Selasa, 13 September 2011

JALAN RUSAK JANGAN DIBIARKAN TERUS RUSAK

Kecelakaan di jalan raya kerap terjadi akhir-akhir ini, baik di kota besar maupun di desa. Kecelakaan di jalan raya tidak hanya disebabkan oleh kurangnya kedisiplinan pengendara, tetapi juga faktor infrastruktur jalan yang rusak. Jalan-jalan rusak ini bahkan menjadi momok tersendiri bagi para pengendara. Kecelakaan tidak jarang terjadi di ruas jalan yang bergelombang atau pun berlubang. Infrastruktur jalan yang rusak ini tidak hanya terdapat di desa, di kota pun ada, sehingga kecelakaan di jalan raya ada di mana-mana. Masalahnya sekarang adalah jalan-jalan yang rusak ini tidak segera mendapat penanganan serius dari pihak terkait. Belbagai alasan pun mereka munculkan, salah satu yang paling sering adalah karena tidak ada anggaran untuk perbaikan jalan itu. Benar tidaknya itu urusan lain. Masyarakat hanya ingin jalan rusak itu hendaknya segera diperbaiki, karena telah melunasi segala kewajibannya, mereka hendak mendapatkan haknya yaitu ruas-ruas jalan yang bagus. Masyarakat dan saya khususnya memang sering mengeluhkan jalan rusak ini. Maklum saja, saya tinggal di kota yang memang memiliki jalan rusak cukup banyak dan belum terjamah perbaikan. Ketika melewati jalan-jalan rusak, tekanan batin pun melanda pengendara. Mereka dihantui kecelakaan yang bisa menimpa setiap saat, cepat rusaknya kendaraan mereka, dan yang pasti sakit pinggang yang akan terjadi sesampai di tempat tujuan. Jadi, apa untungnya “memelihara” jalan rusak? Mungkin perbaikan jalan rusak ini hanya menjadi “janji di saat kampanye” saja. Yah…namanya juga janji. Kerusakan jalan terjadi di banyak titik. Perbaikan jalan juga terjadi di banyak titik. Setelah diperbaiki, menelan korban juga. Saya pribadi belum puas dengan perbaikan jalan itu. Perbaikan jalan yang terjadi belakangan ini terkesan dilakukan seadanya. Intinya sama saja, jalan tidak menjadi baik setelah diperbaiki. Mengutip kalimat Jeab Couteau, pemikir kebudayaan asal Perancis dalan sebuah kritiknya yang dimuat dalam harian nasional, beliau mengatakan begini. Kenapa para wisatawan tetap suka berlibur ke Bali? Bukankah jalannya macet, budaya tradisionalnya kian sulit diakses, dan harga-harga terbilang lebih mahal dibandingkan dengan Thailand atau Sri Langka. Dan jika boleh saja menambahkan kalimat beliau dengan, bukannya jalan-jalan di Bali membuat wisatawan sakit pinggang? Tapi toh mereka tetap berkunjung ke Bali. Untunglah. Jika para wisatawan mengeluh seperti saya, dan kapok menderita sakit pinggang akut seperti kebanyakan warga Bali, bagaimana nasib Bali ke depan? Di lain sisi, tidak ada tindakan nyata mengenai keseriusan memperbaiki jalan-jalan rusak ini. Jadi, jangan salahkan masyarakat ketika mereka menanam pohon pisang dan menjadikan kolam pancing jalan-jalan berlubang (rusak parah) di daerah mereka. Itu ejekan secara halus sebenarnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar