Gelap ketika
aku meneguk kenangan. Sudah hilang memang. Tapi aku mengais-ngais kenangan
dalam gelap. Siapa tahu masih ada yang lekat di sana. Ketika gelap aku
membutuhkan cinta. Cinta yang lain.
Semua berawal
ketika kita ditempatkan dalam ruang kerja yang sama. Kamu rekan kerja baruku.
Kamu satu, mungkin yang terindah, dari segelintir wanita yang ada di sekitarku.
Kamu, aku rasa ketika itu, percikan embun pagi saat kemarau dalam hatiku.
Jutaan wanita memang berkeliaran dan seringkali membuatku liar saat melewati
setiap detik bersama. Selain kamu, juga ada Aya dan Irene yang merasakan
suasana baru di tempat ini, sama denganmu. Aku tak pernah meraba-raba, tapi
benar-benar rasanya berbeda. Aku merasakan!
Pertemuan itu
memang tak pernah aku agendakan. Kamu terkejut, aku takjub. Mungkin juga kita
pernah bertemu sebelumnya, karena kamu sudah berada di tempat yang sama
denganku sejak beberapa waktu yang lalu. Tapi kita tak pernah menyadarinya. Aku
tak pernah merasakannya.
Ketika berdua,
kita menatap. Saling menatap seakan hanya ketika itu hari terakhir kita bisa
saling bertatapan. Saling menyentuh. Dan lenguhan menjadi klimaks pertemuan
itu.
Malam itu,
meski suasana di kantor yang cukup ramai karena lembur, aku yang ada di depanmu
hanya memandangmu tanpa bisa mengucapkan kata, seperti biasa. Aku hanya
berdiri. Menatap lurus pada bola-bola matamu yang indah. Tak kalah indahnya, bibir
mungil itu selalu menyimpan sesuatu yang bergairah untuk hatiku. Beberapa menit
lewat, aku masih belum berucap.
Mungkin….
Detik detik
terbuang sia-sia. Menit menit pertemuan kita hanya terisi kebekuan. Harusnya
kita selalu cair untuk menyatu dalam proyek-proyek yang harus kita selesaikan.
Walau masih beku, lambat laun mulai meluber juga dan akhirnya aku berasil
berucap. Satu kata. Satu frase. Satu kalimat.
Selalu seperti
itu sepanjang pertemuan kita. Malam pun berganti pagi. Pagi pergi, malam datang
lagi. Dan kau masih di sekitarku. Aku masih di sekitarmu. Kita mulai banyak
berbicara. Kita mulai sering bercanda. Malam-malamku mulai terisi wajahmu,
senyum manismu, bibir mungilmu. Hingga malam berlalu, berganti pagi. Pagi
pergi, malam datang lagi. Kamu masih di sekitarku.
Setiap malam
senyummu menyusup dalam mimpi-mimpiku. Dan tak terasa sudah ratusan malam
senyum manismu ku nikmati, hingga akhirnya mulai ku kagumi, mulai ku rindukan,
tak pernah ingin ku lewatkan. Ya, aku merindukanmu.
Mungkin….
Aku menyadari
tak akan setiap waktu bisa menemuimu. Kini telah sedikit berubah. Keadaanya
sedikit berbeda tapi banyak pengaruhnya. Kita hanya bisa bertemu kala gelap.
Mengapa gelap? Karena cinta. Aku tak tahu jawaban yang lain.
Begitu juga
perasaan di hatiku. Aku tak dapat mendefinisikannya. Atau mungkin aku terlalu
takut mendefinisikan, sehingga perasaan ini ku biarkan. Lambat laun makin
menusuk setiap jengkal pikiranku. Entah apa namanya, aku tak ingin mencarinya
dalam kamus-kamus di perpustakaan, aku juga tak mau menanyakan ini ke
psikiater, aku hanya ingin menikmati saja.
Malam pun
datang bersama bulan dari arah yang berlawanan dengan pagi. Kadang terlihat
cerah berbinar, kadang redup tertutup awan. Aku makin tak mengerti. Tak seperti
senyummu yang malam itu terlihat semakin manis di mataku. Mengalir dalam desir
darahku, menuju jantungku.
Menggetarkannya, memacu
degupnya. Aku mungkin mengerti, aku merindukanmu. Aku hanya memandang bulan
yang belum bundar sempurna.
Hal yang paling
ku takuti adalah dibenci oleh perempuan karena perasaan seperti ini. Tiga tahun
sebelum bertemu denganmu, ku rasakan hal itu. Dibenci karena rasa ini. Aku tak
ingin hal itu terulang. Aku juga tak mau malu karena ulah rasa yang sama. Ini
juga pernah aku alami beberapa tahun lalu. Tapi anehnya kini aku tak tahu, aku
takut kau membenciku aku juga tak takut malu lagi. Tapi aku tak berucap. Aku
malu.
Hingga saat malam
datang bersama bulan yang tak terlihat karena awan begitu pekat. Aku tersentak,
hatiku berontak, kebenaran terkuak. Aku tak sendiri selama ini. Aku
merindukanmu di belakang istriku. Bulan enggan muncul lagi hingga datangnya
pagi.
Malam-malam
berikutnya seakan hampa. Seakan ada lubang besar di dalam jiwa. Walau senyummu
masih menghiasi wajahmu, tapi bukan untukku. Aku merasa tak pantas lagi. Senyum
yang masih saja manis, seperti pelangi yang berlapis-lapis walau sedikit
membuat hati ini teriris. Dan lesung di pipimu, terus saja menyiksaku. Ingin
rasanya ku ambil darimu semua keindahan, ku rekatkan pada bintang, ku
terbangkan menuju bulan agar bisa ku nikmati setiap malam.
Kini, ku masih menikmati
senyummu yang masih terbias di wajah bulan yang masih datang setiap malam.
Senyum yang masih memacu degup jantungku.
Suatu saat
nanti akan ku habiskan seluruh malam bersama bulan. Ditemani secangkir kopi,
sekumpulan kenangan, dan beberapa lembar senyummu. Ku ceritakan pada bulan
suatu kisah tentang ini yang akan ku kuburkan di batas langit dan bumi, di
penghujung malam, di awal pagi. Aku mengaduk-aduk perasaan ini dalam secangkir
kopi dalam gelap. Gelap favorit kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar