Jumat, 20 April 2012

Memaklumi Praktik Mencotek


Mencontek merupakan tindakan yang tidak terpuji. Mencontek adalah cerminan dari rasa tidak percaya diri. Mencontek adalah moral yang tercemar. Mencontek adalah praktek korupsi skala kecil, dan bisa berpengaruh besar jika dilakukan dengan sangat rapi. Mencontek harus dimaklumi.
Siapa yang mempermasalahkan praktik mencontek? Orang-orang yang memiliki moralitas! Lalu setelah mengetahui mencontek perbuatan tidak terpuji, mengapa dihalalkan? Keadaan untuk menyelamatkan diri adalah penyebabnya! Tak selamanya mencontek salah kan? Bijaksanalah kiranya jika mencontek dimaklumi.
Berbeda dengan praktik korupsi sekala besar, seperti makan uang rakyat misalnya, tidak ada celah untuk dimaklumi. Praktik ini jelas-jelas salah dan bertentanga dengan hukum. Pun mereka melakukannya bukan karena keadaan menyelamatkan diri melainkan untuk memperkaya diri. Korupsi ini memang sebuah pekerjaan sampingan yang sangat menguntungkan.
Kembali pada masalah mencontek, mencontek yang dilakukan oleh pelajar ketika ujian nasional (UN) perlu dimaklumi. Mereka dituntut lulus ataupun meraih nilai bagus ketika ujian, padahal kemampuan belum memungkinkan untuk itu. Selama belajar bertahun-tahun di sekolah, para pelajar ini selalu merasa belum siap dalam ujian nasional. Apakah karena siswa yang memang tidak serius dalam belajar selama kurun waktu itu, atau para guru yang mendampingi mereka (siswa) dalam belajar di sekolah tidak becus? Ini yang sebenarnya harus ditelaah dengan teliti lagi. Jika kedua faktor ini (guru dan siswa) bekerja dengan baik, maka mencontek tak akan dilakukan.
Ketika dua faktor di atas tidak bekerja maksimal harusnya sistem ujian nasional tidak dijadikan acuan lulus dan tidak lulus. Jika ini masih dilakukan, alamat tidak bergunanya ujian nasional ini. praktik mencontek akan selalu terjadi. Kecurangan akan terus dihalalkan, ditempuh dengan cara apa pun.
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)  yang dirasa cukup tinggi, membuat siswa-siswi cukup terbebani sehingga menghalalkan segara cara untuk mencapai ketuntasan tersebut. Apa yang didapat ketika kegiatan belajar-mengajar seperti terlupakan ketika menghadapi soal-soal ujian. Seringkali mereka ragu dengan jawaban mereka sehingga mengandalkan ‘contekan’ sebagai upaya agar lulus ujian.
Sebenarnya, bisa saja siswa-siswi mampu mengerjakan soal-soal ujian tanpa mencontek. Rasa takut akan gagalnya ujian menjadi faktor utama mereka mencontek. Jika tidak lulus, apakah pemerintah mau bertanggung jawab? Seharusnya kebijakan ujian nasional sebagai patokan lulus ini diikuti sikap kebertanggungjawaban. Walaupun ada pendidikan kesetaraan, apa gunanya mereka menghabiskan uang dan biaya jika akhirnya mereka hanya mengantongi ijasah paket.
Sistem peningkatan kualitas yang saling tumpang tindih mengaburkan semua. Bagaimana tujuan pendidikan yang katanya ingin mencerdaskan bangsa bisa tercapai jika masih seperti ini? Jangan tanyakan pada siswa dan guru, karena mereka telah menjalankan swadarma mereka masing-masing dalam rangka memperbaiki kualitas diri. Tanyakan para pembuat kebijakan dan pihak-pihak terkait.
Mendapat nilai murni hasil kerja sendiri, apalagi jika hasilnya bagus pasti sangat menyenangkan. Bagaimana jika mengerjakan soal-soal ujian dengan hasil kerja sendiri tapi malah mengecewakan dan tidak lulus, apakah masih menyenangkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar