Kamis, 28 Juni 2012

Bali Cantik Tanpa Sampah Plastik

Kantong plastik adalah barang konsumen nomer satu di dunia. Kantong-kantong kresek tersebut sering dipakai hanya selama beberapa menit tapi dapat mencemari lingkungan selama lebih dari 1000 tahun. Menurut salah satu sumber internet yang say abaca, di seluruh dunia, sekitar 2 milyar kantong plastik dibuang setiap hari dan 26.000 ton sampah plastik masuk lautan tiap harinya.
Permasalahan sampah di Bali ibarat bom waktu. Seperti diberitakan harian Bali Post, 24 April 2012 yang lali, dari 10 ribu meter kubik sampah per hari yang diproduksi Bali, lebih dari 50% yang tidak tertangani dan tercecer. Dari seluruh sampah yang ada, 10 - 12 persen merupakan sampah plastik dan hanya sebagian kecil yang mampu dikelola dengan baik. Dengan kondisi itu, deklarasi ''Bali Bebas Sampah Plastik 2013'' terancam gagal terealisasi.
Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup (PPLH) Universitas Udayana Dr. Ir. Wayan Arthana, M.S., pernah mengakui banyak kendala untuk mewujudkan program Bali bebas sampah plastik itu. Permasalahan pertama adalah tingkah laku masyarakat yang belum sadar bahwa sampah plastik berbahaya bagi lingkungan. Selain itu membuang sampah sembarangan masih bagian dari tingkah laku masyarakat yang belum mampu dikendalikan.
Kedua, penggunaan plastik terus diwacanakan untuk dikurangi tetapi buktinya sampai saat ini faktor-faktor yang mensubstitusi penggunaan sampah plastik belum banyak terjadi. Bali juga tidak bisa hanya menyatakan bebas sampah plastik di permukaan saja, sedangkan di dalam tanah masih banyak sampah plastik.
Sesungguhnya tidak ada sesuatu yang sulit untuk dikerjakan, terpenting ada niat dan kesungguhan dalam mengerjakannya. Tentunya perlu sedikit kesabaran karena tak ada hal yang memuaskan terlahir dengan instan. Perlu adanya proses yang panjang. Saya bersama teman-teman ingin membuktikan mewujudkan program Bali bebas sampah plastik tidaklah sesulit yang terpikirkan.
Mari memulai dari diri sendiri, mulai dari lingkungan sekitar. Lakukanlah untuk diri kita, setidaknya hal ini akan berdampak lingkungan kita. Walaupun nanti tidak banyak orang yang perduli dan mengikuti gerakan kita. Yang kita lakukan tidaklah sia-sia. Berbekal tekad itulah, saya bersama dengan teman-teman semester 6 jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Undiksha mencoba melakukannya. Selasa, 26 Juni 2012 kami melalukan gerakan sekala kecil yang menyasar sampah plastik, didampingi dua dosen kami, Pak Wayan Artika dan Pak Dewa Budi Utama, yaitu go clean di area eks Pelabuhan Buleleng. Go clean kami dimulai pukul 17.00 Wita sampai 17.30 Wita dengan berbekal kresek ukuran sedang untuk menampung sampah-sampah plastik itu. Dalam waktu 30 menit itu, kami mendapatkan kurang lebih 50 kresek sedang sampah plastik.
Mengapa eks Pelabuhan Buleleng? Ini hanyalah salah satu contoh tempat terdekat dengan kami yang hendaknya perlu dijaga kebersihannya bersama-sama. Kebetulan eks Pelabuhan Buleleng ini dekat dengan lokasi kami.
Saya menyadari, pekerjaan membersihkan sampah apalagi di area tempat wisata seperti eks Pelabuhan Buleleng ini sudah dilakukan oleh petugas terkait, tapi belumlah cukup. Hasil pungutan sampah kami buktinya. Jadi kita tidak harus menggantungkan kewajiban bersih-bersih ini pada petugas itu saja. Kita pun harus ikut perduli dan ambil bagian dalam menjaga kebersihan lingkungan dari sampah, terutama sampah plastik. Mengingat bahaya dan dampak yang akan ditimbulkan bagi bumi ini.
Bali bebas sampah plastik 2013 jangan dimaknai Bali harus segera bebas sampah plastik, tetapi bagaimana sampah plastik ini secara bertahap bisa terkumpul, terpilah, terkelola, dan tersalurkan dengan baik. Ke depan diharapkan semua masyarakat berkomitmen agar masalah sampah plastik menjadi masalah bersama. Ini baru komitmen awal menggalang gerakan bersama untuk memerangi sampah plastik. Mari bergerak, jangan hanya dipakai selogan.

Rabu, 20 Juni 2012

Jadikan Generasi Muda Penggerak Bangsa

Ibarat manusia, negeri ini sudah terserang penyakit kronis. Dalam suatu waktu negeri ini diserang ketertinggalan pendidikan, disintegrasi sosial, dan wabah korupsi. Parahnya lagi, di tengah maraknya tindakan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara, penegakan keadilan justru semakin melemah dan isu suap semakin menginjak-injak kreadibilitas para penegak hukum. Berbagai kasus korupsi dan kekerasan, misalnya, kebanyakan tidak ditindak secara tegas. Muncullah selanjutnya apa yang dikenal dengan mafia hukum. Semakin parahlah penyakit ini.
Berbagai permasalahan bangsa di atas adalah potret buram yang harus menjadi refleksi bagi negeri kita. Kita tidak harus menciutkan rasa memiliki bangsa ini, apalagi menjadikan kita semakin pesimis terhadap masa depan bangsa. Mengingat pesimisme masyarakat telah tergambar jelas dalam berbagai opini. Masyarakat telah banyak menyampaikan kritik, kegelisahan, kekesalan, dan bahkan kebencian terhadap negara. Dikhawatirkan,  kebencian ini akan menyeret pada  tindakan merusak, menghancurkan.
Maka dari itu, hendaknya kita tidak perlu terjebak pada rasa benci terhadap para pengabdi negara karena kegagalanya dalam menjalankan amanah bangsa, dengan saling tuding salah, akan memperparah keadaan sehingga memunculkan emosi kolektif. Yang terpenting saat ini adalah sejauh mana tindakan kita untuk  melakukan perubahan bagi Indonesia, baik dalam aspek ekonomi, sosial, politik, pendidikan dan budaya. Jika pemerintah tidak sanggup, mari swadaya saja. Jangan anarkis, tetapi buatlah para pejabat itu malu.
Langkah strategis untuk melakukan perubahan ini adalah menjadikan generasi bangsa sebagai modal utama bagi penggerak perubahan. Generasi muda adalah tonggak bangsa ini, dipundaknya lah nasib masa depan bangsa ini. Selama ini, problematika kebangsaan tidak disikapi secara mendasar dengan mempersiapkan anak bangsa untuk merubah Indonesia di masa depan. Langkah yang dilakukan selama ini masih bersifat sementara. Padahal, sangatlah mustahil, keterpurukan bangsa yang sedemikian parahnya cukup dengan aksi sesaat. Apalagi diperparah dengan pengakit ‘lupa’ yang akan sesegera mungkin mengubur masalah-masalah yang belum sepenuhnya selesai itu. Harusnya penyelesaian dilakukan melalui proses yang berkepanjangan dan berkelanjutan. Dalam hal ini, generasi muda adalah kuncinya.
Selama ini, belum tercermin sebuah harapan bangsa digantungkan kepada pundak pemuda secara real. Generasi bangsa yang merupakan elemen kunci bagi perubahan bangsa masih dianggap tidak penting. Saat ini generasi muda dalam menatap masa depan kerap dihancurkan oleh sistem yang kotor. Pendidikan yang merupakan kawah candradimuka bagi para pemuda malah diracuni dengan kebohongan-kebohongan. Pendidikan dengan orientasi ujian nasional sebagai tolok ukur kelulusan melahirkan nilai-nilai semu yang dikarbit. Mencari sekolah atau perguruan tinggi harus melewati jalur ‘kotor’, jalur prestasi tidak sepenuhnya jujur. Jamak yang lulus tiba-tiba melalui jalur prestasi, entah prestasi apa dan tingkat mana. Jika demikian, bagaimana nasib bangsa ke depan, jika pemudanya sudah diberi sajian “menu kotor” terus menerus.
Karena itu, kiranya perlu menjadi kesadaran bersama, terutama para generasi muda, untuk membentuk gerakan kongkrit dalam rangka mewujudkan perubahan di Indonesia. Di tengah derasnya fakta yang memperpuruk bangsa ini, kita perlu mempertegas tugas sebagai sosok pembelajar, sehingga mampu mengambil sikap tegas dalam menghadapi keterpurukan. Berbanggalah pada para pemuda yang sudah menunjukkan kegelisahan mereka lewat gerakan-gerakan positif. Seperti itulah hendaknya pemuda dalam membangun bangsa.

Selasa, 12 Juni 2012

Degradasi Budaya Belajar

Intelektualitas akan menjadi pusat pembangunan dan perkembangan sebuah negara di masa datang. Hal ini disebabkan karena keterbatasan sumber daya alam di setiap negara dan semesta secara luas. Jadi kita tidak bisa mengandalkan sumber daya alam saja, karena keterbatasannya itu. Sebaliknya, budaya belajar harus menjadi motor penggerak pembangunan setiap negara. Maka, pendidikan hendaknya dimaksimalkan untuk kepentingan pembangunan dan ekonomi bangsa.
Saat ini, pendidikan memang masih menjadi barang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia. Pendidikan dianggap sebuah kemewahan bukan kebutuhan. Hal pertama yang ditawarkan sekolah-sekolah atau lembaga pendidikan kepada siswa baru adalah penguatan ekonomi bukan mutu. Masih adanya kasus tidak bayar SPP berarti tidak dibagikan ijazah ketika kelulusan adalah realitanya. Realita lain adalah pertanyaan seperti, “Anda tamatan mana? Anda memiliki ijazah apa?” ketika melamar pekerjaan adalah sebuah pertanyaan mengganggu. Tidak adakah orang yang menanyakan, “Anda memiliki ketrampilan apa?”. Inilah kenyataan bahwa pendidikan bukanlah penjamin mutu, setidaknya untuk saat ini.
Ke depan, setuju atau tidak, pendidikan harus dan akan menjadi mesin penggerak dalam pembangunan. Ketika pembangunan berkembang pesat yang terjadi adalah kesejahteraan bangsa dan kekokohan ekonomi yang sejalan dengan perkembangan pembangunan. Agar mencapai fase itu, tujuan pendidikan negeri ini hendaknya dirumuskan dengan lebih akurat. Jika tidak ingin tertinggal, maka perlu perbaikan perspektif tentang pendidikan. Kuncinya memang berada pada pendidikan.
Jika kodisi pendidikan negara ini masih jalan di tempat bahkan jalan mundur. Bisa diprediksi, negara ini tidak akan bisa bersaing dengan negara luar yang setiap detik mengejar perkembangan demi kemajuan pertiwi mereka masing-masing. Kita memiliki kebutuhan dan harus kita penuhi sendiri dengan sedikit bantuan negara lain, bukan ketergantungan pada negara lain.
Kebutuhan masa depan memang harus menjadi standardisasi pendidikan kita. Memandang kehidupan anak-anak hendaknya diutamakan. Pendidikan sekarang, seakan-akan membekali kompas rusak kepada anak-anak untuk berpetualang dalam rimba kehidupan. Mereka, seperti juga yang saya rasakan ketika mengenyam pendidikan, hanya mengejar kecakapan kadaluarsa. Mengapa kadaluarsa? Karena kecakapan-kecakapan yang diajarkan itu tidak dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
Kecakapan di atas bisa diibaratkan sebuah kecakapan mesin. Anak-anak hanya deprogram untuk mengatakan “Selamat Pagi” setiap bertemu orang misalnya, tanpa mengerti untuk apa dia mengatakan sapaan itu. Hal ini menjadi sama dengan sapaan “Selamat datang, selamat berbelanja”, oleh para SPG di sebuah minimarket. Mereka ibarat beo. Hendaknya di dalam pendidikan (formal) anak-anak tidak lagi diberikan nilai sebuah informasi, melainkan pemanfaatan informasi itu dalam kehidupan mereka. Ironisnya, kecakapan itulah yang menjadi orientasi pendidikan di negara ini.
Kecakapan guru dan ketidakacuhan sistem pendidikan adalah pemantik diasingkannya proses berpikir bernalar di ruang-ruang kelas. Sistem ujian nasional (UN) yang dominan menyajikan soal-soal hafalan informasi adalah alasan mengapa guru-guru tak pernah memerdulikan proses bernalar tingkat tinggi. Akibatnya, anak-anak memiliki pemahaman yang rendah terhadap materi pelajaran. Mereka hanya ‘dipaksa’ menghapal materi itu-itu saja karena keinginan kurikulum.
Walaupun sebenarnya materi itu penting dan masih banyak hal yang bisa dipelajari dan dimanfaatkan bagi kehidupan. Teori tentang membaca misalnya, hanya diajarkan mengenai membaca paragraf, mencari ide pokok dan ide penjelas. Memang sekadar itu saja. Padahal membaca sangat luas manfaatnya. Mungkin karena inilah, banyak anak-anak yang melanggar rambu-rambu lalu lintas karena tidak paham akan artinya. Mereka memang tidak pernah diajarkan di sekolah ketika materi membaca disampaikan. Ini hanya sebuah contoh betapa menghapal masih sangat diagungkan oleh pendidikan kita.
Selanjutnya yang hendaknya perlu dipikirkan oleh pendidikan negeri ini adalah standar isi yang lebih menekankan kepada kebutuhan modern kehidupan anak. Begitu pula dengan tuntutan pada guru hendaknya pada penguasaan konsep dan teori bukan pada administrasi mengajar yang justru tidak berperan terlalu penting di dalam kelas dan bagi anak-anak (anak didik).
Teman-teman saya ketika sekolah dasar (SD) atau sekolah menengah pertama (SMP) sering mengatakan, “untuk apa membelajari matematika atau fisika, toh juga tidak bisa digunakan dalam berbelanja”. Ya, pertanyaan itu memang klise, sederhana, dan agak bodoh, sehingga teman-teman saya yang mengatakan kalimat itu memang dicap bodoh oleh guru maupun sekolah. Sesungguhnya, pertanyaan seperti itulah yang hendaknya kita kritisi.
Anak-anak di sekolah hanya ‘dipaksa’ menghafal rumus, dan memahami logika soal sehingga selanjutnya bisa ‘dieksekusi’ dengan rumus-rumus yang telah mereka hafal tadi. Muaranya tidak lain agar bisa mengerjakan soal-soal ketika ulangan harian maupun ujian nasional (UN), sehingga digapailah nilai sempurna. Anak-anak selalu bangga mendapatkan nilai 100 yang semu itu. Nyatanya, walaupun mereka bisa mendapat nilai yang memuaskan ketika berhitung menggunakan rumus matematika atau fisika dalam kehidupan nyata mereka tak pernah menghitung volume kardus mie instan sekalipun. Bahkan, anak-anak SD kelas dua yang sudah diajarkan perkalian tidak bisa bertransaksi jual beli, menghitung uang kembalian ketika belanja. Wajar saja, mereka tidak pernah ditekankan pembelajaran ini.
Anak-anak hanya cakap menghitung soal dalam buku dengan rumus. Anak-anak tidak pernah diajak menggunakan rumus dan mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mengapa anak-anak tidak diajak mengukur volume kardus mie instan yang sering mereka makan? Mengapa mereka tidak pernah disuruh mengukur tinggi badan anggota keluarganya sembari belajar membaca angka pada alat pengukur panjang (meteran). Saya berpikir, ini lebih berguna dan seharusnya seperti inilah pendidikan dijalankan. Jadi, kalimat klise itu tak akan terlontar lagi dan saya yakin teman-teman saya itu akan rajin belajar karena pelajaran itu bisa mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Argumen saya ini tidak bermagsud membuat pandangan orang terhadap pelajaran matematika atau fisika semakin merendah. Semua mata pelajaran jika diterapkan dengan cara saat ini maka akan sama terasa ‘tidak bergunanya’. Jika pembelajaran diterapkan seperti itu, orang tua mana pun pasti bisa ikut berperan dalam pembelajaran di rumah anak masing-masing. Karena sejauh ini, pengamatan saya terutama di desa, orang tua menjadi tak acuh dengan pekerjaan rumah atau aktifitaas belajar anaknya karena soal-soal yang terlalu rumit dan hanya bisa dipecahkan di bangku sekolah. Para orang tua yang (maaf) tidak sempat mengenyam pendidikan tidak bisa membantu anaknya. Harusnya, pendidikan memberi ‘kekuatan’ untuk membantu para anak yang memiliki orang tua seperti itu. Sehingga orang tua tidak merasa rugi membiayai sekolah mahal-mahal, tetapi sang anak tidak bisa membantu sang ibu menimbang hasil panennya yang walaupun tidak seberapa.
Pendidikan negeri ini perlu dirombak sehingga dapat memberi ‘makna’ setelah keluar dari sana. Tidak lagi sekadar ‘tahu’ atau ‘ingat/hapal’ tentang teori. Ke depan, mari memulai budaya bernalar, bukan budaya menghapal.

Minggu, 03 Juni 2012

Secangkir Kopi

Jaman terus berubah, gaya hidup pun ikut berganti. Tak lagi seperti dulu, kini kopi kian kehilangan kesan maskulin. Apa mungkin ini adalah efek samping dari emansipasi? Ya,,,nampaknya emansipasi tak hanya melulu dalam bidang pekerjaan atau profesi, tapi sudah menjangkiti berbagai lini kehidupan. Sampai - sampai kopi pun tak mampu mengelak dari derasnya arus emansipasi.
Kopi yang dulunya bisa dianggap sebagai konsumsi monopoli kaum adam, kecuali untuk daerah tertentu, Bali misalnya yang memang minum kopi sudah menjadi kebiasaan bagi kaum hawa disana, kini kopi bebas dinikmati siapa saja, bahkan kopi sudah menjadi bagian gaya hidup dewasa ini. Mulai dari orang pinggiran sampai warga metropolitan, mulai dari warung kopi biasa ke retail cafe kelas dunia hingga warung kopi pangku bertebaran dimana – mana. Kopi menjelma bak selebritis yang digandrungi banyak orang. Dari perawan sampai tukang bakwan, dari sopir taksi hingga elit berdasi, semua menyukai kopi
Menarik memang membahas fenomena kopi ini. Tapi kali ini aku akan membahas tentang kopi dari sisi filosofisnya, tapi tentu saja itu semua dari sudut pandang aku pribadi. Secangkir kopi hitam lebih tepatnya.
Buatku secangkir kopi lebih dari sekedar minuman yang terbuat dari serbuk biji kopi, plus gula, kemudian diseduh dengan air panas. Menurutku lagi, secangkir kopi adalah miniatur kehidupan anak manusia. Hitam, pekat, dan terasa sedikit pahit, layaknya perjalanan anak Adam mengarungi kerasnya kehidupan.
Satu lagi yang tentunya yang melekat dan menjadi ciri khas kopi, ya tentu saja apalagi kalau bukan rasanya yang pahit, tak jauh beda dengan kehidupan kita di dunia. Pahitlah yang membuat kita selalu ingat pada Tuhan. Kecenderungan manusia memang begitu. Ketika mendapat manis, Tuhan seakan tak pernah ada, tapi tak semua manusia seperti itu.
Tapi, bukan berarti kita hanya mengingat Tuhan disaat kita susah dan berduka. Kesusahan adalah sebagai cambuk peringatan agar kita kembali pada-Nya dan senantiasa mengingat-Nya disetiap saat, setiap waktu. Agak sedikit berceramah di pagi hari. Setelah beberapa teguk kopi menghangatkan kerongkongan ini.
Yaa,,,itulah secangkir kopi kehidupan, terasa agak pahit memang, hitam pekat, tapi nikmaaatt!!!.