![]() |
ilustrasi :) |
Sejak
zaman kepemimpinan Nurdin Halid sampai sekarang kepemimpinan Djohar Arifin,
induk sepak bola negeri ini menggunakan ego golongan untuk memutar sepak bola
di tanah air. Ketika kepemimpinan Nurdin Halid, LSI (Liga Super Indonesia)
adalah liga yang resmi dan LPI (Liga Primer Indonesia) menjadi liga tandingan
dan merupakan liga yang tak resmi karena tidak satu garis kordinasi dengan
PSSI. Berbalik dengan keadaan sekarang, ketika Djohar Arifin (yang tidak lain
adalah antek-antek Arifin Panigoro, penggagas LPI) memimpin PSSI. Ia “melegalkan”
LPI menjadi liga dengan kasta tertinggi PSSI dan mengubah status LSI menjadi
liga illegal. PSSI pun mengalami kemelut berkepanjangan sampai detik ini.
Klub-klub peserta liga terpecah.
Persib
Bandung mengikuti dua liga yang berbeda ini dengan nama sama tetapi berbeda
kepengurusan. Begitu pun dengan Arema Indonesia, Persija, dan beberapa klub
lain. Satu klub menjadi dua klub yang berlaga di dua liga yang berbeda. Mereka
memiliki “keyakinan” masing-masing tentang liga yang “legal” dan layak mereka
ikuti. Makin hari, makin kisruh saja. PSSI kisruh, merembet ke perpecahan di
kubu klub anggota liga. Dualisme liga memengaruhi dualisme klub-klub yang
terjadi. Klub-klub LSI dipaksa untuk ke LPI, klub LSI menolak mentah-mentah.
Mereka masih menganggap LSI sebagai liga kasta tertinggi yang legal dan diakui
FIFA (Federasi Sepak Bola Dunia) di Indonesia walaupun PSSI berpandangan
sebaliknya. Akar permasalahannya adalah ego masing-masing pemimpin yang
seakan-akan menjadi “titah” yang diamini oleh batang tubuh PSSI.
Andai
saja mereka tak mementingkan ego masing-masing dan kedua belah pihak mau
melebur, kemelut di PSSI tak akan terjadi sampai hari ini. sampai detik ini
PSSI masih menggunakan kekuasaan dan “legalitas” dari FIFA. Masalah legalitas
ini sebenarnya hanya akal-akalan PSSI saja. Mereka memaksakan kehendak dengan
mengandalkan statuta FIFA. Hal ini justru memperkeruh keadaan. PSSI tidak
pernah secara jelas menerapkan apa yang ada dalam statuta itu. PSSI juga
terkadang menginterpretasi sendiri aturan FIFA yang sewaktu-waktu dibelokkan
demi “memperlancar” ego mereka.
Ego
para pengurus PSSI ini sudah jelas terlihat dari kelakuan-kelakuan mereka itu.
Hendaknya PSSI dan PT Liga Indonesia yang membawahi LSI yang sebenarnya bagian
dari PSSI dulunya, segera melakukan pembicaraan untuk memecahkan kemelut yang terjadi.
Pihak-pihak yang berkonflik ini harus benar-benar memikirkan kepentingan sepak
bola Indonesia, seperti yang mereka teriakkan selama ini. Apakah mereka
benar-benar ingin memajukan sepak bola negeri ini atau malah menghancurkannya?
Harus ada kompromi untuk menghentikan kemelut ini.