Minggu, 04 September 2011

Ibarat Simalakama

Bali bagai gula yang selalu bisa menarik jutaan semut untuk mendekat. Begitulah kondisi Bali di jaman sekarang. Karenanya, Bali begitu sesak oleh penduduk baik local maupun pendatang. Sebagai masalah dalam hal ini adalah penduduk pendatang. Sampai saat ini belum ada pembatasan keluar masuk penduduk pendatang ini. Memang penduduk pendatang ini banyak menghasilkan pemasukan untuk Bali, tapi perlu dicermati juga kerugian yang dihasilkannya. Kepadatan penduduk yang terjadi di Denpasar adalah salah satu kerugian yang dinikmati Bali. Denpasar sebagai kota Provinsi Bali memang menjadi tempat utama untuk mengadu nasib. Akibatnya, penduduk di sana membludak. Kemacetan kini mengancam keseharian lalu lintas di Denpasar. Tempat-tempat kumuh menghantui disetiap sudut kota. Sawah-sawah terancam jadi rumah. Saya takut, area suci pun akan tergerus menjadi tempat penduduk. Ironis jika kejadian nyata sampai seperti itu. Saya harap pihak terkait kini mulai memerhatikan kondisi di lapangan. Jangan sampai para tamiu itu mengacaukan keharmonisan masyarakat Bali. Sekali lagi, sangan sampai kawasan suci menjadi kawasan pemukiman. Mungkin terdengar ekstrem tapi kita wajib waspada akan hal ini. Harapan saya, ada sebuah aturan yang jelas mengenai penduduk pendatang. Jangan sampai penduduk lokal tergerus oleh penduduk pendatang. Jangan sampai malah penduduk lokal yang menjadi tamiu di Bali akibat banyaknya penduduk pendatang melebihi penduduk lokal. Lihatlah Denpasar yang memiliki lahan permukiman kumuh seluas 1,3 hektar. Jangan sampai Bali menjadi lahan kumuh dengan bertambahnya penduduk pendatang itu. Jangan sampai masyarakat Tenganan yang terkenal dengan budaya asli Balinya ikut terkontaminasi penduduk pendatang di masa mendatang. Jangan sampai Bedugul yang asri penuh dengan pemukiman di masa mendatang. Itu bisa saja terjadi jika pemerintah tidak cepat tanggap akan masalah ini. Ini bukan hanya pekerjaan rumah untuk pemerintah pusat yang secara administrasi menangani kependudukan ini, tapi juga masing-masing adat agar mulai membatasi toleransi secara adat kepada pendatang itu. Semoga dimasa mendatang Bali tetap ajeg dan menjaga konsep Tri Mandala dalam kehidupan sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar