Kamis, 22 September 2011

Budaya Patriarki, Antara Dunia Nyata dan Sastra

Marginalisasi atas peran dan eksistensi perempuan khususnya di Bali hingga kini masih hangat diperbincangkan. Budaya patriarki mengatur perempuan sehingga tidak memiliki kuasa untuk turut menentukan kebijakan-kebijakan di segala lini bahkan yang menyangkut diri pribadinya. Hegemoni budaya patriarki yang sedari awal dipandang pernah tumbuh dan lekat dalam sendi kehidupan sosial dan spiritual masyarakat Bali telah membentuk sekaligus mendasari pola-pola hubungan tertentu terutama antara lelaki dan perempuan. Selama ini, perempuan selalu dieksploitasi dalam tataran apa pun. Adanya “tokoh” Leak, Pekerja Seks Komersial (PSK), pahlawan devisa (TKW) yang disiksa bahkan dibunuh adalah ekploitasi lingkungan terhadap perempuan itu sendiri.
Tapi, lambat laun mulai terjadi sebuah “perlawanan” dari perempuan-perempuan itu. Mulai dari Sukreni gadis Bali hingga Tantri dengan ceritanya. Sudah bukan hal baru lagi, menyaksikan adegan tokoh wanita menangis bahkan “merengek-rengek” akibat perlakuan tokoh pria dalam sebuah tayangan sinetron. Tayangan program sinetron seperti ini jelas diakui dapat menyentuh emosi audiens. Mungkin secara gamblang diibaratkan air mata dan kesedihan wanita telah menjadi faktor atensi yang memiliki nilai jual. Sehingga tidak dapat dipungkiri beberapa judul sinetron yang siaran secara nasional di Indonesia telah mendapatkan rating tinggi dan tidak lepas dari adegan-adegan melankolis antara wanita dan pria. Beberapa waktu lalu dalam Sandayakala Sastra #15 Resistensi Terhadap Hegemoni Patriarki : Perlawanan Kultural Perempuan-perempuan Bali dalam Novel yang diselenggarakan oleh Bentara Budaya Bali mengadirkan Gede Artawan sebagai pembicara.
Disebutkan tahun 1930-an, muncul karya-karya novel Agung Nyoman Panji Tisna. Ia adalah salah satu pengarang feminis asal Buleleng, Bali yang merekonstruksi tokoh-tokoh wanitanya untuk melakukan perjuangan kultural terhadap hegemoni budaya patriarki. Melalui tokoh-tokoh wanita dalam novelnya Sukreni Gadis Bali, ia berupaya menggambarkan kondisi sosial yang tengah terjadi ketika itu. Betapa perempuan menghadapi sebuah problema besar di dalam masyarakatnya sendiri. Pun dengan Putu Wijaya dan Made Iwan Darmawan dengan novel Ayu Manda di era modern. Di tengah budaya patriarki yang memang menjadi sebuah “kodrat” dalam hidup semakin banyak saja kaum perempuan yang mencoba mendobrak ketidakberdayaan mereka terhadap kenyataan ini. Kini, masyarakat sastra khususnya di Bali mengenal nama-nama penulis yang dianggap tidak hanya mewakili eksistensi kaum perempuan dalam kepengarangan tetapi juga sebuah wujud penyadaran komunal bahwa perempuan setara dengan lelaki dalam berbagai sisi. Oka Rusmini, Cok Sawitri dan bermunculannya penulis-penulis perempuan Bali yang terbilang masih muda dianggap turut melakukan perjuangan melawan bias gender dan upaya diskriminasi di segala bidang. Bagaimana sesungguhnya perlawanan kultural perempuan-perempuan Bali dalam novel? Apakah karya sastra mampu memberi ruang kemungkinan yang menjernihkan kepada masyarakat terutama dalam mencermati serta merumuskan peran dan eksistensi perempuan? Apa yang terjadi pada tokoh Sukreni, Ayu Manda dan yang lainnya bagaimana perempuan sedari dulu hingga sekarang tidak mengalami “kenaikan derajat”. Perempuan tetap menyuci, memasak, dan mengerjakan banyak hal dalam rumah tangga, sebaliknya laki-laki bisa semau gue. Bagaimana pula penempatan perempuan dalam komik, pun sastra yang lain? Tokoh perempuan dalam komik menjadi isu penting untuk dikaji ketika hal ini disinggungkan oleh teori-teori feminis yang sangat semarak sekarang ini. Tokoh perempuan dalam komik selalu digambarkan menjadi tokoh pendamping (sidekick) atau bumbu sedap yang dapat memeriahkan dan menghidupkan suasana komik.
Contoh nyata bisa kita lihat dalam komik terkenal Spiderman, dalam komik ini diceritakan bahwa Spiderman mencintai Mary Jane sejak dulu karena rumah mereka bersebelahan, namun Spiderman tidak sanggup untuk menyatakan cinta karena merasa dirinya lemah dan tidak layak bagi Mary Jane. Dalam cerita komik Spiderman ini kita bisa lihat bahwa tokoh wanita hanya sebagai pemanis, bumbu sedap bagi komik ini sehingga menjadi magnet utama agar pembaca setia dan rutin mengikuti perkembangan komik ini. Kasus paradoks tokoh perempuan dalam komik banyak ditemukan dalam genre komik pahlawan super (superhero) keluaran Amerika. Para tokoh-tokoh perempuan itu selalu bisa kita temukan dalam komik-komik pahlawan super itu, namun fungsi mereka sudah meragukan sejak awal. Fungsi dan peran tokoh perempuan dalam komik sudah dimarginalkan sejak awal hingga akhir cerita. Namun, muncullah Wonder Woman, karakter tokoh perempuan yang mengubah semua itu. Wonder Woman diciptakan oleh seorang psikoterapis (ahli kejiwaan) yang peduli tentang marginalisasi gadis-gadis muda dari media buku komik yang sangat populer. Wonder Woman menggabungkan kekuatan dan keterampilan , tenaga dan senjata untuk melengkapi kekuatan mendominasinya. Setelah itu berturut-turut muncul banyak pahlawan super yang lain, seperti : Cat Woman, The Wasp, Elektra, Invisible Girl, dll. Paling tidak komik-komik amerika keluaran marvel komik selalu menyertakan pahlawan super wanita untuk menjadi pelengkap. Wanita-wanita dalam buku komik banyak sekali digambarkan menyerupai fantasi-fantasi para lelaki. Wanita dalam buku komik selalu memakai kostum ketat, dengan tubuh yang tinggi semampai, dada berisi, wajah cantik, bokong seksi, dan penggambaran sempurna lainnya. Walaupun pada kenyataannya jika kita membayangkan adegan perkelahian pahlawan super wanita sedang berkelahi dengan kostum ketatnya itu mustahil akan menang karena sangat susah berkelahi dengan kostum ketat yang menempel dikulit. Namun, penggambaran tokoh wanita yang seperti itulah yang justru dipertahankan oleh para komikus, strategi penggambaran tokoh wanita seperti itulah yang terbukti disukai oleh para pembaca yang dengan sukarela mengesampingkan kesangsiannya bahwa serangan dan pertahanan yang terbaik adalah selapis tipis kain spandeks.
Sungguh memprihatinkan, ternyata tokoh perempuan dalam komik dirampok habis-habisan oleh para komikus yang berkarya berdasarkan fantasi-fantasi liar mereka yang juga seorang lelaki? Semoga saja tidak. Di dunia nyata akan beranalog dengan kasus penjualan perempuan atau anak perempuan oleh orang tuanya untuk dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK). Fe¬nomena ini bukanlah hal baru. Pelacuran, kape remang, dan prostitusi terselubung salah satu yang ekstrim. Gadis-gadis tersebut me¬mang terbukti ampuh menaikkan “selling point” rumah prostitusi. Sama-sama membuat bulu kuduk merinding. Seperti yang sudah sempat disinggung tadi, perempuan memang mengalami sebuah kodrat yang memang tidak bisa dihindari. Dalam hal ini, laki-laki sebagai pihak “menyiksa” tidak merasa telah menyiksa pihak perempuan, sebaliknya pihak yang tersiksa tidak merasa disiksa. Jika begini, apa yang perlu dipermasalahkan? Citra perempuan sebagai sosok heroik di Indonesia akhirnya muncul dalam film “Tjoet Nja’ Dhien” (1986) yang diperankan oleh Christine Hakim. Film biografi pahlawan perempuan Aceh ini melambungkan nama Christine Hakim. Kemunculan film ini memang tidak serta merta merubah cara berpikir perempuan Indonesia dalam kungkungan budaya patriarki. Sementara itu kiprah perempuan di balik layar diawali oleh Ratna Asmara pada tahun 1950. Dia adalah sutradara perempuan pertama di Indonesia, menyutradari karya film “Sedap Malam” (1950),”Musim Bunga Di Selabintana” (1951), “Dokter Samsi” (1952), “Nelajan” (1953) dan “Dewi dan Pemilihan Umum” (1954). Ketika itu kehadiran Ratna Asmara sebagai sutradara perempuan pertama di dunia perfilman Indonesia cukup mengagetkan sekaligus menakjubkan. Lalu hadirlah nama Sofia W.D sepuluh tahun kemudian tahun 1960 setelah rekannya Ratna Asmara. Film yang pertama digarap olehnya sebagai sutradara ialah “Badai selatan” (1960). Setelah itu, tahun 1971 muncul Chitra Dewi dengan tiga film yang disutradarainya antara lain, “Penunggang Kuda Dari Cimande” (1971), “Dara Dara” (1971) dan “Bercinta Dalam Gelap” (1971) Walaupun ketiga karyanya tersebut dinilai kurang memadai ketika itu, namun kehadirannya cukup memberikan peran yang penting dalam sejarah perfilman Indonesia. Yang paling terakhir pada masa awal hadirnya sutradara perempuan Indonesia ialah Ida Farida. Adik kandung dari H. Misbach Jusa Biran ini memiliki perjuangan yang cukup menarik sampai akhirnya ia menjadi salah satu sutradara perempuan Indonesia. Pertama kali terjun di duni perfilman sebagai still-photo dan merangkap sebagai publicity dalam film “Segenggam Harapan”. Kemudian menjadi script girl dalam “Melawan Badai” (1972), lalu menjadi asisten sutradara. Hasil kerja kerasnya untuk menjadi sutradara tak lepas dari bimbingan dari Sofia W.D, yang telah banyak membantunya. Beberapa karya filmnya ialah, “Guruku Cantik Sekali” (1979), “Busana Dalam Mimpi” (1980) & “Merenda Hari Esok” (1981). Kebangkitan perfilman Indonesia dari mati surinya selama 12 tahun dimotori oleh sineas perempuan. Diawali film “Kuldesak” melibatkan dua sutradara perempuan, yaitu: Mira Lesmana dan Nan T Achnas. Meskipun film ini tidak sukses di pasaran namun sanggup memberikan geliat film Indonesia generasi baru. Gebrakan berikutnya dari Mira Lesmana terjadi saat “Petualangan Serina”(1999) dan “Ada Apa dengan Cinta”(2001) membuat antrian panjang penonton hingga berbulan-bulan lamanya. Lalu Nan T Achnas hadir dengan “Pasir Berbisik” (2001). Nia Dinata dalam “Berbagi Suami”(2006) menggambarkan bagaimana derita psikis perempuan yang dipoligam.).
Sebenarnya masih banyak nama-nama sineas perempuan yang belum saya sebutkan dalam paparan tulisan ini. Hal tersebut bisa menjadi indikator bahwa dunia perfilman sudah menjadi ruang eksistensi perempuan. Sineas perempuan memberikan kontribusi postif dan ikut mendorong perkembangan dunia perfilman Indonesia. Misi penyadaran jender dijadikan pembanding dari tontonan mainstreem yang menguasai pasar. Semoga tercipta generasi yang kritis dan sadar jender. Jika melihat dari sisi penjelasan tadi, seakan-akan budaya patriarki menguap di dunia nyata. Nyatany? Belum sama sekali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar