Sabtu, 16 April 2011

Mampu Menyatukan Indonesia


PSSI adalah milik pencinta sepak bola seluruh Indonesia, maka hendaknyalah ketua umum PSSI bisa memberikan keadilan terhadap pencinta sepak bola tanah air. Bukannya mementingkan kelompok dan mensejahterakan diri sendiri. Pun kecintaan terhadap sepak bola tanah air yang diumbar ketua umum PSSI tak hanya di bibir saja. Janji yang diberikan saat menjadi calon segera direalisasikan. Jangan sampai janji itu abadi menjadi janji.
Masyarakat Indonesia ingin melihat timnas Garuda terbang tinggi lagi. Klub-klub berlabel professional Indonesia dituntut bebas dana APBD. Terpenting, sepak bola Indonesia tak terpecah belah lagi. Ketua umum PSSI yang baru hendaknya memperhatikan beberapa hal di atas. Ini PR untuk Anda sekaligus harapan sepak bola merah putih. Harapan Indonesia, adalah harapan dari Sabang sampai Merauke. Bukan hanya untuk kepentingan Senayan.
Berjiwa besar dan bisa menerima “kekalahan” serta bersedia mundur jika gagal adalah harapan lain dari saya kepada ketua PSSI yang akan datang. Jangan ngotot jika salah! Saya tak magsud menyindir siapa pun, tapi hendaknya kita bisa belajar dari pengalaman yang terlah terjadi. Seperti permainan sepak bola yang menjunjung fair play, pun dengan ketua PSSI yang baru. Sifat fair play semoga tumbuh lagi di PSSI. Saya sangat berharap ketua umum PSSI yang baru bisa mendengar semua suara hati para pencinta bola. Lalu merealisasikan yang terbaik bagi sepak bola Indonesia.

Jumat, 15 April 2011

ISL dan LPI Sulit Disatukan


Berubahnya status LPI menjadi legal menimbulkan masalah baru. Komite Normalisasi seakan melupakan bahwa FIFA melarang adanya dua kompetisi dalam satu kasta yang sama. LPI dan ISL mempunyai derajat yang sama.
Walau LPI mengaku pantas berada di atas ISL yang masih menyusu pada uang rakyat, itu masih belum bisa diterima oleh semua pihak. ISL tetaplah kompetisi tertinggi Indonesia, dan klub-klub yang berkompetisi di sana adalah klub yang sejak lama berkompetisi. Sebaliknya, jika LPI diletakkan di bawah ISL, pasti sangat ditentang oleh pihak LPI.
Bila LPI dan ISL digabung dalam satu wadah liga, tentu akan sangat gemuk. FIFA menetapkan sebuah kompetisi hanya boleh diikuti maksimat 20 klub. Mungkin ini bisa dilakukan, tapi bagaimana sistem penentuan ke 20 klub yang berhak berada di kasta tertinggi kompetisi Indonesia? Selanjutnya, bagaimana dengan sisa klub yang tak lolos itu? Di tingkatan mana mereka di taruh?
Jika mereka ditaruh di bawah liga tertinggi, maka akan terjadi kecemburuan bahkan kekacauan  pada klub-klub di liga dibawah. Perjalanan mereka menuju kasta tertinggi akan semakin jauh. Menurut saya, yang paling tidak bisa diterima adalah karena penambahan ini secara tiba-tiba. Penyatuan dua kompetisi di atas pasti akan berimbas pada klub-klub di kompetisi rendah lain yang sudah ada seperti Divisi Utama, Divisi Satu, dan Divisi Dua.
Pertu sistem dan regulasi yang tepat untuk menyatukan kedua kompetisi itu. semua klub, dan pihak terkait hendaknya duduk bersama demi kemajuan sepak bola kita, dalam hal ini terkait run away leagua ini.

Rabu, 13 April 2011

Tanpa Arah


Mau dibawa kemana sepakbola negara kita jika kisruh ini tak segera selesai? PSSI sebagai organisasi tertinggi telah menyulut berkobarnya revolusi yang diinginkan pencinta sepakbola tanah air. PSSI terlalu angkuh dengan kewenangannya. Nurdin dan antek-anteknya terlalu percaya diri dengan kekuasaannya.
Munculnya LPI sebagai simbol ketidakpuasan pencinta sepakbola negeri ini adalah awal perlawanan  kepada rezim gagal Nurdin. LPI yang saya rasa mempunyai itikad baik malah ditentang oleh PSSI. PSSI terlalu arogan. Harusnya PSSI belajar dari LPI mengenai pengelolaan liga secara professional dan tidak bergantung pada uang rakyat.
Seakan PSSI mendapat karma dari kearoganan mereka, kini merekapun dibekukan. Menpora tidak mengakui PSSI lagi. Pemerintah juga tidak lagi mengakui seluruh kompetisi/kegiatan olahraga dibawah kepengurusan PSSI pusat yang sekarang.
Nah, jika keadaan seperti ini, mana organisasi legal dalam persepakbolaan tanah air? Harusnya yang mengatakan cinta persepakbolaan Indonesia berjalan pada rel yang sama. Kita harus bersatu padu untuk memajukan olahraga terpopuler ini. Indonesia terlalu lama tertidur, bahkan kini terancam mati suri untuk waktu yang belum ditentukan.
Hilangkan kepenting pribadi sejenak. Jangan mau menang sendiri tanpa memikirkan masa depan sepakbola itu sendiri.

Selasa, 12 April 2011

Selamat Tinggal Bangunan Tua


Minggu (10/4) pagi kala mentari baru menampakkan diri, saat sinar redupnya menyiram hamparan, laut banyak remaja menyemut di tempat itu. Kaki-kaki menghentak pelan. Riuh rendah dialog sayup-sayup terdengar. Hantaman ombak sesekali memecah pagi yang masih hening. Manusia-manusia itu mendahului pagi. Tempat ini memang biasa digunakan sebagai lokasi jogging oleh masyarakat saat hari libur, seperti hari minggu ini. Jika sore tiba, tempat ini akan diserbu pelancong baik yang tua maupun muda serta para “pemburu” ikan.
Aroma jajanan mulai tercium saat mentari menenggelamkan diri di ufuk barat. Kekhasan sate kakul, mengundang pengunjung untuk mampir. Lapak-lapak pedagang pun semakin ramai berdiri. Semakin malam, pengunjung semakin banyak.
Bagi Buleleng, tempat ini adalah serpihan sejarah di masa lampau. “Pelabuhan Buleleng merekam kejayaan kerajaan Buleleng”, kata seorang bapak yang saya temui di lokasi. “Sejarah kebesaran Buleleng tercermin di bangunan tua ini”, lanjutnya. Pelabuhan Buleleng di Kabupaten Singaraja sebagai pintu utama Bali sejak masa pendudukan Belanda hingga menjadi ibu kota Provinsi Sunda Kecil, periode tahun 1950-1958.

Jika di eks Pelabuhan Buleleng akan dibangun gedung konvensi, bagaimana nasib deretan bangunan tua di sisi timur pelabuhan itu? Inilah yang menjadi dilema saat ini. Karena gedung konvensi bertaraf internasional yang beranggaran 3,5 miliar akan dibangun di areal bekas bangunan tua peninggalan Belanda itu. Sejumlah warga menyayangkan pembongkaran itu, mengingat keberadaannya bisa menjadi pendukung kawasan wisata Kota Singaraja. Menyikapi hal itu, Bupati Bagiada bingung.
“Ada yang berpandangan bangunan tua itu harus dipertahankan. Ada yang bilang itu hanya gudang rusak yang berbahaya dan harus dibongkar,” katanya di suatu kesempatan. Pembongkaran bangunan saksi bisu perjalanan Buleleng sebagai ibukota Sunda Kecil dan berbagai peristiwa heriok perjuangan Bangsa Indonesia itu juga didasari dengan kondisi bangunan yang tidak terawat dan tidak masuk dalam kawasan dilindungi (heterage).