Senin, 27 Februari 2012

Jeritan Dunia Pendidikan


Indonesia (sebenarnya) memiliki potensi sumber daya manusia yang tidak kalah dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Jumlah penduduk yang menyentuh angka 242 juta jiwa, tahun ini adalah modal luar biasa, jika benar-benar dikelola dengan baik. Namun ironisnya, kesenjangan pembangunan manusia masih terjadi.
Negeri ini memiliki masalah bangsa yang sangat banyak dan sudah menyentuh jenjang yang serius. Di antara banyaknya persoalan tersebut, hendaknya pemerintah segera bertindak dengan menentukan skala prioritas terlebih dahulu. Karena ‘pekerjaan rumah’ yang banyak itu tidak bisa selesai dalam sekejap mata.
Pendidikan layak menjadi skala prioritas dalam pembangunan saat ini. Seperti yang kita ketahui, kemajuan dalam pendidikan di sebuah negara akan berpengaruh bagi masa depan bangsa dan negara itu sendiri. Anggaran dana masih menjadi alasan. Memang anggaran pendidikan yang ada saat ini (sebesar 20%) masih digolongkan sangat kecil dan sangat pas-pasan. Jika dibandingkan anggaran pendidikan negara lain. Melihat dari sana, maka tidak mengherankan situasi pendidikan yang terjadi saat ini masih memprihatinkan.
Pendidikan nasional memiliki tugas mulia yaitu membangun watak dan jati diri bangsa. Sudah sepantasnyalah masyarakat lebih diprioritaskan untuk dapat mengenyam pendidikan. Tentunya dengan menyediakan akses yang bisa dimasuki oleh segala golongan. Maka sarana dan prasarana yang mumpuni merupakan pendukung yang sangat penting disediakan.
Masalah akses dan prasarana inilah belum bisa dipenuhi oleh pihak-pihak terkait. Memang butuh kerjasama seluruh lapisan masyarakat dalam memprioritaskan pendidikan sebagai investasi bangsa dikemudian hari. Ingatlah pendidikan digunakan untuk mencerdaskan bangsa dan ke depan kecerdasan akan menjadi bekal membangun bangsa.
Ada beberapa hal yang hendaknya perlu diperhatika dalam menangani kesenjangan di dunia pendidikan saat ini. Pertama, terciptanya akses yang bisa dijangkau semua lapisan. Kedua, sarana dan prasarana yang mumpuni. Ketiga, merevisi sistem pendidikan nasional.
Akses sekolah di negeri ini masih menjadi sesuatu mahal bagi sebagian masyarakat. Mungkin lebih mahal dari harga sebuah BB yang sekarang laris bak kacang goreng. Eksklusifitas sosial dalam dunia pendidikan masih terjadi. Walaupun masih terselubung. Tidak adanya sekolah yang layak untuk ‘si miskin’ perlu disikapi dengan lebih bijak oleh pihak berwenang.
Indikatornya bisa dilihat dari ketimpangan anggarang pendidikan tahun lalu, antara rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) dengan sekolah standar nasional (SSN). Alokasi untuk RSBI sebesar Rp 289 miliar, sementara untuk SSN hanya sebesar Rp 250 miliar. Ketika dicermati jumlah sekolah RSBI yang ada saat ini hanya berjumlah ribuan, bandingkan dengan jumlah SNN yang berjumlah jutaan dari Sabang sampai Merauke! Hal ini mengindikasikan pemerintah masih menganaktirikan SNN yang secara nyata menjadi harapan generasi muda bangsa ini yang kita tahu sebagian masih berada di bawah garis kemiskinan.
Masih ditemuinya sekolah rusak, bahkan sekolah roboh dan benar-benar tidak bisa digunakan adalah potret suram pendidikan nasional. Keberadaan sekolah pun masih terlalu jauh dan sulit dijangkau banyak siswanya. Kadang para siswa yang memiliki semangat tinggi untuk belajar harus melewati jurang, hutan dan menyeberang sungai tanpa jembatan hanya untuk mengenyam pendidikan. Dan ternyata perjuangan ekstrem mereka hanya mendapat ganjaran kondisi sekolah yang nyaris ambruk. Sungguh memprihatinkan!
Terkadang adanya anggaran rehabilitasi yang dijatahkan oleh pemerintah pusat untuk sekolah-sekolah dengan keadaan seperti di atas juga tidak menjadikan lebih baik. Ketakutan lain terjadi yaitu penggelapan anggaran oleh oknum masyarakat, dinas, dan sekolah itu sendiri. Terkadang raja-raja kecil di daerah mengebiri hak warga sekolah. Tidak semua memang, tapi ada yang seperti itu.
Mengenai sistem pendidikan, hendaknya hal ini direvisi lagi sehingga benar-benar melahirkan generasi-generasi berkarakter, dalam arti sesungguhnya. Bukan berkarakter teroris, penipu seperti saat ini. Karena sistem saat ini mengajarkan pembodohan, contek sana sini dan mengagungkan citra sekolah saja. Tanpa memikirkan watak lulusannya.
Semoga ke depan, pemerintah pusat dan daerah lebih mendukung keadaan pendidikan negeri ini ke arah lebih baik. Maksimalkan otoritas daerah (jika sistem ini masih digunakan kelak) untuk menciptakan putra-putri daerah yang membanggakan. Kita bisa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar