Mencontek merupakan tindakan yang tidak terpuji. Mencontek
adalah cerminan dari rasa tidak percaya diri. Mencontek adalah moral yang
tercemar. Mencontek adalah praktek korupsi skala kecil, dan bisa berpengaruh
besar jika dilakukan dengan sangat rapi. Mencontek harus dimaklumi.
Siapa yang mempermasalahkan praktik mencontek? Orang-orang
yang memiliki moralitas! Lalu setelah mengetahui mencontek perbuatan tidak
terpuji, mengapa dihalalkan? Keadaan untuk menyelamatkan diri adalah
penyebabnya! Tak selamanya mencontek salah kan? Bijaksanalah kiranya jika
mencontek dimaklumi.
Berbeda dengan praktik korupsi sekala besar, seperti makan
uang rakyat misalnya, tidak ada celah untuk dimaklumi. Praktik ini jelas-jelas
salah dan bertentanga dengan hukum. Pun mereka melakukannya bukan karena
keadaan menyelamatkan diri melainkan untuk memperkaya diri. Korupsi ini memang
sebuah pekerjaan sampingan yang sangat menguntungkan.
Kembali pada masalah mencontek, mencontek yang dilakukan oleh
pelajar ketika ujian nasional (UN) perlu dimaklumi. Mereka dituntut lulus
ataupun meraih nilai bagus ketika ujian, padahal kemampuan belum memungkinkan
untuk itu. Selama belajar bertahun-tahun di sekolah, para pelajar ini selalu
merasa belum siap dalam ujian nasional. Apakah karena siswa yang memang tidak
serius dalam belajar selama kurun waktu itu, atau para guru yang mendampingi
mereka (siswa) dalam belajar di sekolah tidak becus? Ini yang sebenarnya harus
ditelaah dengan teliti lagi. Jika kedua faktor ini (guru dan siswa) bekerja
dengan baik, maka mencontek tak akan dilakukan.
Ketika dua faktor di atas tidak bekerja maksimal harusnya
sistem ujian nasional tidak dijadikan acuan lulus dan tidak lulus. Jika ini
masih dilakukan, alamat tidak bergunanya ujian nasional ini. praktik mencontek
akan selalu terjadi. Kecurangan akan terus dihalalkan, ditempuh dengan cara apa
pun.
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal) yang dirasa cukup
tinggi, membuat siswa-siswi cukup terbebani sehingga menghalalkan segara cara
untuk mencapai ketuntasan tersebut. Apa yang didapat ketika kegiatan
belajar-mengajar seperti terlupakan ketika menghadapi soal-soal ujian.
Seringkali mereka ragu dengan jawaban mereka sehingga mengandalkan ‘contekan’
sebagai upaya agar lulus ujian.
Sebenarnya, bisa saja siswa-siswi mampu mengerjakan soal-soal
ujian tanpa mencontek. Rasa takut akan gagalnya ujian menjadi faktor utama
mereka mencontek. Jika tidak lulus, apakah pemerintah mau bertanggung jawab? Seharusnya
kebijakan ujian nasional sebagai patokan lulus ini diikuti sikap kebertanggungjawaban.
Walaupun ada pendidikan kesetaraan, apa gunanya mereka menghabiskan uang dan
biaya jika akhirnya mereka hanya mengantongi ijasah paket.
Sistem peningkatan kualitas yang saling tumpang tindih
mengaburkan semua. Bagaimana tujuan pendidikan yang katanya ingin mencerdaskan
bangsa bisa tercapai jika masih seperti ini? Jangan tanyakan pada siswa dan
guru, karena mereka telah menjalankan swadarma
mereka masing-masing dalam rangka memperbaiki kualitas diri. Tanyakan para
pembuat kebijakan dan pihak-pihak terkait.
Mendapat nilai murni hasil kerja sendiri, apalagi jika
hasilnya bagus pasti sangat menyenangkan. Bagaimana jika mengerjakan soal-soal
ujian dengan hasil kerja sendiri tapi malah mengecewakan dan tidak lulus,
apakah masih menyenangkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar