Senin, 30 April 2012

I Love Silence

inilah tampak gue kalo malam-malam depan laptop

Gue suka banget nulis pagi-pagi buta gini. Entah kenapa, saat lampu udah mati, semua orang tidur, dan pikiran bahwa gue lagi “sendirian” kayak gini bisa memberikan dorongan kreatif tersendiri. Gue bisa serius menulis, dieeem gitu aja, mikir, dan mikir, dan mikir. Berbeda dengan apa yang orang pikir, saat gue lagi nulis imajinasi, muka gue serius banget. Gue ngetik sebentar-sebentar, lalu menyeruput coolin coffee, memandang langit-langit kamar. Apalagi kalo ujan, wah tambah sedap.
 Alis gue mengkerut, seolah-olah yang gue tulis adalah sebuah makalah super-serius, tapi yang sebenernya gue tulis adalah hal-hal bodoh yang mungkin bagi orang-orang adalah buang-buang waktu.
Tapi gue nemuin kenikmatan tersendiri. Apalagi ketika gue mandi atau duduk di kloset. Ide-ide kreatif pasti selalu muncul. Makanya gue di toilet itu lama. Bukan lama mandi atau buang air, tapi lama bengong dengan imajinasi liar kaya domba yang lari-lari.

Sabtu, 21 April 2012

Persamaan Jender Harus Disikapi Lebih Realistis


Tak selamanya persamaan laki-laki dan perempuan itu mungkin terjadi. Dalam beberapa hal seperti pendidikan, karier, dan keluarga, persaman hak ini memang memungkinkan untuk dicapai. Namun harus disadari bahwa dalam beberapa hal yang lain kesamaan ini tidak mungkin terwujud 100 persen, misal dalam hal kekuatan, ketahanan mental dan fisik antara pria dengan wanita.
Kadang para perempuan menjadi tidak realistis dalam menuntut persamaan hak dan emansipasi. Di satu sisi hal ini baik, namun di sisi lain menjadi seperti melupakan kodrat mereka sebagai perempuan, yang mau tak mau fisik dan ketahanannya lebih lemah daripada pria.
Bukan berarti, perempuan lebih lemah dan tidak mampu berbuat apa-apa. Perempuan hendaknya mensyukuri apa yang dimiliki. Pada dasarnya perempuan memiliki sifat yang androgini, yaitu sifat gabungan antara laki-laki yang kuat, tegas, dan rasional, dengan perempuan yang penyayang, teliti, dan ulet. Hal ini sesungguhnya menciptakan dualisme dalam diri perempuan, yaitu diri sebagai profesional, dan diri sebagai seorang perempuan. Dualisme ini memungkinkan para perempuan memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal yang dilakukan laki-laki, misal menjadi polwan yang kuat dan siap membela negara.
Walaupun perempuan sanggup mengerjakan hal-hal yang jamak dilakukan kaum laki-laki, dalam beberapa hal, perempuan tetap harus menyadari kodratnya. Namun pada satu kondisi, persamaan jender ini juga tidak mungkin dilakukan karena terbatas pada kodrat alami perempuan, seperti menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, dan kekuatan fisik. Dalam hal ini, kaum perempuan tetap membutuhkan toleransi dalam beberapa hal.
Menurut saya, emansipasi harus disikapi dengan pandangan dan sikap yang (lebih) realistis, serta sebuah keikhlasan dari para perempuan, agar tidak selalu menuntut terlalu besar tetapi juga melihat kembali kemampuannya masing-masing.
Selain itu, tak bisa dipungkiri bahwa prioritas utama seorang perempuan adalah keluarga, setelah itu baru pekerjaan, dan diri sendiri. Sedangkan seorang laki-laki punya prioritas lebih banyak untuk pekerjaan, kemudian keluarga dan diri sendiri. Perbedaan prioritas ini juga didasarkan pada kodrat alamiah dan perasaan yang timbul sebagai seorang ibu.
Karena itu, sebenarnya yang paling dibutuhkan adalah toleransi antar jender yang semakin tinggi, agar semua pekerjaan dan aktivitas lain bisa diselesaikan dengan adil dan seimbang. Seiring dengan adanya toleransi jender, lama-kelamaan kesetaraan pun akan tercipta dengan sendirinya.


21 April 2012, Selamat Hari Kartini utk semua perempuan di Indonesia

Jumat, 20 April 2012

(Harusnya) Menjadi Mahasiswa Jangan Kuliah Saja


Ketika kuliah, harusnya menekuninya dengan serius, namun itu bukan satu-satunya yang harus dilakukan. Mumpung sedang kuliah di kampus pilihan, kenapa tidak memanfaatkan semua fasilitas dan kesempatan yang ada? Memang hal-hal tersebut tidak berpengaruh pada IP (Indeks Prestasi) tetapi kita akan mendapat pengalaman terbaik. Pengalaman itu mahal harganya. Terpenting selalu berproses.
Jika kita berniat menjadi pegawai setelah lulus misalnya, syarat pertama adalah IP, sehingga kuliah harus dilakukan dengan serius. Namun tahap wawancara, sudah mulai melihat soft skill apa yang kita punya. Sehingga sembari mengasah kemampuan dan keahlian kita ketika kuliah, lakukan juga kegiatan yang meningkatkan kualitas diri, diluar akademis.
Melakukan banyak kegiatan di luar kegiatan akademis ketika kuliah sangat berguna. walau begitu, sesuaikan porsi, tidak menjadi yang utama. Jika kita berlama-lama menempuh kuliah, bahkan drop out, bayangkan hal ini sebagai modal yang terbuang. Rugi waktu, rugi uang kuliah, rugi energi, jadi selesaikan tepat waktu dan serap ilmu yang ada.
Saat kita berada di lingkungan akademis, seperti perguruan tinggi, kita sebenarnya sedang membangun jaringan (networking), dan jaringan ini penting untuk masa depan kita nanti. Bayangkan temn-teman kuliah kita nanti adalah orang-orang berterima di dunia kerja. Kita pun akan terkena imbas, atau setidaknya mempermudah kita untuk ikut masuk di dalamnya.
Ketika menjadi mahasiswa, jangan hanya kuliah. Ikuti kegiatan-kegiatan positif di kampus. Asah potensi diri. Salah satunya dengan lomba-lomba yang bisa kita ikuti. Lomba yang dimaksud bukan hanya soal adu kepintaran di suatu bidang tertentu, namun juga tentang hal-hal lain, kompetisi olahraga, seni dan lainnya. Untuk yang diselenggarakan oleh internal, biaya pendaftarannya cukup murah, bahkan gratis. Sedangkan kompetisi tingkat nasional, kita dapat membicarakannya dengan jurusan, siapa tahu mendapat dana untuk pendaftaran, akomodasi dan lain-lain, karena jika menang nama jurusan atau universitas akan ikut terbawa. Sekali memancing, dua tiga ikan tertangkap kan? hehe
Jika ada pengumuman tentang seminar atau workshop atau pelatihan, cobalah kaji dan pilih yang menurut kita paling menarik dan perlu. Selain menambah keahlian dan wawasan, biasanya di akhir acara ada pembagian sertifikat tanda bahwa kita telah menyelesaikan atau mengikuti acara tersebut dengan baik. Simpan baik-baik dan kelak cantumkan di curriculum vitae (CV). Ingat seleksi pertama pencari kerja adalah IP, namun ketika CV kita dibaca akan terlihat perbedaannya karena kita bisa memberikan lebih ke perusahaan.
Ikutilah organisasi atau kegiatan kemahasiswaan, sesuaikan dengan bidang minat kita. Misal ikut unit kegiatan mahasiswa, senat fakultas, himpunan jurusan, dan lain-lain. Selain meningkatkan kemampuan di bidang yang kita sukai, di sini kita akan belajar berorganisasi, menghadapi lebih banyak orang dengan lebih banyak kepentingan, berlatih menyampaikan pendapat di dalam forum, dan jadi lebih percaya diri. Terpenting belajar kehidupan.
Terkadang, mahasiswa setelah lulus akan memulai dari nol lagi. Bertahun-tahun kuliah, lulus menjapat IP tinggi, tapi kebingungan dalam mejalani kehidupan, tak terasah secara praktis. Orang-orang seperti ini hanya juara secara teoritis. Tidak salah memang, karena pendidikan saat ini yang hanya menekankan teori daripada praktik nyata. Jika sudah tahu begitu, mengapa kita masih terdiam? Ayo lakukan sesuatu, menjadi mahasiswa jangan kuliah saja!

Memaklumi Praktik Mencotek


Mencontek merupakan tindakan yang tidak terpuji. Mencontek adalah cerminan dari rasa tidak percaya diri. Mencontek adalah moral yang tercemar. Mencontek adalah praktek korupsi skala kecil, dan bisa berpengaruh besar jika dilakukan dengan sangat rapi. Mencontek harus dimaklumi.
Siapa yang mempermasalahkan praktik mencontek? Orang-orang yang memiliki moralitas! Lalu setelah mengetahui mencontek perbuatan tidak terpuji, mengapa dihalalkan? Keadaan untuk menyelamatkan diri adalah penyebabnya! Tak selamanya mencontek salah kan? Bijaksanalah kiranya jika mencontek dimaklumi.
Berbeda dengan praktik korupsi sekala besar, seperti makan uang rakyat misalnya, tidak ada celah untuk dimaklumi. Praktik ini jelas-jelas salah dan bertentanga dengan hukum. Pun mereka melakukannya bukan karena keadaan menyelamatkan diri melainkan untuk memperkaya diri. Korupsi ini memang sebuah pekerjaan sampingan yang sangat menguntungkan.
Kembali pada masalah mencontek, mencontek yang dilakukan oleh pelajar ketika ujian nasional (UN) perlu dimaklumi. Mereka dituntut lulus ataupun meraih nilai bagus ketika ujian, padahal kemampuan belum memungkinkan untuk itu. Selama belajar bertahun-tahun di sekolah, para pelajar ini selalu merasa belum siap dalam ujian nasional. Apakah karena siswa yang memang tidak serius dalam belajar selama kurun waktu itu, atau para guru yang mendampingi mereka (siswa) dalam belajar di sekolah tidak becus? Ini yang sebenarnya harus ditelaah dengan teliti lagi. Jika kedua faktor ini (guru dan siswa) bekerja dengan baik, maka mencontek tak akan dilakukan.
Ketika dua faktor di atas tidak bekerja maksimal harusnya sistem ujian nasional tidak dijadikan acuan lulus dan tidak lulus. Jika ini masih dilakukan, alamat tidak bergunanya ujian nasional ini. praktik mencontek akan selalu terjadi. Kecurangan akan terus dihalalkan, ditempuh dengan cara apa pun.
KKM (Kriteria Ketuntasan Minimal)  yang dirasa cukup tinggi, membuat siswa-siswi cukup terbebani sehingga menghalalkan segara cara untuk mencapai ketuntasan tersebut. Apa yang didapat ketika kegiatan belajar-mengajar seperti terlupakan ketika menghadapi soal-soal ujian. Seringkali mereka ragu dengan jawaban mereka sehingga mengandalkan ‘contekan’ sebagai upaya agar lulus ujian.
Sebenarnya, bisa saja siswa-siswi mampu mengerjakan soal-soal ujian tanpa mencontek. Rasa takut akan gagalnya ujian menjadi faktor utama mereka mencontek. Jika tidak lulus, apakah pemerintah mau bertanggung jawab? Seharusnya kebijakan ujian nasional sebagai patokan lulus ini diikuti sikap kebertanggungjawaban. Walaupun ada pendidikan kesetaraan, apa gunanya mereka menghabiskan uang dan biaya jika akhirnya mereka hanya mengantongi ijasah paket.
Sistem peningkatan kualitas yang saling tumpang tindih mengaburkan semua. Bagaimana tujuan pendidikan yang katanya ingin mencerdaskan bangsa bisa tercapai jika masih seperti ini? Jangan tanyakan pada siswa dan guru, karena mereka telah menjalankan swadarma mereka masing-masing dalam rangka memperbaiki kualitas diri. Tanyakan para pembuat kebijakan dan pihak-pihak terkait.
Mendapat nilai murni hasil kerja sendiri, apalagi jika hasilnya bagus pasti sangat menyenangkan. Bagaimana jika mengerjakan soal-soal ujian dengan hasil kerja sendiri tapi malah mengecewakan dan tidak lulus, apakah masih menyenangkan?

Minggu, 15 April 2012

Kisan si UN dan 5 Paket Soal


Pelan-pelan tapi pasti, dari waktu ke waktu proses ujian akhir tidak lagi steril dari kata curang. Entah dari mana virus ini datang. Namun yang pasti setiap tahun kian berkembang. Semula mencontek adalah kreatifitas peserta didik sendiri untuk meniru pekerjaan teman, sampai akhirnya melibatkan guru dan kepala sekolah, hingga menyuburkan kecurangan ini.
Beberapa kali diberitakan ada guru yang ‘diam-diam’ menyelinap’ masuk ke ruang ujian untuk menuliskan kunci jawaban di papan tulis untuk dicontek peserta. Ada guru yang membuatkan kunci jawaban di kertas sebelum ujian dimulai lalu dibagikan kepada siswa-siswanya. Lalu peserta saling berbagi kunci jawaban yang dibuatkan guru. Masih banyak lagi bentuk keterlibatan guru dalam mencurangi “prosesi keramat” itu.
Kecurangan pada Ujian Nasional (UN) kini tidak hanya ulah peserta didik, tapi juga melibatkan para pendidik, seperti kasu-kasus di atas. Ini yang menimbulkan kesangsian terhadap pelaksanaan UN sebagai sebuah proses evaluasi. Perdebatan pun terjadi terkait kelayakan UN.
Perdebatan UN layak atau tidak untuk mengukur kualitas siswa dalam proses belajar selama tiga tahun sebelumnya untuk sementara ditunda. Kini muncul lagi kebijakan yang layak diperdebatkan terkait UN. Sejak tahun lalu dan berlanjut tahun ini, UN akan menggunakan sistem 5 paket soal untuk jenjang SMP dan SMA. Sementara untuk tingkat SD, naskah soal hanya dibuat satu paket. Sebab sistem ujian untuk tingkat SD masih sebatas belajar ujian dan batas minimum nilai kelulusannya pun ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Ditengarai kebijakan 5 paket soal akan cukup menyulitkan siswa dalam melancarkan aksi curang. Kemungkinan mencontek atau memberi kode jawaban di ruang ujian dengan sistem soal 5 paket itu menjadi sangat sulit dilakukan peserta UN.
Untuk diketahui sistem 5 paket ini tidak berarti paket yang satu dengan yang lainnya beda soal ujiannya, melainkan antara paket 1, paket 2, paket 3, paket 4 dan paket 5 yang berbeda adalah terletak pada penomoran soal ujiannya, bukan isinya. Ilustrasi lengkapnya seperti ini, dalam satu kelas akan terdapat 20 siswa. Ada lima tipe soal. Tiap hari setiap siswa akan mendapat tipe soal yang berbeda. Aturan lain jika ada siswa terbukti melakukan kecurangan, maka hasil UN nya akan dihapus. Saya pikir sistem paket pada soal untuk UN tingkat SMP dan SMA tepat untuk memfasilitasi kepercayaan diri siswa yang tersembunyi dan selama ini terkikis oleh budaya mencontek. Padahal ketika siswa percaya diri, mereka bisa mencapai hasil lebih bagus tinimbang bekerja sama.
Ketika UN berjalan (dahulu) dengan dua paket soal, penyelewengan telah terjadi. Perdebatan pun lahir. Sistem paket soal sama tidak relevannya dengan UN itu sendiri, tanggapan dari pihak kontra. Ketidakjujuran pun tetap terjadi. UN ditanggapi dengan salah. Mereka menganggap lulus UN adalah indikator sukses. Sesungguhnya sukses tidak hanya berorientasi pada hasil tapi juga proses dan pelaksanaan UN itu sendiri.
Menyambung kesangsian sebagian orang seperti di atas, mengapa tidak relevan? Bagaimana ketidakjujuran itu terjadi? Indikatornya bisa kita lihat pada kasus contekan massal seperti tahun kemarin, SMS jawaban beredar beberapa jam sebelum UN dimulai dan berita-berita sejenis yang memiriskan hati kita sebagai guru dan orang tua yang mengingginkan perbaikan bagi jalannya pendidikan anak bangsa. Sebenarnya sederhana saja, dengan sistem dua paket siswa mudah untuk bekerja sama. Maka, jalan keluarnya adalah melahirkan sistem 5 paket.
Pendidikan adalah salah satu harapan besar untuk perbaikan bangsa ini kedepannya. Setelah hampir semua lini kehidupan masyarakat negara ini terjangkiti penyakit kronis, pendidikan adalah salah satu media untuk memperbaiki itu semua. Kejujuran adalah pintu penting untuk membangun integritas dan perilaku seseorang termasuk dalam berhubungan dengan orang lain. UN jujur adalah pintu masuk untuk menghapus kemerosotan mental dan moral.
Perlu sama-sama menyadari, mencontek dilakukan pelajar untuk mendapatkan nilai yang bagus secara instant tanpa mau belajar dahulu. Lalu sebenarnya apa yang membuat siswa-siswi mencontek? Apakah karena ketidakmampuan mereka dalam menjawab soal atau ada faktor lain? Kami menyimpulkan bahwa pemahaman siswa ataupun pihak-pihak yang bergerak dibidang pendidikan tentang UN masih dangkal.
Memang kebijakan Mendiknas terkait sistem 5 paket soal belum teralu efektif dan belum bisa meningkatkan kualitas pendidikan. Jika tujuannya untuk mencegah tindakan menyontek antarsiswa di dalam kelas mungkin bisa efektif. Akan tetapi, jika bertujuan untuk mencegah tindakan menyontek siswa antarkelas belum tentu bisa.
Tapi untuk mulai merintis, layak diacungi jempol, bagaimana pun kebijakan tersebut erat kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas UN tahun ini agar lebih baik dan lebih sukses lagi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Lain dari itu kemungkinan untuk contek-menyontek antara peserta UN diminimalisir. Adapun masalah tindakan menyontek antarkelas itu sangat terkait dengan kedisplinan tim pengawas independen yang akan dibentuk Menteri.
Pelaksanaanya juga harus superketat. Apalagi keberadaan polisi dan pengawas independen selama ini juga tidak terlalu berpengaruh besar untuk membuat ujian jujur tanpa kecurangan. Nah, dari paket soal yang tetap dibuat 5 (lima) macam di setiap ruang sampai ke pembuatan sticker khusus sebagai pengganti lak selama ini untuk menyimpan Lembar Jawaban Ujian Nasional (LJUN). Dengan sticker khas ini panitia/sekolah tidak bisa lagi membuka ulang ampelop LJUN yang sudah dibungkus rapi dari ruang ujian. Lain itu, masing-masing paket ini akan diberi kode sehingga murid dan pengawas harus ekstra teliti pada pelaksanaannya.
Hemat saya sistem lima paket soal UN 2011 merupakan sebuah langkah yang sangat menjanjikan untuk mengurangi tingkat kecurangan dalam pelaksanaan Ujian nasional. Semoga saja kebijakan tipe soal A, B, C, D dan E bisa berjalan dengan baik. Asal diimbangi dengan pembenahan karakter bangsa ini.


Selamat menenpuh ujian, siswa-siswi seluruh Indonesia:)

Kamis, 12 April 2012

Mengapa Menulis?


Ini merupakan sebuah pertanyaan sederhana yang jika dilontarkan akan melahirkan beragam jawaban. Karena sampai saat ini saya tak pernah menemukan jawaban bakunya. Jawabannya masih berada pada tataran relatif. Mungkin, (mengutip istilah Dee dalam kumpulan cerita terbarunya, Madre) tidak semua pertanyaan berjodoh dengan jawaban.
Beberapa jawaban klise tentang pertanyaan di atas sering ditemui, seperti menulis adalah bagian dari hobi. Lalu ada lagi, ketika menulis, kita bisa berbagi dengan orang lain. Ada juga menjawab menulis untuk mencurahkan segala perasaan dan masih banyak jawaban lain.
Bagi orang yang belum gemar menulis, mungkin akan bertanya dalam benaknya, kenapa saya harus menulis? Untuk apa saya menulis? Bagi orang yang cukup gemar menulis, mungkin pernah bertanya kepada diri sendiri, apa yang harus saya tulis kali ini?
Di suatu sore, ketika saya dihadapkan pada keadaan untuk menulis sebuah proposal sederhana oleh salah satu dosen, kepala saya pun mulai berputar. Bagaimana mengawali tulisan ini?
Sebenarnya sederhana saja. Kita bisa menulis apa saja. Di dalam kehidupan ini banyak terjadi kejadian yang bisa dicatat (baca:ditulis). Kejadian-kejadian dalam kehidupan juga menyajikan banyak pelajaran. Orang yang beruntung, jika tidak mau dikatakan hebat, adalah mereka yang bisa mengambil pelajaran tersebut lalu berusaha membaginya dengan orang lain yang berada di sekitarnya. Menulis adalah salah satu cara kita dalam berbagi pengalaman hidup dengan orang lain, menurut simpulan pribadi, dari beberapa kalimat di atas. Simpulan ini pun tidak cukup untuk menjawab pertanyaan saya.
Ketika ada wacana akan digelarnya pelatihan kecil-kecilan terkait menulis yang diselenggarakan oleh bapak dosen bekerjasama dengan HMJ ini, maka saya segera bepikir, apa yang akan saya lakukan? Setelah lama berpikir, akhirnya dua kebingungan saya seperti telah saya ketik di atas agaknya menemui titik terang.
Inilah jawabannya. Pertama, saya bisa merampungkan proposal sederhana ini (sangat sederhana bahkan, hanya sebuah cerita ngalor ngidul). Kedua, saya ingin menemukan sendiri apa jawaban dari pertanyaan mengapa menulis, dengan bantuan pelatihan kecil-kecilan ini tentunya. Dan semoga saja, apa yang telah lama saya lakukan tidak sia-sia. Puluhan tulisan yang telah saya buat menjadi berarti, walaupun tidak semua karena saya yakin tidak semua layak diberi arti, tidak hanya tertimbun di laptop kesayangan. Semoga.

Jumat, 06 April 2012

Senyum Kopi


Aku masih terus-terusan betah duduk dalam waktu seperempat malam, menarik selimut subuh dan bersikeras gelap masih menyertaiku.
Senyum kopi menyambut ketika itu. Saat kedua kelopak mata kita saling bersentuhan rasa. Berhenti dengan rapi dalam jarak yang tepat sekian senti dari cangkir kopiku yang mengepulkan asap dan aroma pagi yang kita kenal baik.

Selasa, 03 April 2012

Untuk Bali Bebas Sampah Plastik


Sejak proses produksi hingga tahap pembuangan, sampah plastik mengemisikan gas rumah kaca ke atmosfer. Kegiatan produksi plastik membutuhkan sekitar 12 juta barel minyak dan 14 juta pohon setiap tahunnya. Proses produksinya sangat tidak hemat energi. Pada tahap pembuangan di lahan penimbunan sampah (TPA), sampah plastik mengeluarkan gas rumah kaca.
Dari awal, proses, sampai akhir, riwayat sampah plastik lebih banyak merugikan manusia, maklhuk hidup di tataran mikro, dan bumi pada tataran makro. Sampah plastik bisa berasal dari berbagai hal yang berbahan dasar plastik. Salah satu contohnya, kantong plastik. Lebih dari 17 milyar kantong plastik dibagikan secara gratis oleh supermarket di seluruh dunia setiap tahunnya. Kantong plastik mulai marak digunakan sejak masuknya supermarket di kota-kota besar. Bisa dibayangkan berapa timbunan sampah yang terjadi di masa depan jika terus begini.
Kesadaran pada pentingnya menjaga lingkungan belum menjadi gaya hidup masyarakat Bali. Isu lingkungan harus menjadi komitmen bersama. Kebiasaan pemborosan terhadap sampah plastik ini harus segera dipensiunkan menuju Bali bebas sampah plastik. Pemerintah telah menyiapkan vondasi yang cukup kuat jika dilakukan dengan benar oleh masyarakat atau pemerintah itu sendiri.
Adanya Pergub pengelolaan sampah plastik yang dipersiapkan sebagai suatu upaya Bali dalam mewujudkan Bali bebas sampah plastik pada 2015 hendaknya segera dipatenkan. Program "Asri dan Lestari 2030" (Bali Blue and Green 2030/BBG 2030) untuk udara, air sungai, air danau, air laut di Bali bebas polusi juga layak didukung dan dimulai detik ini.
Upaya awal dari “rencana besar” di atas, bisa dimulai dari hal kecil serta sederhana, seperti mengelolaan sampah secara lebih bijak. Beberapa hal bisa dilakukan untuk penanggulangan masalah sampah ini. Salah satunya dengan pemilahan dan pengolahan sampah terpadu di tiap-tiap wilayah yang strategis. Baik di kota maupun di desa bisa dilakukan. Terpenting komitmen masing-masing individu.
Caranya sederhana saja, siapkan tiga buah tong sampah pada satu titik, tong pertama tong sampah organik yang isinya bahan dapat diolah jadi pupuk. Tong berikutnya adalah tong tong sampah anorganik yaitu tempat bagi sampah yang tidak dapat diolah misalnya sampah-sampah yang berupa bahan bahan berbahaya. Ketiga, tong sampah plastik untuk tempat sampah-sampah plastik yang dapat diolah. Lakukan hal yang sama di tiap titik yang dianggap strategis.
Sampah organik bisa diolah menjadi pupuk, terus beberapa sampah anorganik dapat juga didaur ulang. Dari sana akan diperoleh pendapatan dari hasil menjual pupuk atau sampah anorganik yang dapat didaur ulang. Kalau ini dapat berkelanjutan nicaya tiap rumah tangga tidak perlu membayar uang kebersihan.
Masalah siapa yang mengelola bisa dilakukan oleh masyarakat dan aparat desa setempat. Pengelolaan ini bisa juga bekerja sama dengan LSM yang peduli lingkungan, komunitas-komunitas pencinta lingkungan atau pengusaha dan perusahaan yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan. Masalah dananya baiknya perlu dianggarkan oleh APBD agar lebih “sungguh-sungguh” dan pengelolaan dananya bisa langsung di bawah naungan dinas terkait atau masyarakat, serta dapat pula dikelola oleh pihak swasta.
Jika ingin lebih menjangkau akar rumput dari masalah sampah plastik ini, ada langkah yang patut dicoba. Langkah ini lebih sederhana sebetulnya, yaitu dengan “penghematan” penggunaan pembungkus plastik. Perlu instruksi kepada pusat perbelanjaan dan para pedagang untuk menghindari plastik sebagai alat pembungkus barang yang diperjual-belikan. Pemerintah juga harus menghimbau, mendukung, dan mencontohkan masyarakat agar menyiapkan tas atau wadah dari rumah.
Program ini telah dilakukan oleh JRX (drummer band Superman Is Dead) bersama Rumble Cloth dari Ubud. Toko Rumble akan tidak menyediakan kantong plastik untuk mendukung upaya menekan masalah sampah plastik yang pelik di Bali. Itu adalah contoh cara edukasi tentang bahaya sampah plastik yang dilakukan oleh kaum muda.
Inilah yang seharusnya menjadi langkah awal dan perlu dukungan Pemerintah Provinsi Bali untuk mewujudkan daerahnya sebagai provinsi hijau, karena telah mendeklarasikan diri sebagai Bali Green Province (BGP), 22 Februari 2010 lalu. Jangka panjang untuk program Bali bebas sampah plastik 2015 dan BBG 2030.