Kamis, 12 Mei 2011

teror UN

Menjadi salah saat ujian nasional (UN) digunakan sebagai vonis kelulusan siswa. Ujian tertulis yang dilangsungkan hanya beberapa hari sangat tidak relevan untuk memutuskan kelulusan siswa yang sudah mengenyam pendidikan bertahun-tahun. Hanya menggunaka kognitif untuk menentukan kelulusan adalah hal yang absurd. Lalu dikemanakan aspek lain, afektif dan psikomotornya? Mencontek dikaitkan dengan kejujuran. Memang benar mencontek adalah perbuatan salah. Tapi ketika dikaitkan dengan ujian nasional, mencontek adalah perbuatan yang halal. Jangan salahkan pandangan ini, karena sistem pendidikanlah yang mengkehendakinya. Sistem pendidikan yang hanya menjadi terror bagi pelaku pendidikan ini belumlah seperti yang diharapkan banyak pihak. Mengapa teror? Karena setiap mendekati ujian nasional semua pihak, baik guru, siswa, orang tua siswa bahkan para pejabat, yang sebaiknya tidak ikut campur menjadi gundah gulana. Mereka berpikir keras agar bisa melewati teror ini. Benar tidaknya, bisa diperdebatkan. Ujian nasional (UN) sudah menjadi target terpenting dari pendidikan. Kecemasan kolektif pun terjadi tiap tahun. Guru, kepala sekolah, siswa, orang tua siswa, dinas pendidikan takut akan hasil jeblok ujian nasional. Semua menjadi tegang. Mereka memikirkan segala cara agar ujian nasional menjadi sukses. Tapi sayang cara yang ditempuh jamak yang haram. Tapi akan menjadi halal saat ujian nasional berlangsung. Bagi sekolah, kelulusan adalah pencitraan sekolah. Hal ini akan berdampak pada peminat yang melamar sekolah itu di tahun berikutnya. Sekolah sangat berkepentingan dengan jumlah siswa. Makin tinggi jumlah siswa, makin sejahtera sekolah itu dan tentu saja guru-gurunya. Tidak jarang dalam perekrutan siswa ini dicampuri oleh nepotisme gila-gilaan yang dimanfaatkan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab. Akhirnya, suap-menyuap pun mewarnai. Kembali kepada kelulusan. Kelulusan adalah prestasi yang dilahirkan sekolah itu, setidaknya itulah yang ada di benak orang tua siswa. Makanya sekolah akan mati-matian membuat prestasi kelulusan 100%. Bagi siswa dan tentunya orang tua siswa adalah sebuah keberhasilan bisa lulus. Tidak lulus akan menimbulkan dua hal yang sangat merugikan. Tidak lulus sama dengan mengulang, jika hal ini terjadi tentu akan menambah biaya pendidikan. Tidak lulus juga berarti siap menanggung malu. Inilah yang sangat dihindari, sehingga lulus adalah hal yang tidak bisa ditawar lagi. Bagi para pejabat di lingkungan dinas pendidikan setempat, kelulusan berarti naik jabatan. Kelulusan juga berarti bahwa mereka sudah bekerja dengan benar. dalam situasi seperti itu maka mereka sekuat tenaga akan menggenjot prestasi siswa. Sayangnya, cara yang digunakan salah. Tidak salah sih, tapi sistem pendidikan yang kadung salah. Ketidakjujuran menjadi pembenaran dalam hal ini. Dan dalam kasus Siami, ia adalah penggugat sistem pendidikan kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar