Orang tua disebut
teladan karena memang bisa menjadi contoh. Ini disebabkan karena para orang tua
telah lebih dahulu mengalami. Teladan keutamaan hidup perihal nilai-nilai yang
mewujud dalam prilaku sehari-hari. Mengingat zaman digital ini makin jamak
bahtera keluarga yang karam karena krisis keteladanan. Mata anak-anak yang
masih bening, dipaksa merekam perilaku kasar, kejadian-kejadian sengit itu akan
disimpan si anak hingga dewasa. Kelak, anak-anak seperti ini cenderung
mengalami masalah dengan mentalnya. Journal
of Epidemiology and Community Health telah membuktikannya.
Suatu hari saya melihat
seorang anak manja, yang dengan ‘tidak merasa bersalah’ berteriak-teriak di
keramaian pusat perbelanjaan. Lalu beberapa waktu berikutnya, saya bertemu anak
yang tidak bisa ‘diam’ ketika diajak ke sekolah oleh orang tuanya yang
kebetulan seorang guru. Si anak berlari kesana-kemari di lobi sekolah,
meloncat-loncat, hingga mencolak-colek siswa yang sedang berjalan tidak jauh dari
anak itu bermain. Dan dengan sok akrabnya si anak menyentuh barang-barang yang
ditemuinya disepanjang sekolah. Sepertinya wajar-wajar saja, tapi tidak dari
kacamata saya.
Terkadang si orang tua
hanya berkata, “Namanya juga anak-anak”. Katanya lagi, perbuatan yang dilakukan
si anak adalah sebuah wujud kesehatan jasmani. “Itu tandanya anak sehat,” jelas
si orang tua. Baiklah, batin saya. Sayapun hanya bisa mengganggung-angguk tetapi
hati saya belum terpuaskan dengan jawaban enteng
itu.
Orang tua seperti itu
biasanya tidak merasakan bagaimana kesalnya lingkungan sekitar terhadap ‘kesehatan’
anaknya. Jika boleh saya sarankan kepada para orang tua yang budiman,
berhati-hatilah ketika berbicara. Jangan menggampangkan sesuatu hanya karena
anda belum sempat merasakannya. Saya pikir, anak seperti itu tanggung jawab
didikan orang tua.
Bukankah ada ungkapan, yang
sudah lama kita kenal, buah tidak akan jatuh dari pohonnya. Pun dengan ungkapan
bahasa Inggris yang berbunyi like father,
like son. Kedua ungkapan itu kurang lebih memiliki makna yang sama yaitu
anak adalah cerminan jiwa orangtuanya. Selama melakoni kehidupan ini, kenyataan
inilah yang saya temui.
Cerita lainnya ketika
melihat seorang anak yang tidak bisa diam, berlari kesana-kemari. Naik turun
tangga rumah tanpa mendengar teriakan orang tuanya. Saya pikir, pantas saja. Wong orang tuanya hanya mengatakan “Jangan
nakal, dek”, itupun dari kejauhan. Saya paling jengkel dengan orang tua yang
terlalu mengganggap remeh ‘keaktifan’ sang anak. Anak ‘sehat’ itu tidak seperti
itu kok.
Saya memang belum menjadi
orang tua, tetapi itulah yang dapat saya simpulkan dari kegeraman saya kepada
anak-anak yang menularkan sikap jelek orang tuanya. Entah karena orang tua si
anak tidak bisa mendidik anak. Atau karena pengaruh lain. Dan saya pun tidak
bermaksud menggurui para orang tua yang sudah berpengalaman itu. Tapi sebaiknya
coba renungkan kejadian-kejadian yang saya temui ini. Apakah anda termasuk di
dalamnya?
Apakah
anda membiarkan anak anda mengambil barang-barang sembarangan di tempat anak
bermain? Apakah bakat (maaf) judi yang anak anda miliki sekarang adalah warisan
anda? Apakah kebiasaan anak anda yang merokok dan mabuk-mabukan adalah contoh
yang pernah anda perlihatkan, secara langsung maupun tidak. Walaupun sang anak
mungkin saja mengalami ‘pendidikan’ negatif itu dari lingkungan sekitar atau
teman sepermainnya. Tapi inipun masih bisa diperdebatkan.
Pernahkah anda berpikir
atau setidaknya merasa agak bersalah ketika (misalnya) merokok di depan anak
sendiri. Dan saya yakin seketika itu, ketika usia sang anak sudah memungkinkan
untuk berpikir logis, si anak pasti berpikir begini. “Bapak saja boleh merokok,
saya juga boleh dong”. Pun dengan hal-hal negatif lainnya. Karena pada
dasarnya, hal-hal negatif sangat gampang untuk ditiru. Karena anak-anak belajar
dan melihat lingkungan di mana dia berada, terutama dari keluarga. Bersama keluargalah
anak menghabiskan waktu paling banyak.
Saya merasakan ketika
anak-anak, saya memiliki sifat pemalu, agak penakut ya..karena bapak saya
kurang lebih juga bersifat seperti itu. Dan saya pun tidak bisa protes mengapa
saya menjadi anak yang pemalu dan agak penakut sampai saat ini. Anak nakal itu,
saya pikir tidak wajar dan tentunya tidak sehat. Jangan sampai hasil mendidik
di masa kecil akan menjadi bumerang untuk anak dan anda sebagai orang tua di
masa mendatang.
Tetapi, lebih bagus
jika seorang anak bisa menepis ungkapan buah tidak akan jatuh dari pohonnya
atau ungkapan yang berbunyi like father,
like son itu. Khususnya terkait hal-hal yang bersifat begatif. Jika yang
terjadi adalah ‘pewarisan’ sifat-sifat maupun bakat-bakat positif sang orang
tua, tentu akan lain persoalannya. Dan tentunya tidak akan muncul kritikan
seperti yang saya tulisakan di atas. Yang muncul mungkin saja pujian-pujian
yang kira-kira berbunyi seperti ini. “Sebagaimana ayahnya, Wayan pun memiliki
darah seorang seniman”. Atau seperti ini, “Untung ya, Wayan tidak ‘mewarisi’
bakat ayahnya yang korupsi itu”.
![]() |
ilustrasi |
Sebagai generasi yang
pintar hendaknya bisa mendobrak budaya-budaya jelek yang telah lama dijaga oleh
para orang tua kita. Ingatlah, di dunia ini tidak ada hal negatif yang bisa
melahirkan sesuatu yang positif. Janganlah menjadi buah yang selalu jatuh dekat
dari pohon. Jadilah buah yang jatuh agak jauh dari pohon lalu tumbuh menjadi
pohon yang lebih besar dari pohon yang ‘melahirkanmu’.
Jadi kembali saya
ingatkan kembali kepada para orang tua. Janganlah suka berbohong jika tidak
ingin dibohongi oleh anak sendiri. Janganlah suka mabuk-mabukkan jika tidak
ingin anak anda ‘mewarisinya’. Begitupun dengan para pemimpin negeri ini,
janganlah memberikan contoh korupsi kepada generasi muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar