Saya
tersenyum ketika mengetahui ada buku berjudul Dosa-dosa
Nurdin Halid yang dikarang penulis bernama Erwiyantoro. Separah itukah
ketua umum organisasi sepak bola tertinggi negeri ini? Jika begitu, mengapa
masih saja terjadi kisruh di tubuh PSSI? Mengapa masih diteruskan carut marut
sepak bola tanah air? Jika sudah salah mengapa tidak diperbaiki?
Fair play adalah embrio sepak bola. Hendaknya semua orang yang terlibat
dalam olahraga terpopuler di dunia ini memiliki sikap fair play ini. Bisa dimaafkan jika sebuah kesalahan dilakukan tidak
sengaja. Tapi jika selalu membuat kesalahan? Wajib dikartu merah ataupun
diskorsing!
Negara kita (katanya)
menjunjung tinggi demokrasi. Rakyat adalah kuncinya. Tapi mengapa organisasi
sepak bola tertinggi negeri ini seakan tutup mata dengan dua hal di atas? Fair play dan demokrasi.
Inikah demokrasi versi PSSI?
Mungkin. Karena ini memang khusus demokrasi para punggawa PSSI saja. Bukan
musyawarah yang melibatkan rakyat. Buktinya PSSI tidak pernah mendengar
aspirasi rakyat. Itu masalah pertama. Sudah banyak kritik-kritik pedas yang
tergores di media-media cetak baik media olahraga maupun media non olahraga.
FIFA sebagai organisasi tertinggi sepak bola di kolong jagad tak digubris.
Kasus PSSI sudah parah. Orang-orang di dalamnya masih menutup mata.
Masalah lain, sosialisasi
PSSI sangat kurang terkait pembagian hak suara. Jangan salahkan kericuhan
Kongres PSSI yang digelar di Hotel The Premier, Pekanbaru kemarin. Saya rasa
PSSI perlu memperhatikan dua aspek di atas dalam bekerja. Jika tidak, saya
yakin teman-teman pencinta sepak bola tetap mengajukan protes. Jangan salahkan
kami nantinya, karena kami hanya ingin perbaikan di tubuh PSSI dan kebangkitan
Macan Asia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar