Pagi
ini aku sengaja bangun lebih awal. Aku bangun lebih pagi untuk melihat matahari
yang terbit pagi ini, apakah sama atau beda. Ternyata sama dengan matahari pagi
kemarin. Lalu apa yang ditunggu oleh orang-orang kemarin? Apa yang dirayakan
oleh orang-orang kemarin? Sungguh aneh. Aku mengingat berdebatan seruku dengan
Made kemarin.
Kata
orang ini tahun baru. Aku mengiyakan saja. Aku malas berdebat tentang ini. Lalu
aku mengganti kalender lamaku dengan kalender yang terbaru, dan menempelnya
pada dinding kamar. Ada tulisan 2013 ukuran cukup besar. “Cukup kan?”
“Tidak
sepolos itu”, sangkal Made. “Tahun baru harus kau sambut dengan suka cita,
dengan meriah. Ada tradisi. Kita harus melakukan ritual menyabut tahun baru.”
“Lalu
apa”
“Kamu
pernah mendengar bagaimana tradisi menyambut tahun baru di belahan bumi lain?”
“Tidak”
Temanku
mulai bercerita panjang lebar tentang tradisi tahun baru. Sepertinya dia sangat
suka perayaan ini, sampai-sampai tahu semua perayaan di setiap negara. Aku
hanya mendengarkan. Ya, pendengar yang baik.
Kata
temanku, tahun baru mengambil banyak bentuk. Saat jam berdentang 12 kali saat
malam pergantian tahun, jutaan orang telah mempersiapkan ritual khusus. Ya,
menurutku kebiasaan-kebiasaan itu agak aneh. Menurutku perayaan-perayaan
semacam itu sangat kental unsur takhayulnya. Setidaknya dari cerita temanku
ini.
“Apakah
kau tahu perayaan tahun baru di Filipina?”
“Tidak”
“Orang-orang
di sana memakai busana bermotif polkadot saat perayaan tahun baru”
“Lalu?”
“Itu
maknanya, agar mereka dianugrahi keberuntungan pada tahun baru”
“Oh...”
“Di
negara lain di Amerika juga ada kepercayaan seperti itu. Hanya saja bukan motif
polkadot, tapi warna cerah. Warna merah untuk keberuntungan cinta. Warna kuning
untuk kesuksesan keuangan”
Aku
hanya mengamini dengan anggukkan. Sungguh kental mitos, batinku.
“Di
Denmark lain lagi. Orang-orang berdiri di kursi dan melompat bersama saat jam
berdentang tengah malam. Itu secara harfiah itu melompat ke tahun yang baru”
“Oh”
“Kalau
orang Belanda membuat api unggun”
“Buat
apa?”
“Perayaan
tahun baru. Mereka membuat api unggun itu dari pohon natal mereka dan mereka
juga makan donat manis”
“Aku
sering makan donat manis walau tidak saat malam pergantian tahun baru”
“Ini
ada maknanya! Memakan makanan Tahun Baru yang bentuknya bulat dipercaya
melambangkan keberuntungan”
“Apakah
hanya dengan itu, kita akan segera betruntung?”
“Ini
perayaan. Itu mitosnya Yan!”
“Baiklah-baiklah.
Lanjut ceritamu De. Ada lagi perayaan aneh lagi?”
“Ada.
Di Spanyol sana. Mereka melahap 12 buah anggur sebelum dentang lonceng tengah
malam.”
“Untuk
apa? Tidakkah boleh lebih?”
“Tidak.
Masing-masing buah itu melambangkan satu bulan yang akan manis atau asam”
“Oh...”
Semakin
takhayul saja perayaan ini. Lalu di sini orang-orang meniup terompet,
menyalakan petasan, menembakkan kembang api ke langit. Tidak kalah anehnya
bagiku.
Walau
beda budaya dan tempat, bagiku perayaan tahun baru adalah sebuah kesempatan
melepas stres sebelum siklus tahunan kembali dimulai.
“Inilah
hari libur untuk santai dan melepas stres”
“Lalu
apakah kamu hanya akan bermalas-malasan seperti ini saja Yan? Malam ini malam
pergantian tahun lho. Pasti di luar sana orang-orang sudah menyiapkan banyak
petasan, kembang api untuk dibakar”
“Setelah
itu?”
“Kita
meniup terompet tepat tengah malam”
“Membosankan
De. Aku merasa berada di Irak jika keluar. Serangan yang menghujam langit
memekakkan telinga. Membuat jantung orang-orang terkaget-kaget.
Ledakkan–ledakkan itu, aku tak suka.”
“Lalu
kamu tidak ikut merayakan tahun baru malam ini dengan teman-teman?”
“Tidak”
“Teman-teman
sudah berkumpul di taman kota. Ada juga di pelabuhan. Mereka sudah menyiapkan
acara besar-besaran. Rugi jika tak ikut Yan”
“Aku
tidak suka perayaan tahun baru De.”
“Baiklah,
aku menyerah Yan. Aku tak akan membujukmu lagi untuk ikut ke taman kota atau
pelabuhan.”
Made
pun pergi meninggalkan Wayan. Jarum jam menunjukkan pukul delapan lewat empat
puluh lima menit. Sekitar lebih dari dua jam dua sahabat itu berdebat tentang
tahun baru.
Memang,
semenjak tahun baru berganti menjadi tanggal 1 Januari sejak dari 46 SM, dan
tidak lagi 1 Maret seperti kalender lama, orang-orang masa kini merayakan tahun
baru dengan bermain, makan, dan minum.
Aku
tetap tidak tertarik dengan perayaan itu. Bagiku tahun baru besok aku harus
menyelesaikan skripsiku, aku harus wisuda. Aku harus lebih rajin. Aku harus
introspeksi diri. Aku memikirkan caranya. Aku mulai menyusun strategi. Lalu aku
eksekusi tahun baru besok. Tapi untuk malam ini, aku hanya ingin istirahat
sejenak, sebelum memulai rencana besarku.
Membakar
kembang api, menyalakan petasan, meniup terompet tidak akan berarti apa-apa.
Menurutku. Dan inilah yang membuatku selalu berdebat dengan Made, sahabatku.
Desingan
kembang api sudah mulai ramai. Memekakkan telinga. Tiupan terompet oleh
anak-anak tetangga sedari tadi telah bersaut-sautan.
Dar...derr...dooorr....suara petasan seakan menghujam dinding-dinding kamarku.
Bersaut-sautan pula. Mereka berteriak jumawa menunjukkan siapa yang lebih
berkuasa. Menguasai malam. Dar...derr...dooorr.
Aku
pun menarik selimut. Selamat malam tahun 2012. Semoga besok tahun 2013 lebih
cerah untuk semua orang. Sampai bertemu di tahun yang kata orang baru.
Selamat Tahun Baru 2013.
Singaraja,
1 Januari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar