Sabtu, 21 Juli 2012

Tidak Harus Buah Jatuh Dekat dari Pohonnya

Orang tua disebut teladan karena memang bisa menjadi contoh. Ini disebabkan karena para orang tua telah lebih dahulu mengalami. Teladan keutamaan hidup perihal nilai-nilai yang mewujud dalam prilaku sehari-hari. Mengingat zaman digital ini makin jamak bahtera keluarga yang karam karena krisis keteladanan. Mata anak-anak yang masih bening, dipaksa merekam perilaku kasar, kejadian-kejadian sengit itu akan disimpan si anak hingga dewasa. Kelak, anak-anak seperti ini cenderung mengalami masalah dengan mentalnya. Journal of Epidemiology and Community Health telah membuktikannya.
Suatu hari saya melihat seorang anak manja, yang dengan ‘tidak merasa bersalah’ berteriak-teriak di keramaian pusat perbelanjaan. Lalu beberapa waktu berikutnya, saya bertemu anak yang tidak bisa ‘diam’ ketika diajak ke sekolah oleh orang tuanya yang kebetulan seorang guru. Si anak berlari kesana-kemari di lobi sekolah, meloncat-loncat, hingga mencolak-colek siswa yang sedang berjalan tidak jauh dari anak itu bermain. Dan dengan sok akrabnya si anak menyentuh barang-barang yang ditemuinya disepanjang sekolah. Sepertinya wajar-wajar saja, tapi tidak dari kacamata saya.
Terkadang si orang tua hanya berkata, “Namanya juga anak-anak”. Katanya lagi, perbuatan yang dilakukan si anak adalah sebuah wujud kesehatan jasmani. “Itu tandanya anak sehat,” jelas si orang tua. Baiklah, batin saya. Sayapun hanya bisa mengganggung-angguk tetapi hati saya belum terpuaskan dengan jawaban enteng itu.
Orang tua seperti itu biasanya tidak merasakan bagaimana kesalnya lingkungan sekitar terhadap ‘kesehatan’ anaknya. Jika boleh saya sarankan kepada para orang tua yang budiman, berhati-hatilah ketika berbicara. Jangan menggampangkan sesuatu hanya karena anda belum sempat merasakannya. Saya pikir, anak seperti itu tanggung jawab didikan orang tua.
Bukankah ada ungkapan, yang sudah lama kita kenal, buah tidak akan jatuh dari pohonnya. Pun dengan ungkapan bahasa Inggris yang berbunyi like father, like son. Kedua ungkapan itu kurang lebih memiliki makna yang sama yaitu anak adalah cerminan jiwa orangtuanya. Selama melakoni kehidupan ini, kenyataan inilah yang saya temui.
Cerita lainnya ketika melihat seorang anak yang tidak bisa diam, berlari kesana-kemari. Naik turun tangga rumah tanpa mendengar teriakan orang tuanya. Saya pikir, pantas saja. Wong orang tuanya hanya mengatakan “Jangan nakal, dek”, itupun dari kejauhan. Saya paling jengkel dengan orang tua yang terlalu mengganggap remeh ‘keaktifan’ sang anak. Anak ‘sehat’ itu tidak seperti itu kok.
Saya memang belum menjadi orang tua, tetapi itulah yang dapat saya simpulkan dari kegeraman saya kepada anak-anak yang menularkan sikap jelek orang tuanya. Entah karena orang tua si anak tidak bisa mendidik anak. Atau karena pengaruh lain. Dan saya pun tidak bermaksud menggurui para orang tua yang sudah berpengalaman itu. Tapi sebaiknya coba renungkan kejadian-kejadian yang saya temui ini. Apakah anda termasuk di dalamnya?
            Apakah anda membiarkan anak anda mengambil barang-barang sembarangan di tempat anak bermain? Apakah bakat (maaf) judi yang anak anda miliki sekarang adalah warisan anda? Apakah kebiasaan anak anda yang merokok dan mabuk-mabukan adalah contoh yang pernah anda perlihatkan, secara langsung maupun tidak. Walaupun sang anak mungkin saja mengalami ‘pendidikan’ negatif itu dari lingkungan sekitar atau teman sepermainnya. Tapi inipun masih bisa diperdebatkan.
Pernahkah anda berpikir atau setidaknya merasa agak bersalah ketika (misalnya) merokok di depan anak sendiri. Dan saya yakin seketika itu, ketika usia sang anak sudah memungkinkan untuk berpikir logis, si anak pasti berpikir begini. “Bapak saja boleh merokok, saya juga boleh dong”. Pun dengan hal-hal negatif lainnya. Karena pada dasarnya, hal-hal negatif sangat gampang untuk ditiru. Karena anak-anak belajar dan melihat lingkungan di mana dia berada, terutama dari keluarga. Bersama keluargalah anak menghabiskan waktu paling banyak.
Saya merasakan ketika anak-anak, saya memiliki sifat pemalu, agak penakut ya..karena bapak saya kurang lebih juga bersifat seperti itu. Dan saya pun tidak bisa protes mengapa saya menjadi anak yang pemalu dan agak penakut sampai saat ini. Anak nakal itu, saya pikir tidak wajar dan tentunya tidak sehat. Jangan sampai hasil mendidik di masa kecil akan menjadi bumerang untuk anak dan anda sebagai orang tua di masa mendatang.
Tetapi, lebih bagus jika seorang anak bisa menepis ungkapan buah tidak akan jatuh dari pohonnya atau ungkapan yang berbunyi like father, like son itu. Khususnya terkait hal-hal yang bersifat begatif. Jika yang terjadi adalah ‘pewarisan’ sifat-sifat maupun bakat-bakat positif sang orang tua, tentu akan lain persoalannya. Dan tentunya tidak akan muncul kritikan seperti yang saya tulisakan di atas. Yang muncul mungkin saja pujian-pujian yang kira-kira berbunyi seperti ini. “Sebagaimana ayahnya, Wayan pun memiliki darah seorang seniman”. Atau seperti ini, “Untung ya, Wayan tidak ‘mewarisi’ bakat ayahnya yang korupsi itu”.
ilustrasi
Sebagai generasi yang pintar hendaknya bisa mendobrak budaya-budaya jelek yang telah lama dijaga oleh para orang tua kita. Ingatlah, di dunia ini tidak ada hal negatif yang bisa melahirkan sesuatu yang positif. Janganlah menjadi buah yang selalu jatuh dekat dari pohon. Jadilah buah yang jatuh agak jauh dari pohon lalu tumbuh menjadi pohon yang lebih besar dari pohon yang ‘melahirkanmu’.
Jadi kembali saya ingatkan kembali kepada para orang tua. Janganlah suka berbohong jika tidak ingin dibohongi oleh anak sendiri. Janganlah suka mabuk-mabukkan jika tidak ingin anak anda ‘mewarisinya’. Begitupun dengan para pemimpin negeri ini, janganlah memberikan contoh korupsi kepada generasi muda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar