Selasa, 12 Juni 2012

Degradasi Budaya Belajar

Intelektualitas akan menjadi pusat pembangunan dan perkembangan sebuah negara di masa datang. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumber daya alam di setiap negara dan semesta secara luas. Jadi kita tidak bisa mengandalkan sumber daya alam saja, karena keterbatasannya itu. Sebaliknya, budaya belajar harus menjadi motor penggerak pembangunan setiap negara. Maka, pendidikan hendaknya dimaksimalkan untuk kepentingan pembangunan dan ekonomi bangsa.
Saat ini, pendidikan memang masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pendidikan dianggap sebuah kemewahan bukan kebutuhan. Hal pertama yang ditawarkan sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan kepada siswa baru adalah penguatan ekonomi bukan mutu. Masih adanya kasus tidak bayar SPP berarti tidak dibagikan ijazah ketika kelulusan adalah realitanya. Realita lain adalah pertanyaan seperti, “Anda tamatan mana? Anda memiliki ijazah apa?” ketika melamar pekerjaan adalah sebuah pertanyaan mengganggu. Tidak adakah orang yang menanyakan, “Anda memiliki ketrampilan apa?”. Inilah kenyataan bahwa pendidikan bukanlah penjamin mutu, setidaknya untuk saat ini.
Ke depan, setuju atau tidak, pendidikan harus dan akan menjadi mesin penggerak dalam pembangunan. Ketika pembangunan berkembang pesat yang terjadi adalah kesejahteraan bangsa dan kekokohan ekonomi yang sejalan dengan perkembangan pembangunan. Agar mencapai fase itu, tujuan pendidikan negeri ini hendaknya dirumuskan dengan lebih akurat. Jika tidak ingin tertinggal, maka perlu perbaikan perspektif tentang pendidikan. Kuncinya memang berada pada pendidikan.
Jika kodisi pendidikan negara ini masih jalan di tempat bahkan jalan mundur. Bisa diprediksi, negara ini tidak akan bisa bersaing dengan negara luar yang setiap detik mengejar perkembangan demi kemajuan pertiwi mereka masing-masing. Kita memiliki kebutuhan dan harus kita penuhi sendiri dengan sedikit bantuan negara lain, bukan ketergantungan pada negara lain.
Kebutuhan masa depan memang harus menjadi standardisasi pendidikan kita. Memandang kehidupan anak-anak hendaknya diutamakan. Pendidikan sekarang, seakan-akan membekali kompas rusak kepada anak-anak untuk berpetualang dalam rimba kehidupan. Mereka, seperti juga yang saya rasakan ketika mengenyam pendidikan, hanya mengejar kecakapan kadaluarsa. Mengapa kadaluarsa? Karena kecakapan-kecakapan yang diajarkan itu tidak dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kecakapan di atas bisa diibaratkan sebuah kecakapan mesin. Anak-anak hanya deprogram untuk mengatakan “Selamat Pagi” setiap bertemu orang misalnya, tanpa mengerti untuk apa dia mengatakan sapaan itu. Hal ini menjadi sama dengan sapaan “Selamat datang, selamat berbelanja”, oleh para SPG di sebuah minimarket. Mereka ibarat beo. Hendaknya di dalam pendidikan (formal) anak-anak tidak lagi diberikan nilai sebuah informasi, melainkan pemanfaatan informasi itu dalam kehidupan mereka. Ironisnya, kecakapan itulah yang menjadi orientasi pendidikan di negara ini.
Kecakapan guru dan ketidakacuhan sistem pendidikan adalah pemantik diasingkannya proses berpikir bernalar di ruang-ruang kelas. Sistem ujian nasional (UN) yang dominan menyajikan soal-soal hafalan informasi adalah alasan mengapa guru-guru tak pernah memerdulikan proses bernalar tingkat tinggi. Akibatnya, anak-anak memiliki pemahaman yang rendah terhadap materi pelajaran. Mereka hanya ‘dipaksa’ menghapal materi itu-itu saja karena keinginan kurikulum.
Walaupun sebenarnya materi itu penting dan masih banyak hal yang bisa dipelajari dan dimanfaatkan bagi kehidupan. Teori tentang membaca misalnya, hanya diajarkan mengenai membaca paragraf, mencari ide pokok dan ide penjelas. Memang sekadar itu saja. Padahal membaca sangat luas manfaatnya. Mungkin karena inilah, banyak anak-anak yang melanggar rambu-rambu lalu lintas karena tidak paham akan artinya. Mereka memang tidak pernah diajarkan di sekolah ketika materi membaca disampaikan. Ini hanya sebuah contoh betapa menghapal masih sangat diagungkan oleh pendidikan kita.
Selanjutnya yang hendaknya perlu dipikirkan oleh pendidikan negeri ini adalah standar isi yang lebih menekankan kepada kebutuhan modern kehidupan anak. Begitu pula dengan tuntutan pada guru hendaknya pada penguasaan konsep dan teori bukan pada administrasi mengajar yang justru tidak berperan terlalu penting di dalam kelas dan bagi anak-anak (anak didik).
Teman-teman saya ketika sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP) sering mengatakan, “untuk apa membelajari matematika atau fisika, toh juga tidak bisa digunakan dalam berbelanja”. Ya, pertanyaan itu memang klise, sederhana, dan agak bodoh, sehingga teman-teman saya yang mengatakan kalimat itu memang dicap bodoh oleh guru maupun sekolah. Sesungguhnya, pertanyaan seperti itulah yang hendaknya kita kritisi.
Anak-anak di sekolah hanya ‘dipaksa’ menghafal rumus, dan memahami logika soal sehingga selanjutnya bisa ‘dieksekusi’ dengan rumus-rumus yang telah mereka hafal tadi. Muaranya tidak lain agar bisa mengerjakan soal-soal ketika ulangan harian maupun ujian nasional (UN), sehingga digapailah nilai sempurna. Anak-anak selalu bangga mendapatkan nilai 100 yang semu itu. Nyatanya, walaupun mereka bisa mendapat nilai yang memuaskan ketika berhitung menggunakan rumus matematika atau fisika dalam kehidupan nyata mereka tak pernah menghitung volume kardus mie instan sekalipun. Bahkan, anak-anak SD kelas dua yang sudah diajarkan perkalian tidak bisa bertransaksi jual beli, menghitung uang kembalian ketika belanja. Wajar saja, mereka tidak pernah ditekankan pembelajaran ini.
Anak-anak hanya cakap menghitung soal dalam buku dengan rumus. Anak-anak tidak pernah diajak menggunakan rumus dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mengapa anak-anak tidak diajak mengukur volume kardus mie instan yang sering mereka makan? Mengapa mereka tidak pernah disuruh mengukur tinggi badan anggota keluarganya sembari belajar membaca angka pada alat pengukur panjang (meteran). Saya berpikir, ini lebih berguna dan seharusnya seperti inilah pendidikan dijalankan. Jadi, kalimat klise itu tak akan terlontar lagi dan saya yakin teman-teman saya itu akan rajin belajar karena pelajaran itu bisa mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Argumen saya ini tidak bermagsud membuat pandangan orang terhadap pelajaran matematika atau fisika semakin merendah. Semua mata pelajaran jika diterapkan dengan cara saat ini maka akan sama terasa ‘tidak bergunanya’. Jika pembelajaran diterapkan seperti itu, orang tua mana pun pasti bisa ikut berperan dalam pembelajaran di rumah anak masing-masing. Karena sejauh ini, pengamatan saya terutama di desa, orang tua menjadi tak acuh dengan pekerjaan rumah atau aktifitaas belajar anaknya karena soal-soal yang terlalu rumit dan hanya bisa dipecahkan di bangku sekolah. Para orang tua yang (maaf) tidak sempat mengenyam pendidikan tidak bisa membantu anaknya. Harusnya, pendidikan memberi ‘kekuatan’ untuk membantu para anak yang memiliki orang tua seperti itu. Sehingga orang tua tidak merasa rugi membiayai sekolah mahal-mahal, tetapi sang anak tidak bisa membantu sang ibu menimbang hasil panennya yang walaupun tidak seberapa.
Pendidikan negeri ini perlu dirombak sehingga dapat memberi ‘makna’ setelah keluar dari sana. Tidak lagi sekadar ‘tahu’ atau ‘ingat/hapal’ tentang teori. Ke depan, mari memulai budaya bernalar, bukan budaya menghapal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar