![]() |
ilustrasi :) |
Peraturan-peraturan yang “aneh” terkait kembar
buncing ini memang sudah lama dihapuskan oleh Pemerintah di Bali melalui PERDA
NO. 10 TAHUN 1951 sejak tahun 1951, dan tidak lagi tercantum di awig-awig desa
adat. Tetapi beberapa daerah masih dipertahankan sampai sekarang. Beberapa contoh
masih dipermasalahkannya kembar buncing pasca dihapuskannya peraturan mengenai
kembar buncing bisa dilihat dari beberapa kasus ini.
Kasus kembar buncing di Desa
Padangbulia, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali tahun 2004 lalu
adalah contoh masih diberlakukannya peraturan “aneh” ini. Ketika itu, Nengah
Tarsa (34 th) dengan Ketut Susun (29 TH) beserta
bayinya dipindahkan dari rumah asalnya kesebuah rumah darurat diatas tanah
Banjar Adat yang terletak 800 meter sebelum kuburan.
Pun dengan sebuah
kelahiran bayi kembar di Desa Adat Lawak, Desa Belok-Sidan, Petang setahun
sebelum musibah yang menimpa keluarga Nengah Tarsa (Denpost, 25 Maret 2003).
Kembar buncing yang berorang tua Made Kandi dan Ketut Jinah harus melakukan
pecaruan besar yang sangat berat bagi keluarganya yang notabene hanya seorang
petani. Bagaimanapun, sangsi adat untuk membersihkan “leteh” di desanya itu
harus dijalankan. Kasus lain menimpa I
Wayan Artika penulis Novel Incest yang diadili oleh adat karna tulisannya pada
novel yang dianggap menceritakan aib desanya kepada publik. Yang kemudian,
penulis harus membayarnya dengan dikeluarkan dari desa tersebut, adalah contoh
nyata betapa kembar buncing masih menyimpan “kegelisahan” yang menyelimuti masyarakat
Bali.
Ini menandakan masalah kembar buncing masih aktual
dalam masyarakat Bali. Masalah ini pun menjadi topik yang diambil oleh banyak
pengarang di Bali, sebut saja I Wayan Artika (Incest), Wayan Sunarta (Kembar
Buncing) dan Ayu Suartini (Senja Pilu). Dalam penelitian ini peneliti mengambil
cerpen. Melakukan analisis karya sastra khususnya
cerpen tidaklah mudah, apalagi cerpen-cerpen bertema Bali, karena banyaknya
cerpen yang mengambil isu serupa dari belbagai sudut pandang yang dihasilkan
oleh sastrawan Bali (yang tinggal di Bali ataupun yang tinggal di luar Bali).
Salah satu cerpen yang mengangkat
fenomena ini, seperti sudah disebutkan di atas, adalah cerpen karya Wayan
Sunarta. Mengapa Sunarta? Karena cerpen Kembar Buncing karyanya sangat jelas menggambarkan
bagaimana “kegelisahan” masyarakat Bali merespon isu Kembar Buncing ini. Lain
dari itu, cerpen Kembar Buncing ini pun telah mendapat apresiasi dari harian
nasional Kompas. Sehingga dalam hal ini, tepatlah pilihan peneliti.
Masyarakat Bali dewasa ini sangat
fenomenal sebagaimana terekspresikan dalam cerpen (Manuaba, 2009). Cerpen yang
merupakan bagian dari karya sastra yang banyak sekali mengandung makna-makna
kehidupan tergantung tema apa yang diangkat. Ini terekspresi dalam karya
pengarang yang hidup dan mengalami dunia sosial Bali; dunia yang mengalami
ketegangan sosial dan kultural, baik berupa konflik-konflik yang terbuka maupun
yang terpendam. Selain itu, adanya kekurangberdayaan lembaga desa adat
(pekraman) dalam mengatasi berbagai konflik internal. Masyarakat Bali yang
berpandangan modern tidak lagi menerima begitu saja apa yang dipaksakan desa
adat (Ady dalam Manuaba 2009).
Fenomena sosial yang terwacanakan dalam
cerpen memperlihatkan tidak adanya perimbangan antara kenyataan masyarakat yang
mengalami perubahan sosial dan kultural dengan kemauan dan kemampuan masyarakat
untuk meresponnya. Kehidupan manusia harus mampu membangun tradisi yang sesuai
dengan taraf kehidupannya, karena tradisi tidak ajeg sepanjang masa. Tradisi yang usang dapat menyengsarakan
manusia di tempat tradisi itu ada (Manuaba, 2009).
Dunia sosial menjadi fenomena sosial
yang tengah terjadi yang menimbulkan “kegelisahan” di kalangan intelektual
muda Bali. Wijaya (2003) meyakini dunia
sosial Bali berada dalam kultur hegemoni adat. Atas keyakinan itu, ia memandang
penting menafsir ulang dunia sosial dalam kerangka kepentingan masa kini yang
dapat merangsang proses kreatif pengarang Bali menuliskan cerpen.
Kegelisahan inilah yang digambarkan oleh Wayan
Sunarta dalam Kembar Buncing.
“Maafkan
kelancangan saya, Pak Klian. Saya hanya mohon penjelasan kenapa sanksi adat
mengenai bayi kembar buncing belum juga dihapuskan di desa ini, sementara
pemerintah telah melarangnya puluhan tahun lalu?” (Kembar Buncing, Wayan Sunarta).
Sistem sosial merupakan perangkat unsur sosial yang
saling berkaitan dan berbentuk suatu totalitas serta dipahami sebagai susunan
komponen-komponen sosial yang terjalin dengan sangat erat. Menurut Person
(dalam Ritzer dan Douglas, 2003) dalam sistem sosial pada cerpen pengarang Bali
sering muncul pengelompokan sosial yang didalamnya terdapat himpunan manusia.
Dalam cerpen Kembar Buncing muncul kelompok sosial yang tak terdidik yang
digambarkan melalui kelompok banjar dan kelompok terdidik seperti tokoh Darsa. Darsa
inilah yang dilukiskan sebagai kelompok yang sudah berpikiran modern. Di
sanalah muncul penolakan terhadap awig-awig
yang merupakan aturan turun temurun dari desa itu.
“Peraturan
ini sudah tersurat dalam awig-awig desa jauh sebelum saya atau kamu lahir.
Awig-awig ini sudah di-pasupati. Jadi, kita tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali
mematuhinya.” (Kembar Buncing, Wayan
Sunarta)
Sebagai kaum terdidik, tokoh Darsa tidak menyetujui
sangsi terhadap kembar buncing ini, inilah akar permasalahannya.
Cerpen adalah karya yang dapat menangkap
pengalaman khas proses modernisasi yang berlangsung pada masyarakat dan
kebudayaan Bali yang mungkin saja tidak terdapat pada masyarakat etnis lain di
Indonesia. Inilah alasan mengapa cerpen yang peneliti gunakan. sebagai subjek
penelitian serta teori strukturalisme genetik sebagai objeknya.
Pemahaman karya sastra
yang didasarkan pendekatan strukturalisme genetik tidak mungkin dilakukan tanpa
pertimbangan faktor-faktor sosial yang melahirkannya sebab faktor-faktor
tersebut memberi kepaduan pada struktur karya sastra. Faktor-faktor sosial itu
adalah norma-norma atau nilai-nilai yang diambil dari masyarakat yang sudah
dibingkai menurut fakta dalam struktur sosial. Oleh karena itu, pendekatan
strukturalisme-genetik mengnggap karya sastra sebagai semesta tokoh-tokoh,
objek-objek, dan relasi-relasi secara imajiner (Goldmann,1981: 55-74).
Ini tulisanmu sendiri? Hebat sudah membaca Goldmann. Salam
BalasHapusini latbel proposal tugas dari p yasa sebenarnya pak, hehe mengenai Goldmann, beliau yang memberi tahu teorinya. makasi bapat telah meluangkan waktu membaca tulisan ini :)
BalasHapus