Intelektualitas
akan menjadi pusat pembangunan dan perkembangan sebuah negara di masa datang.
Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumber daya alam di setiap negara dan
semesta secara luas. Jadi kita tidak bisa mengandalkan sumber daya alam saja,
karena keterbatasannya itu. Sebaliknya, budaya belajar harus menjadi motor
penggerak pembangunan setiap negara. Maka, pendidikan hendaknya dimaksimalkan
untuk kepentingan pembangunan dan ekonomi bangsa.
Saat
ini, pendidikan memang masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar
masyarakat Indonesia. Pendidikan dianggap sebuah kemewahan bukan kebutuhan. Hal
pertama yang ditawarkan sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan kepada siswa
baru adalah penguatan ekonomi bukan mutu. Masih adanya kasus tidak bayar SPP
berarti tidak dibagikan ijazah ketika kelulusan adalah realitanya. Realita lain
adalah pertanyaan seperti, “Anda tamatan mana? Anda memiliki ijazah apa?”
ketika melamar pekerjaan adalah sebuah pertanyaan mengganggu. Tidak adakah
orang yang menanyakan, “Anda memiliki ketrampilan apa?”. Inilah kenyataan bahwa
pendidikan bukanlah penjamin mutu, setidaknya untuk saat ini.
Ke
depan, setuju atau tidak, pendidikan harus dan akan menjadi mesin penggerak
dalam pembangunan. Ketika pembangunan berkembang pesat yang terjadi adalah
kesejahteraan bangsa dan kekokohan ekonomi yang sejalan dengan perkembangan
pembangunan. Agar mencapai fase itu, tujuan pendidikan negeri ini hendaknya
dirumuskan dengan lebih akurat. Jika tidak ingin tertinggal, maka perlu
perbaikan perspektif tentang pendidikan. Kuncinya memang berada pada
pendidikan.
Jika
kodisi pendidikan negara ini masih jalan di tempat bahkan jalan mundur. Bisa
diprediksi, negara ini tidak akan bisa bersaing dengan negara luar yang setiap
detik mengejar perkembangan demi kemajuan pertiwi mereka masing-masing. Kita
memiliki kebutuhan dan harus kita penuhi sendiri dengan sedikit bantuan negara
lain, bukan ketergantungan pada negara lain.
Kebutuhan
masa depan memang harus menjadi standardisasi pendidikan kita. Memandang
kehidupan anak-anak hendaknya diutamakan. Pendidikan sekarang, seakan-akan
membekali kompas rusak kepada anak-anak untuk berpetualang dalam rimba
kehidupan. Mereka, seperti juga yang saya rasakan ketika mengenyam pendidikan, hanya
mengejar kecakapan kadaluarsa. Mengapa kadaluarsa? Karena kecakapan-kecakapan
yang diajarkan itu tidak dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kecakapan
di atas bisa diibaratkan sebuah kecakapan mesin. Anak-anak hanya deprogram
untuk mengatakan “Selamat Pagi” setiap bertemu orang misalnya, tanpa mengerti
untuk apa dia mengatakan sapaan itu. Hal ini menjadi sama dengan sapaan
“Selamat datang, selamat berbelanja”, oleh para SPG di sebuah minimarket. Mereka
ibarat beo. Hendaknya di dalam pendidikan (formal) anak-anak tidak lagi
diberikan nilai sebuah informasi, melainkan pemanfaatan informasi itu dalam
kehidupan mereka. Ironisnya, kecakapan itulah yang menjadi orientasi pendidikan
di negara ini.
Kecakapan
guru dan ketidakacuhan sistem pendidikan adalah pemantik diasingkannya proses
berpikir bernalar di ruang-ruang kelas. Sistem ujian nasional (UN) yang dominan
menyajikan soal-soal hafalan informasi adalah alasan mengapa guru-guru tak
pernah memerdulikan proses bernalar tingkat tinggi. Akibatnya, anak-anak
memiliki pemahaman yang rendah terhadap materi pelajaran. Mereka hanya
‘dipaksa’ menghapal materi itu-itu saja karena keinginan kurikulum.
Walaupun
sebenarnya materi itu penting dan masih banyak hal yang bisa dipelajari dan
dimanfaatkan bagi kehidupan. Teori tentang membaca misalnya, hanya diajarkan
mengenai membaca paragraf, mencari ide pokok dan ide penjelas. Memang sekadar
itu saja. Padahal membaca sangat luas manfaatnya. Mungkin karena inilah, banyak
anak-anak yang melanggar rambu-rambu lalu lintas karena tidak paham akan
artinya. Mereka memang tidak pernah diajarkan di sekolah ketika materi membaca
disampaikan. Ini hanya sebuah contoh betapa menghapal masih sangat diagungkan
oleh pendidikan kita.
Selanjutnya
yang hendaknya perlu dipikirkan oleh pendidikan negeri ini adalah standar isi
yang lebih menekankan kepada kebutuhan modern kehidupan anak. Begitu pula
dengan tuntutan pada guru hendaknya pada penguasaan konsep dan teori bukan pada
administrasi mengajar yang justru tidak berperan terlalu penting di dalam kelas
dan bagi anak-anak (anak didik).
Teman-teman
saya ketika sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP) sering
mengatakan, “untuk apa membelajari matematika atau fisika, toh juga tidak bisa
digunakan dalam berbelanja”. Ya, pertanyaan itu memang klise, sederhana, dan
agak bodoh, sehingga teman-teman saya yang mengatakan kalimat itu memang dicap
bodoh oleh guru maupun sekolah. Sesungguhnya, pertanyaan seperti itulah yang
hendaknya kita kritisi.
Anak-anak
di sekolah hanya ‘dipaksa’ menghafal rumus, dan memahami logika soal sehingga selanjutnya
bisa ‘dieksekusi’ dengan rumus-rumus yang telah mereka hafal tadi. Muaranya
tidak lain agar bisa mengerjakan soal-soal ketika ulangan harian maupun ujian
nasional (UN), sehingga digapailah nilai sempurna. Anak-anak selalu bangga
mendapatkan nilai 100 yang semu itu. Nyatanya, walaupun mereka bisa mendapat
nilai yang memuaskan ketika berhitung menggunakan rumus matematika atau fisika
dalam kehidupan nyata mereka tak pernah menghitung volume kardus mie instan
sekalipun. Bahkan, anak-anak SD kelas dua yang sudah diajarkan perkalian tidak
bisa bertransaksi jual beli, menghitung uang kembalian ketika belanja. Wajar
saja, mereka tidak pernah ditekankan pembelajaran ini.
Anak-anak
hanya cakap menghitung soal dalam buku dengan rumus. Anak-anak tidak pernah
diajak menggunakan rumus dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mengapa
anak-anak tidak diajak mengukur volume kardus mie instan yang sering mereka
makan? Mengapa mereka tidak pernah disuruh mengukur tinggi badan anggota
keluarganya sembari belajar membaca angka pada alat pengukur panjang (meteran). Saya berpikir, ini lebih
berguna dan seharusnya seperti inilah pendidikan dijalankan. Jadi, kalimat
klise itu tak akan terlontar lagi dan saya yakin teman-teman saya itu akan
rajin belajar karena pelajaran itu bisa mereka gunakan dalam kehidupan
sehari-hari.
Argumen
saya ini tidak bermagsud membuat pandangan orang terhadap pelajaran matematika
atau fisika semakin merendah. Semua mata pelajaran jika diterapkan dengan cara
saat ini maka akan sama terasa ‘tidak bergunanya’. Jika pembelajaran diterapkan
seperti itu, orang tua mana pun pasti bisa ikut berperan dalam pembelajaran di
rumah anak masing-masing. Karena sejauh ini, pengamatan saya terutama di desa,
orang tua menjadi tak acuh dengan pekerjaan rumah atau aktifitaas belajar
anaknya karena soal-soal yang terlalu rumit dan hanya bisa dipecahkan di bangku
sekolah. Para orang tua yang (maaf) tidak sempat mengenyam pendidikan tidak
bisa membantu anaknya. Harusnya, pendidikan memberi ‘kekuatan’ untuk membantu
para anak yang memiliki orang tua seperti itu. Sehingga orang tua tidak merasa
rugi membiayai sekolah mahal-mahal, tetapi sang anak tidak bisa membantu sang
ibu menimbang hasil panennya yang walaupun tidak seberapa.
Pendidikan
negeri ini perlu dirombak sehingga dapat memberi ‘makna’ setelah keluar dari
sana. Tidak lagi sekadar ‘tahu’ atau ‘ingat/hapal’ tentang teori. Ke depan,
mari memulai budaya bernalar, bukan budaya menghapal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar