![]() |
ilustrasi :) |
Ada banyak faktor yang bisa kita telusuri terkait masalah di
atas. Karena jebloknya nilai ujian nasional terjadi secara umum (banyak),
berarti bukan karena pribadi, tetapi mungkin memang soalnya benar-benar sulit.
Proses pembelajaran di kelas kurang efektif, kurikulum yang disajikan, atau
faktor buku, dan bisa saja kemampuan gurunya yang kurang. Jujur saja, ini
masalah yang cukup pelik. Semua pihak hendaknya mencari solusinya.
Negara Indonesia terdiri dari berbagai suku yang tinggal di
beberapa pulau. Negara Indonesia memiliki bahasa persatuan yaitu bahasa
Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan sangat penting
kedudukannya dalam kehidupan masyarakat. Sekretaris Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional Yeyen Maryani sempat berujar,
rendahnya sikap positif masyarakat terhadap mata pelajaran bahasa Indonesia
membuat mata pelajaran tersebut menjadi kalah bergengsi dengan mata pelajaran bahasa
Inggris. Apa implikasinya? Terbukti masyarakat lebih prestisius menggunakan
bahasa asing. Bahasa Indonesia masih diremehkan.
Sebagai bahasa sehari-hari, bahasa Indonesia seharusnya terus
berkembang pesat, terutama yang terkait dengan proses pembelajaran. Atas dasar
itu, para siswa dan tenaga pengajar mata pelajaran bahasa Indonesia harus terus
diberikan buku-buku yang mendukung proses pembelajaran dan pemahaman pada mata
pelajaran tersebut dan guru pun harus tetap aktif menuntun. Peran para guru cukup
berat jika benar-benar mengerjakan “tugas” mereka. Tetapi nyatanya di lapangan
masih banyak guru yang “malas”. Jamak guru yang tidak fokus terhadap tugas
mereka dalam mengajarkan bahasa Indonesia itu. Jamak guru yang lebih mementingkan
pendidikan “lanjut” nya sehingga siswa-siswanya ikut menggarap tugas-tugas
ataupun penelitian-penelitian sang guru. Masuk akal memang, karena tuntutan
dari dunia pendidikan membuat aturan demikian. Tidak salah memang jika
diterapkan pada dosis yang sesuai, tapi penulis pikir hal ini sangat salah. Ini
merupakan masalah yang cukup berkembang akhir-akhir ini.
Jika terjadi hal-hal seperti ini terus proses pembelajaran
pasti akan sangat terganggu. Jika sang guru “meminta bantuan” pada siswanya
dengan dalih untuk nilai tugas akhir atau tugas tengah semester, mengapa para
siswa membatin, mencak-mencak. Tugas ini tidak benar. Harusnya siswa bisa
menikmati tugas yang diberikan berapa pun kadar kesulitannya jika memang tugas
itu mencerminkan apa yang sedang siswa pelajari. Bagi para guru maupun calon
guru kelak agar memperhatikan jeritan-jeritan hati siswa. Ketidaknyamanan siswa
dalam belajar akan sangat menghambat pelajaran menerobos dinding-dinding otak
siswa. Jawabannya, bagaimana cara guru membuat suasana belajar siswa menjadi nyaman.
Tidak zaman seorang guru pura-pura galak. Jangan menjadi guru yang ditakuti
siswa, tetapi jadilah guru yang disegani siswa.
Kembali kepada rendahnya minat kepada bahasa Indonesia yang
sebenarnya sudah diajarkan kepada siswa dari jenjang kelas 1. Dalam UU Nomor 24
Tahun 2009 dijelaskan tentang bagaimana kita harus mengutamakan jati diri
dengan menggunakan bahasa Indonesia. Di Indonesia kita melihat kurang ada
kebanggaan menggunakan bahasa Indonesia, terutama di kalangan cendekiawan.
Dalam pidato para pejabat, termasuk Presiden SBY, sering kali digunakan bahasa
Inggris. Kita juga gemar mengambil alih kata bahasa Inggris dan menjadikannya
kata dalam bahasa Indone- sia. Mungkin karena malas atau karena gemar (sok
berbahasa Inggris). Padahal, ada kata padanan untuk kata-kata yang diserap itu.
Contohnya kata arogan, disparitas, kondusif, klir. Padahal, arrogant tak lain tak bukan ’sombong’; disparity itu ’perbedaan’; conducive for ’mendukung untuk’; clear ’jernih’ atau ’jelas’. Masih
banyak lagi kata-kata Inggris yang sering digunakan oleh para cendekiawan kita
dalam kegiatan sehari-hari. Kita berharap pers ikut di dalam kegiatan
mengurangi penggunaan kata-kata Inggris dalam percakapan sehari-hari.
Untuk hal-hal seperti di atas berterimakasihlah pada pers.
Pers atau media massa berperan besar memasyarakatkan penggunaan bahasa
Indonesia yang baik dan benar. Banyak siswa meremehkan pelajaran bahasa
Indonesia. Buat mereka, mata pelajaran bahasa Indonesia tak terlalu penting.
Asal kita mampu bicara bahasa Indonesia, sudah cukup. Lebih miris lagi jika
melihat kenyataan bahwa jurusan kita di Undiksha ini menjadi jurusan “buangan”.
Bisa dibuktikan, berapa siswa jurusan kita yang memang menempatkan bahasa
Indonesia pada pilihan pertama mereka saat test masuk, baik SMNPTN maupun PMJL.
Mereka “lari” ke Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra tercinta ini agar bisa
saja kuliah di sini.
Tapi jika memang bersungguh-sungguh hal itu tidak masalah.
Terpenting ada kesungguhan dari guru atau dosen dan siswa atau mahasiswa dalam
menyikapi ini. Anggap saja sudah terlanjur basah. Tidak ada yang bisa menebak
nasib orang kan? Hidup memang sebuah pilihan.
Bagaimana dengan kenyataan masyarakat atau kalangan pendidik
dan terdidik itu? Dalam kenyataan, kemampuan mereka berbahasa Indonesia kurang
baik, padahal kemampuan itu amat dibutuhkan untuk bisa maju, baik sebagai
pribadi maupun sebagai bangsa. Butir ketiga Sumpah Pemuda yang pernah kita
anggap sebagai salah satu kebanggaan bangsa mulai meredup. Kita perlu tumbuhkan
kembali kebanggaan itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar