Sejumlah
bupati/wali kota kini semakin banyak yang ikut campur dalam pengangkatan,
pemindahan, pemerhentian kepala sekolah dan tentu saja kepala dinas sampai
penerimaan siswa baru. Mengerikan. Dunia pendidikan kini dipolitisasi. Otonomi
daerah disalahgunakan. Cepat atau lambat hal itu akan mengancam kualitas
pendidikan nasional.
Beberapa
tahun yang lalu ayah saya yang seorang guru ditugaskan menjadi KPU pemilihan
kepala desa. Karena pekerjaan dadakan itu, ayah hampir saja dipindah tugaskan
ke daerah pelosok di kabupaten tempat kami tinggal. Seorang anggota DPR menekan
ayah agar memenangkan salah satu calon pada pemilihan kepala desa itu. Jika
dipikir-pikir, apa hubungan ayah saya yang seorang guru bisa dipindah seenaknya
hanya karena malah politik. Memang tidak ada hubungannya tapi pemindahan itu
bisa saja terjadi dalah waktu kurang dari 48 jam. Inilah hanya contoh kecil
“kesaktian” otonomi daerah yang berlaku di dunia pendidikan.
Dunia
pendidikan nasional ibarat pencetak teroris. Ekstrim memang. Tapi itulah
kenyataannya. Politisasi dalam pendidikan menyebabkan orang-orang yang tidak
berkopeten mendapat kedudukan. Dalam kasus pengangkatan kepala sekolah,
misalnya. Kita butuh pemimpin-pemimpin dalam pendidikan yang memiliki wawasan
dan menguasai betul soal pendidikan, sehingga dalam perjalanannya bisa
mengambil solusi-solusi terbaik dari permasalahan yang dihadapi. Jika pemimpin
yang diangkat karena mempunyai kedekatan dengan pejabat dan yang bersangkutan
tidak memiliki latar belakang, pengalaman, dan pemahaman tentang pendidikan
terpilih maka bisa dilihat seperti apa kerja mereka. Jika hal serupa terjadi
pada guru, seperti yang jamak terjadi, alamat berbahaya bagi masa depan anak
didiknya. Bagaimana jadinya jika seorang guru yang “beruntung” karena menjadi
tim sukses sang bupati terpilih, ia hanya mempunyai modal pengalaman menjadi
tukang judi kelas kakap, tidak ada pengalaman mendidik akhirnya menjadi guru?
Intervensi
pemerintah kabupaten/kota terhadap sekolah juga terjadi pada kelulusan siswa.
Sejumlah kepala biasanya diberi target tertentu dalam kelulusan siswa. Jika
tidak memenuhi target, kelapa sekolah biasanya dimutasi atau diberhentikan dari
jabatannya. Kepentingan politik kini mengintervensi dunia pendidikan. Jika kepala
sekolah sudah diintervensi, selanjutnya apa yang terjadi? Kepala sekolah akan
menekan guru untuk mencapai target kelulusan itu tanpa memperdulikan cara yang
ditempuh. Akibatnya guru tidak tenang dalam mengajar, karena beban yang begitu
berat.
![]() |
ilustrasi :) |
Ia
ingin membongkar kecurangan itu dengan melaporkannya kepada penguasa di
daerahnya. Ia sangat tidak terima anaknya diajak berbuat curang. Malang
nasibnya, perjuangan menegakkan kejujuran yang dilakukannya membentur batu
besar yang akhirnya menindih dia dan keluarganya. Siami diserbu masyarakat.
Siami bak pahlawan kesiangan bagi mereka. Kisah selanjutnya, siami dan keluarga
diusir warga. Sangat ironis.
Alif
anak Siami baru duduk di bangku sekolah dasar. Inilah cerminan pendidikan
nasional, sedari SD anak sudah diajarkan menjadi teroris. Ini tidak bisa
dilepaskan pada sistem pendidikan kita yang mengukur prestasi anak semata dari
hasil ujian dan ulangan semata. Pun hanya mengandalkan proses, karena bisa saja
proses itu hanya dijadikan kedok. Padahal ada udang di balik batu. Terbaik
adalah melihat secara keseluruhan, proses dan evaluasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar