Minggu, 22 Juli 2012

Sastra Tidak Sekadar Buah Khayalan

Beberapa waktu lalu, novel Anak Sejuta Bintang (ASB) sempat menuai banyak kritik pedas. Novel karangan Akmal Nasery Basral ini menceritakan kisah masa kecil Aburizal Bakrie. Dan karena itu lah penulis yang juga aktif di media mikroblog twitter, Goenawan Mohamad ini sempat mengecap novel ABS sebagai “sastra pilpres”. Novel ABS ini dicurigai sebagai novel pencitraan. Tetapi penilaian masih sebatas kitrikan secara kasar. Karena belum tentu penyair senior yang memposting kicauannya (tweet) pada 29 Januari 2012 lalu itu membaca secara menyeruluh teks dalam novel ASB.
ABS adalah novel yang mengandung motivasi dan (katanya) edukasi. Tetapi permasalahan yang akan saya bicarakan bukanlah masalah apakah sosok Ical – panggilan Aburizal Bakrie – cocok, atau menginspirasi atau tidak. Yang menjadi sorotan saya adalah munculnya kisah-kisah inspiratif dan motivatif akhir-akhir ini. Dan novel-novel yang berkisah seperti itu laku di pasaran, bahkan mendapat predikat bestseller.
Sejak Laskar Pelangi (dan tetraloginya), novel semi-otobiografis – setidaknya itu sebutan yag diberikan orang-orang- karya Andrea Hirata dinikmati masyarakat. Tidak berhenti sampai tetralogi Laskar Pelangi, kisah-kisah ‘masa lalu’ sang pengarang asli Belitong ini pun muncul lagi dalam karya-karya selanjutnya. Setelahnya, novel-novel serupa pun bermunculan. Seperti Negeri 5 Menara (dan triloginya) karya Ahmad Fuadi yang ‘bernasib’ serupa dengan Laskar Pelangi. Novel ini juga bisa digolongkan sebagai novel semi-otobiografis. Dan masih ada beberapa novel serupa yang muncul beberapa tahun belakangan. Novel-novel di atas bernafas sama, yaitu menghembuskan motivasi bagi para pembacanya.
Sah-sah saja sebuah novel atau karya sastra memantik semangat pembacanya. Tapi apakah itu tujuan utama sebuah karya sastra? Atau yang lebih mendasar, apakah karya sastra adalah fiksi (imajinasi). Tetapi novel-novel motivasi (istilah ini bukan sebuah penggolongan sastra) dan berpredikat bestseller di atas adalah pengalaman nyata pengarangnya atau orang lain. Jika seperti ini, apakah novel-novel ini masih bisa dikatakan sebagai karya sastra?
Reaksi sebagai sebuah sastra motivasi muncul ketika sebuah novel mampu memberi kesan dan agaknya dapat mengobati kegelisahan-kegelihan di hati pembaca mengenai kehidupannya. Lalu peristiwa yang dihadirkan oleh pengarang yang merupakan kisah nyata nan inspiratif juga ide-ide yang dihadirkan menjadi kekal di pikiran pembaca. Apalagi ketika kejadian dalam untaian cerita itu memiliki kemiriban dengan yang pernah pembaca alami. Maka pembaca pun memuji dan memberi kesan.
Dan motivasi-motivasi maupun kisah-kisah inspiratif tidak hanya lahir melalui kisah-kisah orang sukses. Terkadang penulis mengembangkan cerita-cerita itu dari potret kehidupan yang lebih beragam. Sehingga lahirnya buku-buku semacam Cacing dan Kotoran Kesayangannya dan cerita-cerita inspiratif dari acara Kick Andy serta kisah-kisah dari para guru muda proyek Indonesia Mengajar. Buku-buku itu bukan novel tapi untaian kisah-kisah inspiratif yang ketika dilempar kepasaran menjadi buku-buku bestseller. Masyarakat mulai menyenangi kisah-kisah seperti ini.
Kian banyak kisah motivatif yang selalu memantik minat banyak orang. Tidak tertutup kemungkinan ke depan akan makin banyak lahir buku-buku semacam ini. Dan akhirnya, ini akan baik untuk perkembangan sastra. Sastra akan tersaji dengan lebih santai dan dibaca dengan santai pula. Tidak dengan kening yang berkerut-kerut. Inilah yang saya pikir kelebihan novel-novel jenis ini.
Mengenai, apakah kisah-kisah seperti ini bisa dimasukkan dalam golongan sastra karena menghadirkan fakta bukan fiksi seperti yang sudah lama dikenal sebagian orang, saya pikir tentu saja bisa. Mengapa tidak. Sastra dilahirkan oleh kreativitas dan estetika yang melebur menjadi untaian makna yang multitafsir. Saya pikir sastra adalah menyubliman ekspresi dari budaya.
Sebuah sastra, khususnya novel ataupun cerpen sekalipun sebenarnya berupa sketsa-sketsa kehidupan yang kerap terjadi di sekitar penulis. Bahkan kisah-kisah tersebut langsung dialami penulisnya dan terkadang pembaca pun seakan pernah mengalami kisah-kisah itu. Maka dari itu, lahirlah novel-novel seperti Laskar Pelangi maupun Negeri 5 Menara. Tapi tidak serta merta sketsa-sketsa kehidupan itu ditampilkan ‘telanjang’. Cerita-cerita itu dibangun dari cuplikan pragmen-pragmen hidup yang tidak harus condong membangun sebuah cerita utuh.
Cerita pada sebuah sastra tidak mungkin hanya berasal dari khayalan pengarang saja. Tokoh-tokoh dalam sebuah cerita mungkin saja menunjuk pada sosok yang memang hidup di dunia nyata. Hanya saja sosok-sosok itu dihadirkan dengan mengikuti jalan cerita atau jalan hidup yang telah dibuat pengarangnya. Dan merekapun telah memasuki dunia baru yaitu alur yang telah diciptakan pengarangnya. Jadi tak ada alasan untuk meragukan Laskar Pelangi dan novel-novel bernafas serupa bukanlah sebuah karya sastra.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar