Seni pertunjukan wayang mungkin tidak terlalu digemari oleh generasi muda zaman sekarang. Apalagi seumuran dengan saya, dan generasi di bawah saya. Karena bagi sebagian orang, pertunjukan ini susah dimengerti, karena bahasa dan cerita yang menggambil kisah-kisah berat seperti Ramayana dan Mahabarata. Walau begitu, dalam melestarikan pertunjukan (kesenian) wayang ini, banyak inovasi dilakukan oleh para pelaku wayang. Mulai dari merekontruksi cerita, serta isu-isu kekinian yang diangkat, tanpa kehilangan ruh pesan-pesan luhur cerita wayang yang sudah ada, sehingga masih bisa dikonsumsi oleh generasi zaman sekarang.
Wayang Ceng Blonk adalah salah satu wayang yang mengikuti perkembangan isu-isu sosial serta teknologi terkini dalam mendukung pertunjukkannya. Terbukti, wayang ini dapat dinikmati oleh lintas generasi. Wayang yang didalangi oleh Nardayana ini sukses memunculkan lagi apresiasi wayang di kalangan generasi muda.
Belayu adalah nama sebuah desa di Bali
selatan—ia secara administratif masuk dalam wilayah kabupaten Tabanan, beberapa
belas kilometer ke utara Denpasar—dimana wayang ini muncul pertama kali pada
sekitar tahun 1997-1998. Kemunculannya saat itu dibidani oleh seorang dalang
bernama Nardayana.
Ceng Blonk, sebuah inovasi dari
wayang kulit purwa tradisional yang menjadi fenomena baru di Bali. Wayang ini
sangat populer dengan frekuensi pentas sangat tinggi. Bahkan ia mencatatkan
diri sebagai pertunjukan wayang pertama yang direkam dalam format video
komersial. Satu hal yang menarik, kehadiran wayang ini erat dikaitkan dengan
angin keterbukaan di Indonesia pasca reformasi dimana kritik sosial adalah
sebuah hal yang niscaya dan wajib menjadi konsumsi masyarakat. Itulah sekilas keunikan wayang Ceng Blonk yang membuat ia begitu digandrungi.
Pementasannya sudah memakai nama Ceng Blonk sebagai trade mark serta disertai pula dengan inovasi-inovasi kreatif. Inovasi tersebut mencakup perihal teknis pementasan dan penokohan. Kedua hal inilah yang pada akhirnya membawa ciri khas tersendiri pada Ceng Blonk.
Pementasannya sudah memakai nama Ceng Blonk sebagai trade mark serta disertai pula dengan inovasi-inovasi kreatif. Inovasi tersebut mencakup perihal teknis pementasan dan penokohan. Kedua hal inilah yang pada akhirnya membawa ciri khas tersendiri pada Ceng Blonk.
Ceng Blonk sendiri selain merupakan trademark
sekaligus juga nama dua karakter kreasi dari sang dalang. Ceng
dan Blonk adalah rakyat biasa yang tidak berperan sebagai punakawan atau abdi
dalem. Nardayana tampaknya mencipta dua tokoh rekaan ini dengan tujuan memberi
ciri khas wayangnya sekaligus untuk menghadirkan suara rakyat kecil di luar
lingkaran istana. Memang benar, para punakawan merupakan potret rakyat jelata
dalam pakem pewayangan konvensional, namun mereka tetap mengabdi kepada tuannya
di dalam lingkungan tembok puri. Jadi tujuan kehadiran dua karakter ini adalah
untuk melengkapi suara-suara kaum hamba sahaya atau punakawan yang merupakan
fokus utama yang diangkat oleh sang dalang. Dan memang justru kehadiran dua
karakter ini yang ditunggu-tunggu oleh para penonton.
Yang menjadi nilai lebih dari wayang kebanggaan Desa Belayu, Kec. Marga, Kab Tabanan ini adalah penambahan beberapa unsur pertunjukkan, seperti mengganti gamelan gender sederhana yang
dipakai dalam pementasan wayang kulit Bali konvensional dengan perangkat gamelan lengkap, selain itu juga ditambah dengan adanya sinden (gerong dalam istilah Bali) mengiringi pertunjukkan. Lalu dalam hal lighting, ia berani memakai semacam lampu multi warna seperti lampu
disko disamping lampu blencong tradisional.
Dari sisi narasi, cerita yang diangkat oleh sang dalang Nardayana dapat
digolongkan sebagai cerita carangan. Dalam wayang purwa yang bersumber pada
wiracarita Mahabharata dan Ramayana, lalu ditambah dengan isu-isu sosial, kritik sosial, intrik politik dengan pesan-pesan yang sangat mengedukasi penonton. Wayang ini memang cerdas dalam meracik unsur tradisional dari wayang dengan perkembangan isu dan teknologi zaman sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar