sesuai dengan taraf kehidupannya, karena tradisi tidak ajeg sepanjang masa. Tradisi yang usang dapat menyengsarakan manusia di tempat tradisi itu ada (Manuaba, 2009).
Dunia sosial menjadi fenomena sosial yang tengah terjadi yang menimbulkan “kegelisahan” di kalangan intelektual muda  Bali. Wijaya (2003) meyakini dunia sosial Bali berada dalam kultur hegemoni adat. Atas keyakinan itu, ia memandang penting menafsir ulang dunia sosial dalam kerangka kepentingan masa kini yang dapat merangsang proses kreatif pengarang Bali menuliskan cerpen.
Kegelisahan inilah yang digambarkan oleh Wayan Sunarta dalam Kembar Buncing.
“Maafkan kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?” (Kembar Buncing, Wayan Sunarta).
Sistem sosial merupakan perangkat unsur sosial yang saling berkaitan dan berbentuk suatu totalitas serta dipahami sebagai susunan komponen-komponen sosial yang terjalin dengan sangat erat. Menurut Person (dalam Ritzer dan Douglas, 2003) dalam sistem sosial pada cerpen pengarang Bali sering muncul pengelompokan sosial yang didalamnya terdapat himpunan manusia. Dalam cerpen Kembar Buncing muncul kelompok sosial yang tak terdidik yang digambarkan melalui kelompok banjar dan kelompok terdidik seperti tokoh Darsa. Darsa inilah yang dilukiskan sebagai kelompok yang sudah berpikiran modern. Di sanalah muncul penolakan terhadap awig-awig yang merupakan aturan turun temurun dari desa itu.
“Peraturan ini sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir. Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali mematuhinya.” (Kembar Buncing, Wayan Sunarta)
Sebagai kaum terdidik, tokoh Darsa tidak menyetujui sangsi terhadap kembar buncing ini, inilah akar permasalahannya.
Cerpen adalah karya yang dapat menangkap pengalaman khas proses modernisasi yang berlangsung pada masyarakat dan kebudayaan Bali yang mungkin saja tidak terdapat pada masyarakat etnis lain di Indonesia. Inilah alasan mengapa cerpen yang peneliti gunakan. sebagai subjek penelitian serta teori strukturalisme genetik sebagai objeknya.
Pemahaman karya sastra yang didasarkan pendekatan strukturalisme genetik tidak mungkin dilakukan tanpa pertimbangan faktor-faktor sosial yang melahirkannya sebab faktor-faktor tersebut memberi kepaduan pada struktur karya sastra. Faktor-faktor sosial itu adalah norma-norma atau nilai-nilai yang diambil dari masyarakat yang sudah dibingkai menurut fakta dalam struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan strukturalisme-genetik mengnggap karya sastra sebagai semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner (Goldmann,1981: 55-74).

2 komentar:

  1. Ini tulisanmu sendiri? Hebat sudah membaca Goldmann. Salam

    BalasHapus
  2. ini latbel proposal tugas dari p yasa sebenarnya pak, hehe mengenai Goldmann, beliau yang memberi tahu teorinya. makasi bapat telah meluangkan waktu membaca tulisan ini :)

    BalasHapus