Karya sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah
karya seni. Sastra merupakan segala sesuatu yang ditulis dan tercetak. Selain
itu, karya sastra juga merupakan karya imajinatif yang dipandang lebih luas
pengertiannya daripada karya fiksi (Wellek dan Warren dalam Anita, 2010).
Sebagai hasil imajinatif, sastra berfungsi sebagai hiburan yang menyenangkan,
juga guna menambah pengalaman batin bagi para pembacanya.
Karya sastra lahir dari kreasi pengarang untuk
mengungkapkan eksistensinya sebagai manusia yang berisi ide, gagasan, dan pesan
tertentu yang diilhami oleh imajinasi dan realitas sosial budaya pengarang
serta menggunakan media bahasa sebagai penyampaiannya. Kriteria utama yang
terdapat pada karya sastra adalah “kebenaran” penggambaran atau apa saja yang
ingin digambarkan pengarang ke dalam karyanya. Melalui penggambaran tersebut
pembaca dapat menangkap gambaran seorang pengarang mengenai dunia sekitarnya
yang sebenarnya merupakan mimesis dalam karya sastra.
Karya sastra membicarakan manusia dengan segala
kompleksitas persoalan hidupnya (Oktivita, 2009), maka antara karya sastra
dengan manusia berhubungan erat. Tri Sakti (2009) menyatakan
bahwa pada dasarnya antara sastra dengan manusia, dalam konteks luas adalah masyarakat
terdapat hubungan yang hakiki. Hubungan-hubungan yang dimaksud disebabkan oleh
(a) karya sastra oleh pengarang, (b) pengarang itu sendiri adalah anggota
masyarakat, (c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat dan,
(d) hasil karya itu dapat dimanfaatkan kembali oleh masyarakat.
Sastra sesungguhnya adalah sebuah pencerminan,
peniruan (mimesis) dari segi kehidupan yang di dalamnya tersurat dan tersirat
sikap, tingkah laku, pemikiran, tanggapan, imajinasi serta spekulasi tentang
manusia itu sendiri. Karya sastra sebagai sebuah mimesis dan hasil cipta
manusia selain memberikan hiburan juga sarat dengan nilai, baik nilai keindahan
maupun nilai-nilai ajaran hidup. Masyarakat dapat mengetahui nilai-nilai hidup,
susunan adat istiadat, suatu keyakinan, dan pandangan hidup orang lain atau
masyarakat melalui karya sastra.
Sebagai karya yang imajiner, fiksi menawarkan
berbagai permasalahan manusia dengan segala persoalannya, hidup dan kehidupannya.
Pengarang menghayati belbagai permasalahan tersebut dengan sungguh-sungguh yang
kemudian diungkapkan kembali melalui goresan fiksi sesuai dengan pandangannya.
Fiksi sendiri merupakan suatu karya sastra yang mengungkap realitas kehidupan
sehingga mampu mengembangkan daya imajinasi (Siti, 2009).
Membicarakan sastra yang memiliki sifat imajinatif,
kita berhadapan dengan tiga jenis (genre) sastra konvensional, yaitu
prosa, puisi, dan drama. Salah satu jenis prosa adalah novel. Novel sebagai
cerita tentang suatu pencarian yang tergradasi akan nilai-nilai yang otentik
adalah nilai-nilai yang mengorganisasikan dunia novel secara keseluruhan
meskipun hanya secara implisit tidak eksplisit (Goldman dalam Anita, 2010).
Novel sebagai salah satu produk sastra memegang peranan penting dalam
memberikan pandangan untuk menyikapi hidup karena persoalan yang dibicarakan dalam
novel adalah persoalan tentang manusia dan kehidupan sosial. Dewasa ini novel (dalam bahasa Italia novella) mengandung pengertian yang sama dengan istilah novelette
dalam bahasa Inggris, yang berarti sebuah karya prosa fiksi yang panjangnya
cukupan, tidak terlalu panjang, namun tidak terlalu pendek.
![]() |
cover novel Ayu Manda |
Novel Ayu Manda merupakan karya perdana dari
I Made Iwan Darmawan yang diterbitkan tahun 2010. Novel ini mengangkat tentang
masalah sosial terutama masalah cinta terlarang dalam perbedaan kasta. Pergulatan
kasta yang dibalut dalam romantika cinta begitu fasih didongengkan oleh mantan
pewarta foto ini.
Novel yang ditulis lelaki yang sempat mengenyam
pendidikan di Fakultas Film dan Televisi, Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini
menggunakan alur cepat, mengalir tapi tidak mengurangi detail cerita. Kehidupan
perempuan menghadapi poligami, pluralisme, pergulatan kasta romantik juga
kekerasan dilukiskan begitu indah tanpa melahirkan efek bosan karena isu ini
sebenarnya sudah berada dalam tahap kejenuhan. Novel debutan ini pun diakhiri
dengan sebuah keadaan yang sangat tidak terduga, yang bisa membuat pembaca
menduga duga, apakah akan ada kelanjutannya di novel novel berikutnya. Nilai
lebihnya terletak dari narasi yang digunakan tidak saja dari sudut pandang
normal, tapi juga dari sudut-sudut ekstrem yang tidak biasa, sehingga akan
dengan mudah kemudian pembaca mengetahui arsitektural sebuah puri, atau landcscape sebuah desa, lengkap dengan
fungsi masing-masingnya. Hal ini tidak lepas dari pengalaman seorang Iwan
Darmawan yang juga seorang fotografer.
Novel Ayu Manda merupakan novel
yang menarik untuk diteliti karena novel ini memiliki kelebihan yang terletak
pada cara penyajian ceritanya. Lain dari itu, novel debutan ini sangat detail
menggambarkan situasi Bali dengan adat, budaya serta konflik-konfliknya. Hingga
tidak perlu waktu lama bagi penikmat sastra untuk melirik novel ini, terbukti
banyak orang mengaji, menganalisis, bahkan menjadikannya topik skripsi. Jamak
novel lain yang mengangkat isu serupa tetapi masih kalah pamor dengan segala
“pesona” Ayu Manda.
Dalam novel Ayu
Manda ini, sistem kasta (tepatnya pergulatan kasta yang dibalut dalam
romantika cinta yang dianggap terlarang) yang tidak dapat diubah serta
keyakinan Hindu yang turun-temurun di Bali sangat fasih dituliskan oleh I Made
Iwan Darmawan. Novel Ayu Manda yang
masih tergolong “bau kencur” tapi sudah banyak “merampok” perhatian penikmat
sastra Nusantara membuat novel ini memiliki nilai lebih daripada novel-novel
dan karya sastra lain yang mengangkat isu serupa. Apalagi ada endorsement banyak penggiat dan penikmat
seni membuat peneliti menjatuhkan pilihan kepada novel yang diterbitkan oleh
Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo) dari Kompas-Gramedia ini.
wkwkwk... kau juga musti kunjungi blogku yow..haha.
BalasHapusapa namanya???
BalasHapusTulisan yang kereen :)
BalasHapusDari ini setidaknya sy tau bahwa sastra tak sekadar fiksi, namun lebih tepatnya imajinatif :) Menyebut sastra sbg fiksi akan memparadokskannya dgn realitas. Begitu?
haha ia pak, ini kata pak yasa, ketika kita melihat sastra dengan metode strukturalisme genetik maka jadinya seperti itu, sebenarnya yg saya poskan ini bagian dari tugas kuliah, :)
BalasHapusEmm...terlalu sederhana untuk analisis struktural genetik, semoga ini hanya ringkasan saja. Setahuku, ada enam konsep dasar yang membangun teori itu, mungkin Esa masih ingat? Jadi, untuk tulisan di atas penekanannya pada konsep yg mana? Salam
BalasHapusterimakasih sebelumnya utk p astika yg telah menyempatkan waktu utk mencermati tulisan ini, sekali lagi ini adalah latbel proposal saya pak. mengenai struktural genetik saya baru mengenalnya dan cukup tertarik sebenarnya pak. mungkin bapak bs berbagi ilmu di sini pak, agar tulisan ini bs lebih dari sebuah "ringkasan" :)
BalasHapusapakah bagiannya adalah dialektika dan pandangan dunia yg bapak magsud? saya lupa empat lainnya...eemm
BalasHapusMungkin bisa diskusi dengan Sueca,saya sempat baca tulisannya dan sudah mengutip Goldmann. Nah, jika pandangan dunia yg Esa maksudkan cobalah terangkan itu dalam analisisnya. salam
BalasHapus