Sajak Pelacur
Bibir-bibir
mencibir, melampirkan cacian hinaan tajam, gelar kupu-kupu malam tak
ingin disandang, menyusuri jalan setapak memandang jauh hidup kelak tak
berletak, dimana, kemana dan mengadu kepada siapa dia tak tahu
jawabannya.
Seorang lelaki berbisik mesra, ‘kau cantik sekali
malam ini’, menyiram kedengkian, memupuk kebencian, namun tak kuasa
membunuh si hama. Dengki dipelihara, benci diberi sarang ranting luka
mengikat diri dengan tali kemiskinan bersimpul keterpaksaan.
Sebelum mentari memergoki, dia seret darah rembulan setelah disayat
mayat-mayat yang berbisik semalam, kembali membuta, menutup bola mata
pun mata hatinya, tak ada tetesan kali ini, mungkin airnya sudah terkena
kemarau abadi musim hujan berkepanjangan, dia lupa pada payungnya,
ditinggalkan begitu saja di tikungan saat dia berbelok menuju neraka
itu.
Bibir merah dibuatnya merekah, alis lentik dibuatnya
semakin cantik, pipi merona dilukisnya mempesona, bau anyir dosa ditutup
parfum yang tak kenal masa dan asa, tak berani lagi dia menyulam mimpi,
terlalu takut untuk mengingat kembali, ‘aku pelacur hanya menunggu
hancur’. Bisikan kematian melukis indah warna-warni sisa hidup.
Aku tak mengenalmu pelacurku, tapi telingaku sudah cukup kenyang,
menguping mereka tertawa, menghina, mencacimaki, lalu pergi
sembunyi-sembunyi mengajakmu tidur di kasur yang mereka bawa sendiri.
Maafkan aku, aku tak tahu siapa kau oh pelacurku!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar