Jumat, 26 November 2010

DUA PEKERJAAN RUMAH PSSI


Saya tersenyum ketika mengetahui ada buku berjudul Dosa-dosa Nurdin Halid yang dikarang penulis bernama Erwiyantoro. Separah itukah ketua umum organisasi sepak bola tertinggi negeri ini? Jika begitu, mengapa masih saja terjadi kisruh di tubuh PSSI? Mengapa masih diteruskan carut marut sepak bola tanah air? Jika sudah salah mengapa tidak diperbaiki?
Fair play adalah embrio sepak bola. Hendaknya semua orang yang terlibat dalam olahraga terpopuler di dunia ini memiliki sikap fair play ini. Bisa dimaafkan jika sebuah kesalahan dilakukan tidak sengaja. Tapi jika selalu membuat kesalahan? Wajib dikartu merah ataupun diskorsing!
Negara kita (katanya) menjunjung tinggi demokrasi. Rakyat adalah kuncinya. Tapi mengapa organisasi sepak bola tertinggi negeri ini seakan tutup mata dengan dua hal di atas? Fair play dan demokrasi.
Inikah demokrasi versi PSSI? Mungkin. Karena ini memang khusus demokrasi para punggawa PSSI saja. Bukan musyawarah yang melibatkan rakyat. Buktinya PSSI tidak pernah mendengar aspirasi rakyat. Itu masalah pertama. Sudah banyak kritik-kritik pedas yang tergores di media-media cetak baik media olahraga maupun media non olahraga. FIFA sebagai organisasi tertinggi sepak bola di kolong jagad tak digubris. Kasus PSSI sudah parah. Orang-orang di dalamnya masih menutup mata.
Masalah lain, sosialisasi PSSI sangat kurang terkait pembagian hak suara. Jangan salahkan kericuhan Kongres PSSI yang digelar di Hotel The Premier, Pekanbaru kemarin. Saya rasa PSSI perlu memperhatikan dua aspek di atas dalam bekerja. Jika tidak, saya yakin teman-teman pencinta sepak bola tetap mengajukan protes. Jangan salahkan kami nantinya, karena kami hanya ingin perbaikan di tubuh PSSI dan kebangkitan Macan Asia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar