Kamis, 20 Juni 2013

Menyikapi Fenomena Jurnalisme (2 of 2)

Pers dapat pula membentuk perilaku masyarakat dalam berbahasa. Jika pers menggunakan banyak bahasa yang salah, efek kesalahan itu akan menular ke masyarakat. Bahasa Indonesia berfungsi sebagai bahasa nasional, jika fungsi ini sudah diterapkan dengan benar maka fungsi itu akan menghasilkan satu, sikap kebanggaan bahasa, dan dua, sikap kesetiaan bahasa. Bahasa jurnalistik bisa jadi pegangan untuk mengembangkan kemampuan berbahasa. "Kita tidak perlu membenci bahasa asing, tapi kita perlu menyerap. Bahasa media massa mesti membuat pembaca cerdas cendekia.

Bahasa adalah refleksi dan identitas yang paling kokoh dari sebuah budaya. Bahasa menjadi alat pengikat yang sangat kuat untuk mempertahankan eksistensi suatu budaya masyarakat. Penggunaan bahasa Indonesia dalam keseharian bukanlah sikap antibahasa asing. Penggunaan bahasa Inggris dalam keseharian harus dicarikan padanan katanya yang sesuai. Kita jangan malu menggunakan bahasa Indonesia. Misi ini juga seharusnya diemban dalam jurnalistik.
Saat ini tak jarang media hanya mengedepankan kecepatan, bukan ketepatan. Namun, hal itu cenderung mengabaikan kode etik jurnalistik. Kalau media sudah melupakan kode etik jurnalistik, tak akan lama media tersebut akan ditinggal oleh pembacanya. Tinggal menunggu waktu saja masyarakat akan mulai tidak percaya terhadap media tersebut. Hal seperti ini akan menjadi biasa karena kewajiban utama jurnalisme adalah pada pencarian kebenaran dan jurnalis harus diperbolehkan mendengarkan hati nurani personalnya. Dua poin ini menarik dan selalu menimbulkan pandangan keberpihakan sebuah pemberitaan. Pertanyannya, apakah dengan mengacu pada kedua poin ini seorang jurnalis dapat memberikan prespektifnya ketika ia menuliskan fakta berita? Bisa saja asal sebelumnya tentunya mengungkap fakta yang terjadi dan tentunya disertai verifikasi data. saya pikir ini tidak akan melanggar kode etik jurnalistik.
Di tengah permasalahan keakuratan dan kecepatan berita, saya pikir jurnalisme warga yang muncul belakangan ini adalah jawabannya. Jurnalisme warga patut didorong untuk menjadi media alternatif yang akurasi dan kecepatan infomasinya bisa diandalkan. Meskipun jurnalisme warga sebagai fenomena peradaban yang bisa saja membuat “gerah” beberapa pihak. Satu catatan dari saya agar pemerintah tidak boleh mengatur apalagi mengintervensi jurnalisme warga ini. Namun seharusnya DPR bersama pemerintah perlu memperbarui Undang-undang Penerbitan dengan memasukkan eksistensi jurnalisme warga di dalamnya, saran agar pemerintah melakukan bimbingan teknis terhadap jurnalisme warga yang tak bisa dipungkiri kehadirannya juga membantu mainstream media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar