Ibarat manusia, negeri ini sudah terserang penyakit kronis.
Dalam suatu waktu negeri ini diserang ketertinggalan pendidikan, disintegrasi
sosial, dan wabah korupsi. Parahnya lagi, di tengah maraknya tindakan korupsi
yang dilakukan oleh pejabat negara, penegakan keadilan justru semakin melemah
dan isu suap semakin menginjak-injak kreadibilitas para penegak hukum. Berbagai
kasus korupsi dan kekerasan, misalnya, kebanyakan tidak ditindak secara tegas.
Muncullah selanjutnya apa yang dikenal dengan mafia hukum. Semakin parahlah
penyakit ini.
Berbagai permasalahan bangsa di atas adalah potret buram yang
harus menjadi refleksi bagi negeri kita. Kita tidak harus menciutkan rasa
memiliki bangsa ini, apalagi menjadikan kita semakin pesimis terhadap masa
depan bangsa. Mengingat pesimisme masyarakat telah tergambar jelas dalam
berbagai opini. Masyarakat telah banyak menyampaikan kritik, kegelisahan,
kekesalan, dan bahkan kebencian terhadap negara. Dikhawatirkan, kebencian
ini akan menyeret pada tindakan merusak, menghancurkan.
Maka dari itu, hendaknya kita tidak perlu terjebak pada rasa
benci terhadap para pengabdi negara karena kegagalanya dalam menjalankan amanah
bangsa, dengan saling tuding salah, akan memperparah keadaan sehingga
memunculkan emosi kolektif. Yang terpenting saat ini adalah sejauh mana
tindakan kita untuk melakukan perubahan bagi Indonesia, baik dalam aspek
ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan budaya. Jika pemerintah tidak sanggup,
mari swadaya saja. Jangan anarkis, tetapi buatlah para pejabat itu malu.
Langkah strategis untuk melakukan perubahan ini adalah
menjadikan generasi bangsa sebagai modal utama bagi penggerak perubahan.
Generasi muda adalah tonggak bangsa ini, dipundaknya lah nasib masa depan
bangsa ini. Selama ini, problematika kebangsaan tidak disikapi secara mendasar
dengan mempersiapkan anak bangsa untuk merubah Indonesia di masa depan. Langkah
yang dilakukan selama ini masih bersifat sementara. Padahal, sangatlah
mustahil, keterpurukan bangsa yang sedemikian parahnya cukup dengan aksi
sesaat. Apalagi diperparah dengan pengakit ‘lupa’ yang akan sesegera mungkin
mengubur masalah-masalah yang belum sepenuhnya selesai itu. Harusnya
penyelesaian dilakukan melalui proses yang berkepanjangan dan berkelanjutan.
Dalam hal ini, generasi muda adalah kuncinya.
Selama ini, belum tercermin sebuah harapan bangsa
digantungkan kepada pundak pemuda secara real. Generasi bangsa yang merupakan
elemen kunci bagi perubahan bangsa masih dianggap tidak penting. Saat ini generasi
muda dalam menatap masa depan kerap dihancurkan oleh sistem yang kotor. Pendidikan
yang merupakan kawah candradimuka bagi para pemuda malah diracuni dengan
kebohongan-kebohongan. Pendidikan dengan orientasi ujian nasional sebagai tolok
ukur kelulusan melahirkan nilai-nilai semu yang dikarbit. Mencari sekolah atau
perguruan tinggi harus melewati jalur ‘kotor’, jalur prestasi tidak sepenuhnya
jujur. Jamak yang lulus tiba-tiba melalui jalur prestasi, entah prestasi apa
dan tingkat mana. Jika demikian, bagaimana nasib bangsa ke depan, jika
pemudanya sudah diberi sajian “menu kotor” terus menerus.
Karena itu, kiranya perlu menjadi kesadaran bersama, terutama
para generasi muda, untuk membentuk gerakan kongkrit dalam rangka mewujudkan
perubahan di Indonesia. Di tengah derasnya fakta yang memperpuruk bangsa ini,
kita perlu mempertegas tugas sebagai sosok pembelajar, sehingga mampu mengambil
sikap tegas dalam menghadapi keterpurukan. Berbanggalah pada para pemuda yang
sudah menunjukkan kegelisahan mereka lewat gerakan-gerakan positif. Seperti
itulah hendaknya pemuda dalam membangun bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar