Pelan-pelan tapi pasti, dari waktu ke waktu proses ujian
akhir tidak lagi steril dari kata curang. Entah dari mana virus ini datang.
Namun yang pasti setiap tahun kian berkembang. Semula mencontek adalah kreatifitas
peserta didik sendiri untuk meniru pekerjaan teman, sampai akhirnya melibatkan
guru dan kepala sekolah, hingga menyuburkan kecurangan ini.
Beberapa kali diberitakan ada guru yang ‘diam-diam’
menyelinap’ masuk ke ruang ujian untuk menuliskan kunci jawaban di papan tulis
untuk dicontek peserta. Ada guru yang membuatkan kunci jawaban di kertas sebelum
ujian dimulai lalu dibagikan kepada siswa-siswanya. Lalu peserta saling berbagi
kunci jawaban yang dibuatkan guru. Masih banyak lagi bentuk keterlibatan guru
dalam mencurangi “prosesi keramat” itu.
Kecurangan pada Ujian Nasional (UN) kini tidak hanya ulah
peserta didik, tapi juga melibatkan para pendidik, seperti kasu-kasus di atas.
Ini yang menimbulkan kesangsian terhadap pelaksanaan UN sebagai sebuah proses evaluasi.
Perdebatan pun terjadi terkait kelayakan UN.
Perdebatan UN layak atau tidak untuk mengukur kualitas siswa
dalam proses belajar selama tiga tahun sebelumnya untuk sementara ditunda. Kini
muncul lagi kebijakan yang layak diperdebatkan terkait UN. Sejak tahun lalu dan
berlanjut tahun ini, UN akan menggunakan sistem 5 paket soal untuk jenjang SMP
dan SMA. Sementara untuk tingkat SD, naskah soal hanya dibuat
satu paket. Sebab sistem ujian untuk tingkat SD masih sebatas belajar ujian dan
batas minimum nilai kelulusannya pun ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Ditengarai kebijakan 5 paket soal akan cukup menyulitkan
siswa dalam melancarkan aksi curang. Kemungkinan mencontek atau memberi kode
jawaban di ruang ujian dengan sistem soal 5 paket itu menjadi sangat sulit
dilakukan peserta UN.
Untuk diketahui sistem 5 paket ini tidak berarti paket yang
satu dengan yang lainnya beda soal ujiannya, melainkan antara paket 1, paket 2,
paket 3, paket 4 dan paket 5 yang berbeda adalah terletak pada penomoran soal
ujiannya, bukan isinya. Ilustrasi lengkapnya seperti ini, dalam satu kelas akan
terdapat 20 siswa. Ada lima tipe soal. Tiap hari setiap siswa akan mendapat
tipe soal yang berbeda. Aturan lain jika ada siswa terbukti melakukan
kecurangan, maka hasil UN nya akan dihapus. Saya pikir sistem paket
pada soal untuk UN tingkat SMP dan SMA tepat untuk memfasilitasi kepercayaan
diri siswa yang tersembunyi dan selama ini terkikis oleh budaya mencontek.
Padahal ketika siswa percaya diri, mereka bisa mencapai hasil lebih bagus
tinimbang bekerja sama.
Ketika UN berjalan (dahulu) dengan dua paket soal,
penyelewengan telah terjadi. Perdebatan pun lahir. Sistem paket soal sama tidak
relevannya dengan UN itu sendiri, tanggapan dari pihak kontra. Ketidakjujuran
pun tetap terjadi. UN ditanggapi dengan salah. Mereka menganggap lulus UN adalah
indikator sukses. Sesungguhnya sukses tidak hanya berorientasi pada hasil tapi
juga proses dan pelaksanaan UN itu sendiri.
Menyambung kesangsian sebagian orang seperti di atas, mengapa
tidak relevan? Bagaimana ketidakjujuran itu terjadi? Indikatornya bisa kita
lihat pada kasus contekan massal seperti tahun kemarin, SMS jawaban beredar
beberapa jam sebelum UN dimulai dan berita-berita sejenis yang memiriskan hati
kita sebagai guru dan orang tua yang mengingginkan perbaikan bagi jalannya
pendidikan anak bangsa. Sebenarnya sederhana saja, dengan sistem dua paket
siswa mudah untuk bekerja sama. Maka, jalan keluarnya adalah melahirkan sistem
5 paket.
Pendidikan adalah salah satu harapan besar untuk perbaikan
bangsa ini kedepannya. Setelah hampir semua lini kehidupan masyarakat negara
ini terjangkiti penyakit kronis, pendidikan adalah salah satu media untuk
memperbaiki itu semua. Kejujuran adalah pintu penting untuk membangun
integritas dan perilaku seseorang termasuk dalam berhubungan dengan orang lain.
UN jujur adalah pintu masuk untuk menghapus kemerosotan mental dan moral.
Perlu sama-sama menyadari, mencontek dilakukan
pelajar untuk mendapatkan nilai yang bagus secara instant tanpa mau belajar
dahulu. Lalu sebenarnya apa yang membuat siswa-siswi mencontek? Apakah karena
ketidakmampuan mereka dalam menjawab soal atau ada faktor lain? Kami
menyimpulkan bahwa pemahaman siswa ataupun pihak-pihak yang bergerak dibidang
pendidikan tentang UN masih dangkal.
Memang kebijakan Mendiknas terkait sistem 5 paket soal belum
teralu efektif dan belum bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Jika tujuannya
untuk mencegah tindakan menyontek antarsiswa di dalam kelas mungkin bisa
efektif. Akan tetapi, jika bertujuan untuk mencegah tindakan menyontek siswa
antarkelas belum tentu bisa.
Tapi untuk mulai merintis, layak diacungi jempol, bagaimana
pun kebijakan tersebut erat kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas UN
tahun ini agar lebih baik dan lebih sukses lagi dibandingkan tahun-tahun
sebelumnya. Lain dari itu kemungkinan untuk contek-menyontek antara peserta UN
diminimalisir. Adapun masalah tindakan menyontek antarkelas itu sangat terkait
dengan kedisplinan tim pengawas independen yang akan dibentuk Menteri.
Pelaksanaanya juga harus superketat. Apalagi keberadaan
polisi dan pengawas independen selama ini juga tidak terlalu berpengaruh besar
untuk membuat ujian jujur tanpa kecurangan. Nah, dari paket soal yang tetap
dibuat 5 (lima) macam di setiap ruang sampai ke pembuatan sticker khusus
sebagai pengganti lak selama ini untuk menyimpan Lembar Jawaban Ujian Nasional
(LJUN). Dengan sticker khas ini panitia/sekolah tidak bisa lagi membuka ulang
ampelop LJUN yang sudah dibungkus rapi dari ruang ujian. Lain itu, masing-masing
paket ini akan diberi kode sehingga murid dan pengawas harus ekstra teliti pada
pelaksanaannya.
Hemat saya sistem lima paket soal UN 2011 merupakan sebuah
langkah yang sangat menjanjikan untuk mengurangi tingkat kecurangan dalam
pelaksanaan Ujian nasional. Semoga saja kebijakan tipe soal A, B, C, D dan E bisa
berjalan dengan baik. Asal diimbangi dengan pembenahan karakter bangsa ini.
Selamat menenpuh ujian, siswa-siswi seluruh Indonesia:)
Selamat menenpuh ujian, siswa-siswi seluruh Indonesia:)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar