Senin, 24 Oktober 2011

SAAT KUALITAS PENDIDIKAN MENJADI TARUHAN


Sejumlah bupati/wali kota kini semakin banyak yang ikut campur dalam pengangkatan, pemindahan, pemerhentian kepala sekolah dan tentu saja kepala dinas sampai penerimaan siswa baru. Mengerikan. Dunia pendidikan kini dipolitisasi. Otonomi daerah disalahgunakan. Cepat atau lambat hal itu akan mengancam kualitas pendidikan nasional.
Beberapa tahun yang lalu ayah saya yang seorang guru ditugaskan menjadi KPU pemilihan kepala desa. Karena pekerjaan dadakan itu, ayah hampir saja dipindah tugaskan ke daerah pelosok di kabupaten tempat kami tinggal. Seorang anggota DPR menekan ayah agar memenangkan salah satu calon pada pemilihan kepala desa itu. Jika dipikir-pikir, apa hubungan ayah saya yang seorang guru bisa dipindah seenaknya hanya karena malah politik. Memang tidak ada hubungannya tapi pemindahan itu bisa saja terjadi dalah waktu kurang dari 48 jam. Inilah hanya contoh kecil “kesaktian” otonomi daerah yang berlaku di dunia pendidikan.
Dunia pendidikan nasional ibarat pencetak teroris. Ekstrim memang. Tapi itulah kenyataannya. Politisasi dalam pendidikan menyebabkan orang-orang yang tidak berkopeten mendapat kedudukan. Dalam kasus pengangkatan kepala sekolah, misalnya. Kita butuh pemimpin-pemimpin dalam pendidikan yang memiliki wawasan dan menguasai betul soal pendidikan, sehingga dalam perjalanannya bisa mengambil solusi-solusi terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Jika pemimpin yang diangkat karena mempunyai kedekatan dengan pejabat dan yang bersangkutan tidak memiliki latar belakang, pengalaman, dan pemahaman tentang pendidikan terpilih maka bisa dilihat seperti apa kerja mereka. Jika hal serupa terjadi pada guru, seperti yang jamak terjadi, alamat berbahaya bagi masa depan anak didiknya. Bagaimana jadinya jika seorang guru yang “beruntung” karena menjadi tim sukses sang bupati terpilih, ia hanya mempunyai modal pengalaman menjadi tukang judi kelas kakap, tidak ada pengalaman mendidik akhirnya menjadi guru?
Intervensi pemerintah kabupaten/kota terhadap sekolah juga terjadi pada kelulusan siswa. Sejumlah kepala biasanya diberi target tertentu dalam kelulusan siswa. Jika tidak memenuhi target, kelapa sekolah biasanya dimutasi atau diberhentikan dari jabatannya. Kepentingan politik kini mengintervensi dunia pendidikan. Jika kepala sekolah sudah diintervensi, selanjutnya apa yang terjadi? Kepala sekolah akan menekan guru untuk mencapai target kelulusan itu tanpa memperdulikan cara yang ditempuh. Akibatnya guru tidak tenang dalam mengajar, karena beban yang begitu berat.
ilustrasi :)
Apa yang terjadi pada Ibu Siami adalah contoh paling nyata yang terjadi baru-baru ini. hati nurani sang Ibu melawan massa teroris yang sama-sama mempunyai pembenaran masing-masing. Ibu Siami tidak bisa menerima anaknya Alif menjadi pelaku tindakan kecurangan dalam ujian nasional disekolahnya. Alif yang sedari kecil diajarkan kejujuran oleh sang ibu tidak menyangka akan diajarkan trik-trik curang oleh sekolahnya yang oleh sang ibu diharapkan menjadi tempat untuk memupuk kejujuran itu.
Ia ingin membongkar kecurangan itu dengan melaporkannya kepada penguasa di daerahnya. Ia sangat tidak terima anaknya diajak berbuat curang. Malang nasibnya, perjuangan menegakkan kejujuran yang dilakukannya membentur batu besar yang akhirnya menindih dia dan keluarganya. Siami diserbu masyarakat. Siami bak pahlawan kesiangan bagi mereka. Kisah selanjutnya, siami dan keluarga diusir warga. Sangat ironis.
Alif anak Siami baru duduk di bangku sekolah dasar. Inilah cerminan pendidikan nasional, sedari SD anak sudah diajarkan menjadi teroris. Ini tidak bisa dilepaskan pada sistem pendidikan kita yang mengukur prestasi anak semata dari hasil ujian dan ulangan semata. Pun hanya mengandalkan proses, karena bisa saja proses itu hanya dijadikan kedok. Padahal ada udang di balik batu. Terbaik adalah melihat secara keseluruhan, proses dan evaluasinya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar