Jumat, 02 September 2011

MEMBANGUN KARAKTER LEWAT SASTRA

Zen Hae seorang kritikus sastra dalam sebuah esainya sempat menulis begini “Di tengah masyarakat yang gampang lupa kita membutuhkan novel pengingat. Di tengah masyarakat yang putus asa kita membutuhkan novel yang memberi harapan. Di tengah bangsa yang yang kehilangan martabat kita merindukan novel yang mengobarkan nasionalisme.” Singkatnya itulah harapan-harapan yang kita bebankan kepada novel, karya seni pada umumnya, ketika bidang-bidang lain menghianati kita terus-menerus. Ketika kisruh PSSI mengemuka, harapan diemban oleh novel ketujuh Andrea Hirata yang berjudul 11 Patriot. Ketika kita lupa dengan seni, kebudayaan, dan kearifan lokal Bali pada umumnya, saya pikir novel Ayu Manda karya I Made Iwan Darmawan adalah jawabannya. Pendeskripsian detail seni budaya Bali menantang imajinasi pembaca untuk terlibat secara terus menerus dalam realita kehidupan para tokoh serta konflik-konflik yang menyertainya. Ketika kerusakan moral begitu parah terjadi akhir-akhir ini di negara ini, pendidikan karakter adalah harga mati. Pendidikan karakter bisa ditemukan pada karya-karya sastra seperti novel-novel itu. Novel atau puisi atau karya sastra yang lain menyimpan amanat yang sangat bisa membangun karakter pembacanya. Apalagi kerusakan moral bangsa sudah dalam tahap sangat mencemaskan terjadi di hampir semua lini, baik di birokrasi pemerintah, aparat penegak hukum, dunia pendidikan, maupun masyarakat umum. Semua yang tersebut di atas tidak ada yang bersih dari kasus korupsi. Hingga tersebutlah korupsi adalah karakter bangsa ini. Di kalangan birokrasi sudah termasyur kebobrokannya. Di institusi penegak hukum sedang ngetren terkena sangsi. Mereka yang semula diharapkan bisa memperbaiki keadaan ternyata memiliki kondisi yang lebih parah. Di dunia pendidikan sudah merupakan rahasia umum yang disebabkan oknum-oknum tak bertanggung jawab bertopeng pendidik. Buruknya negara adalah cermin masyarakat. negara yang korup hingga mendapat julukan “Kleptokrasi” adalah cermin mentalitas masyarakat kita. Tidak bisa disalahkan karena kita memang dididik menjadi demikian. Apa yang terjadi pada kasus di Gandel adalah contoh memalukan, terlepas dari terbukti tidaknya menyontek massal itu. Jika pun missal tidak terbukti kasus menyontek itu di Gandel, saya berani bertaruh, kasus serupa juga terjadi di tempat lain yang beruntung tidak terekspos media. Ini adalah rahasia umum. Tidak perlu diperdebatkan lagi! Kasus Gandel baru-baru ini merupakan contoh nyata potret buram masyarakat kita. Alif, seorang siswa SD Negeri Gadel II, Surabaya, Jawa Timur mengadukan kepada orang tuanya mengenai perintah gurunya menyebar contekan pada teman-temannya saat ujian nasional. Orang tua Alif, Ibu Siami lalu melaporkan kejadian itu kepada wali kota Surabaya. Jabatan kepala sekolah kemudian dicopot. Dua guru diberikan sangsi turun pangkat. Ironisnya adalah warga desa sekitar sekolah justru mengusir Siami dan keluarga. Akhirnya keluarga terpaksa mengungsi ke Gresik, walaupun hari ini mereka sudah kembali ke rumahnya di Gandel. Mentalitas Indonesia tidak kondusif untuk mencapai kemajuan. Seperti yang dikatakan Koentjaraningrat, mentalitas itu meliputi, meremehkan mutu, suka meerabas, tidak percaya diri sendiri, tidak berdisiplin, dan mengabaikan tanggung jawab. Hilir (negara) adalah refleksi hulu (masyarakat). Buruk negara adalah cermin masyarakat. Negara korup adalah buah masyarakat yang menghalalkan korupsi. Korupsi ini pun telah berkembang dari segi praktik dan makna kata. Budaya korup terjadi karena lemahnya karakter masyarakat. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Salah satunya korupsi itu. Tidak mungkin orang yang tidak berpendidikan korup. Mendiknas, Prof. Muhammad Nuh dalam sebuah kesempatan mengatakan pembentukan karakter perlu dilakukan sejak usia dini. Jika karakter sudah terbentuk sejak usia dini, maka tidak akan mudah untuk mengubah karakter seseorang. Ia juga berharap, pendidikan karakter dapat membangun kepribadian bangsa. Munculnya gagasan program pendidikan karakter dalam dunia pendidikan di Indonesia, bisa dimaklumi, sebab selama ini dirasakan, proses pendidikan ternyata belum berhasil membangun manusia Indonesia yang berkarakter. Bahkan, banyak yang menyebut, pendidikan telah gagal membangun karakter. Banyak lulusan sekolah dan sarjana yang piawai dalam menjawab soal ujian, berotak cerdas, tetapi mentalnya lemah, penakut, dan perilakunya tidak terpuji. Bahkan, bisa dikatakan, dunia pendidikan di Indonesia kini sedang memasuki masa-masa yang sangat pelik. Kucuran anggaran pendidikan yang sangat besar disertai berbagai program terobosan sepertinya belum mampu memecahkan persoalan mendasar dalam dunia pendidikan, yakni bagaimana mencetak alumni pendidikan yang unggul, yang beriman, bertaqwa, profesional, dan berkarakter. Yang ada malah, melahirkan alumni-alumni “teroris”. Yang perlu diketahu sekarang apa itu pendidikan karakter? Dengan apa aplikasinya dalam pembelajaran? Pendidikan karakter senantiasa ada pada zamannya. Namanya berganti-ganti, mulai dari Civics dan Pendidikan Kewarganegaraan pada zaman Orde Lama. Hingga menjadi PMP serta PPKn pada masa Orde Baru. Namanya memang berbeda, namun muatan dan orientasinya adalah sama yaitu Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4). Istilah karakter baru dipakai secara khusus dalam konteks pendidikan pada akhir abad ke-18. Pencetusnya FW Foerster. Terminologi ini mengacu pada sebuah pendekatan idealis-spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif. Lahirnya pendidikan karakter merupakan sebuah usaha untuk menghidupkan kembali pedagogi ideal-spiritual yang sempat hilang diterjang gelombang positivisme yang dipelopori oleh filsuf Prancis Auguste Comte. Karakter merupakan titian ilmu pengetahuan dan keterampilan. Pengetahuan tanpa landasan kepribadian yang benar akan menyesatkan dan keterampilan tanpa kesadaran diri akan menghancurkan. Karakter itu akan membentuk motivasi, dan pada saat yang sama dibentuk dengan metode dan proses yang bermartabat. Karakter bukan sekadar penampilan lahiriah, melainkan secara implisit mengungkapkan hal-hal tersembunyi. Oleh karenanya, orang mendefinisikan karakter sebagai "siapa Anda dalam kegelapan?". Karakter yang baik mencakup pengertian, kepedulian, dan tindakan berdasarkan nilai-nilai etika, meliputi aspek kognitif, emosional, dan perilaku dari kehidupan moral. Lalu masihkah relevan ujian nasional yang hanya menilai dari aspek kognitif siswanya saja? Silahkan berdebat. Membangun karakter dari pintu pendidikan harus dilakukan secara komprehensif-integral, tidak hanya melalui pendidikan formal, namun juga melalui pendidikan informal dan non formal. Selama ini, ada kecenderungan pendidikan formal, informal dan non formal, berjalan terpisah satu dengan yang lainnya. Pendidikan kita selama ini, sepertinya lebih banyak menghasilkan generasi yang pandai mengeluh, membebek, dan mengambil jalan pintas. Agar dapat berjalan efektif, pendidikan karakter dapat dilakukan melalui tiga desain, yakni; (1) Desain berbasis kelas, yang berbasis pada relasi guru sebagai pendidik dan siswa sebagai pembelajar, (2) Desain berbasis kultur sekolah, yang berusaha membangun kultur sekolah yang mampu membentuk karakter anak didik dengan bantuan pranata sosial sekolah agar nilai tertentu terbentuk dan terbatinkan dalam diri siswa, dan (3) Desain berbasis komunitas. Dalam penerapannya, sastra harus ditempatkan sebagai “kitab suci”. Novel dan puisi bisa digunakan sebagai modul dalam pembelajarannya. Sehingga karakter bangsa kita bukanlah berkarakter teroris tetapi berkarakter Pancasilais.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar