Oleh I Wayan Artika
![]() |
cover novel Incest |
Incest adalah kisah fiksi I Wayan Artika, seorang penulis kelahiran
Tabanan, Bali, yang akhirnya harus diadili oleh adat karna tulisannya yang
dianggap menceritakan aib desanya kepada publik Yang kemudian, penulis
harus membayarnya dengan dikeluarkan dari desa tersebut selama beberapa tahun.
Berawal dari ketertarikan saya pada seorang penulis asal pulau kecil tang kebetulan juga sama dengan tanah kelahiran saya. Selanjutnya saya makin tertarik dengan latar belakang cerita, yang mengisahkan sebuah adat Hindu (saya memang selalu tertarik dengan Bali :), yang masih mengadopsinya dengan adat istiadat masyarakat Hindu pada masa pemerintahan raja-raja Bali. Pulau Bali, pulau yang hingga kini menyimpan begitu banyak keunikan adat istiadat, menyimpan begitu banyak cerita. Pulau yang hingga kini membuat saya selalu ingin tahu apapun itu., seakan akan pulau ini walau kecil tak akan habis digali dan dieksplorasi. Dalam novel inilah saya, menemukan sebuah tulisan fiksi yang begitu menggugah, dan mencoba menuturkan dengan halus tentang pemahaman masyarakat Bali tentang adat yang belum sepenuhnya dimengerti. Dan menuturkan dengan indah, sebuah pengorbanan seorang ibu dan ayah yang harus mengikuti adat yang sama sekali tak pernah dimengerti.
Incest berkisah tentang sepasang kembar buncing–kembar laki laki dan perempuan–Geo Antara dan Gek bulan, terlahir di Jelungkap. Sebuah desa kecil di Bali bagian utara. Bagi masyarakat Jelungkap, kelahiran mereka, sepasang bayi kembar buncing, merupakan sebuah pertanda buruk dan juga merupakan sebuah aib bagi Jelungkap. Namun ketika ditanya kembali alasannya, Jelungkap tak mampu menjelaskan alasannya.
Geo Antara dan Gek Bulan, mereka tak pernah ingin terlahir sebagai kembar buncing, yang kemudian menjalankan sebuah sanksi adat karna kelahiran itu. Dan begitu saja adat seperti tak pernah mengenal belas kasihan, mereka harus menjalankan adat tersebut tanpa harus tau dan memahami terlebih dahulu apa maksud adat tersebut. Dalam novelnya, penulis menuturkan bagaimana prosesi adat yang harus dijalani oleh keluarga yang memiliki anak kembar buncing… saya sempat bertanya pada beberapa tetua di sekitar saya, prosesi adat itu, dulu memang ada, namun seiring dengan modernisasi, dan penghapusan dari UUD sejak tahun 1951 perlahan adat tersebut dipermudah, dan hanya dijadikan sebuah simbol saja. Bukan bermaksud untuk memangkas nilai sakral dari adat tersebut, namun lebih kepada bagaimana adat tersebut diperuntukkan dan dimengerti oleh masyarakat Hindu.
Berawal dari ketertarikan saya pada seorang penulis asal pulau kecil tang kebetulan juga sama dengan tanah kelahiran saya. Selanjutnya saya makin tertarik dengan latar belakang cerita, yang mengisahkan sebuah adat Hindu (saya memang selalu tertarik dengan Bali :), yang masih mengadopsinya dengan adat istiadat masyarakat Hindu pada masa pemerintahan raja-raja Bali. Pulau Bali, pulau yang hingga kini menyimpan begitu banyak keunikan adat istiadat, menyimpan begitu banyak cerita. Pulau yang hingga kini membuat saya selalu ingin tahu apapun itu., seakan akan pulau ini walau kecil tak akan habis digali dan dieksplorasi. Dalam novel inilah saya, menemukan sebuah tulisan fiksi yang begitu menggugah, dan mencoba menuturkan dengan halus tentang pemahaman masyarakat Bali tentang adat yang belum sepenuhnya dimengerti. Dan menuturkan dengan indah, sebuah pengorbanan seorang ibu dan ayah yang harus mengikuti adat yang sama sekali tak pernah dimengerti.
Incest berkisah tentang sepasang kembar buncing–kembar laki laki dan perempuan–Geo Antara dan Gek bulan, terlahir di Jelungkap. Sebuah desa kecil di Bali bagian utara. Bagi masyarakat Jelungkap, kelahiran mereka, sepasang bayi kembar buncing, merupakan sebuah pertanda buruk dan juga merupakan sebuah aib bagi Jelungkap. Namun ketika ditanya kembali alasannya, Jelungkap tak mampu menjelaskan alasannya.
Geo Antara dan Gek Bulan, mereka tak pernah ingin terlahir sebagai kembar buncing, yang kemudian menjalankan sebuah sanksi adat karna kelahiran itu. Dan begitu saja adat seperti tak pernah mengenal belas kasihan, mereka harus menjalankan adat tersebut tanpa harus tau dan memahami terlebih dahulu apa maksud adat tersebut. Dalam novelnya, penulis menuturkan bagaimana prosesi adat yang harus dijalani oleh keluarga yang memiliki anak kembar buncing… saya sempat bertanya pada beberapa tetua di sekitar saya, prosesi adat itu, dulu memang ada, namun seiring dengan modernisasi, dan penghapusan dari UUD sejak tahun 1951 perlahan adat tersebut dipermudah, dan hanya dijadikan sebuah simbol saja. Bukan bermaksud untuk memangkas nilai sakral dari adat tersebut, namun lebih kepada bagaimana adat tersebut diperuntukkan dan dimengerti oleh masyarakat Hindu.
Dalam novel
ini, Incest menuturkan dengan sangat jeli, bagaimana masyarakat
Jelungkap, dengan konsep pemikiran yang sederhananya, menerima dan
melakoni sebuah prosesi upacara pembuangan keluarga bayi kembar buncing
selama empat puluh dua hari ke sebuah tempat yang mereka namai Lanking
Langkau, sebuah tempat yang letaknya berdekatan dengan setra desa
Jelungkap. Kemudian ketika sepasang bayi kembar tersebut belum saling
mengenal, mereka harus dipisahkan satu dengan lainnya, yang kemudian di
suatu masa yang tak terhitung dari sekarang. Mereka dipertemukan
kembali, tanpa mengetahui masalalu mereka yang terlahir dari satu rahim.
Kemudian diikat dalam tali pernikahan. Dan prosessi inilah yang mereka
yakini dari masa silam mereka, oleh sesuwunan mereka, menjadi keharusan
untuk dijalankan. Lalu yang terjadi malah kebalikannya, Jelungkap
membayar tuduhan tersebut dengan malu, barangkali inilah aib yang
sesungguhnya, karna sebelum kembar buncing itu dinikahkan, mereka
mengetahui apa yang telah jelungkap lakukan pada masa silamnya, pada
pembuangnya, pada rencana Jelungkap untuk menikahkan bayi kembar buncing
tersebut di masa mendatang. Jelungkap tak bisa berkata apa-apa, Kini
sepasang Bayi buncing yang dimasa silam dituduhkan adalah aib untuk
Jelungkap, membuat Jelungkap membisu karna bayi kembar buncing tersebut
saling jatuh cinta.
Sebuah kesimpulan yang saya dapat adalah, bahwa ketika kita tidak sama sekali melakukan pembenahan
terhadap pola pikir kita yang masih sangat jauh kebelakang. maka akan terjadi hal-hal seperti di atas Tidak
bermaksud memfonisnya, namun kita harus mulai membuka mata untuk
menyadari apa yang sebenarnya terjadi, bukan hanya akan menurut dengan adat yang kita lakoni, yang memang telah ada sebelum tanah ini lahir, apalagi sudah dikuatkan dengan upacara pasupati, namun menelaah dengan
seksama, maknanya. Jangan sampai kita masyarakat Hindu
menelan bulat-bulat adatnya tanpa memahami apa yang sebenarnya menjadi
tujuan dari tetua kita terdahulu, tentang adat itu sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar