Kamis, 26 Januari 2012

cerpen: Bendera


“Berkali-kali aku bilang, bahwa aku tak pandai menulis puisi, tapi karena aku mencintai kekasihku, maka aku akan meminta tolong pada pujangga untuk membuatkan puisi.” Sudah aku bilang, aku tak lihai merangkai kata-kata indah yang mampu menyayat hati merah muda kekasihku, jadi aku tak akan pernah mengiriminya surat cinta dibungkus amplop berwarna pink.”
“Bukannya kamu pandai merangkau kata hingga para pendengarmu dan pembaca karya-karyamu begitu terhipnotis setelah mengunyah-ngunyah karya-karyamu?”
“Ia, tapi aku tak pandai menulis puisi. Aku juga bukan pria yang romantis. Aku tak biasa memberikan surat dan puisi kepada kekasihku. Aku mencintai mereka apa adanya. Tak pernah aku berbohong soal hati”, seloroh Gus Tu meyakini Pradnya.
“Tapi aku akan mengalir ketika kamu memintaku bercerita tentang bendera.”
“Bendera?”
“Ia. Bendera! Ada yang aneh?”
“Heemmm…tidak, ceritakan, Gus!”
Gus Tu mulai bercerita.
Ketika itu, Aku sedang berlibur di rumah Nenek di Desa Jepun Putih. Aku memang sering berlibur di rumah nenek. Ini ku lakukan agar Aku tidak bosan liburan panjang di rumah. Aku ingin menikmati indah desa dan alam suci yang belum terkontaminasi. Liburan di rumah Nenek selalu berkesan. Kebisaanku di sana satiap pagi adalah bangun pagi. Meski sedang liburan Aku tetap bangun pagi. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari.
Kalau sedang tidak libur, Aku bangun pagi untuk bersiap ke sekolah. Ini Aku lakukan karena Aku selalu ingat nasehat Nenek, ”Orang yang rajin bangun pagi akan lebih mudah mendapat rezeki. Rezekimu tak akan pernah dipatok ayam,” pesan Nenek.
Bagiku, Nenek adalah sosok perempuan tua yang bijak dan pintar. Tipikal orang tua tradisional yang lihai bercerita cerita sederhana penuh amanat. Aku tak tahu apa makna nasehat Nenek itu, tapi Aku merasa ada benarnya. Logikaku membenarkannya. Bangun pagi membuat kita tidak terlambat tiba di sekolah dan otomatis tidak ketinggalan pelajaran. Selain itu, bangun pagi sungguh menyehatkan.
Hanya pada waktu pagi kita bisa menikmati suasana alam yang paling nyaman. Cahaya matahari masih hangat, udara masih bersih, tumbuhan pun tampak segar, seolah semua lebih bugar setelah bangun tidur. Aku teringat liburan bersama ayah ketika kanak-kanak. Pagi-pagi seperti itu biasanya ayah ditemani secangkir kopi di beranda depan rumah Nenek. Aku ingat persis peristiwa itu. Di atas meja, di sebelah minuman yang embunnya menetes-netes di pinggiran cangkir, terbuka sebuah buku. Tangan kirinya yang lentik memberati lembaran kiri buku itu agar tetap pada halaman yang tengah dibacanya.
Buku. Biasanya ayah membaca koran, jika di rumah. Tapi karena Nenek tidak berlangganan koran, jadi ayah melahap buku-buku koleksinya yang memang selalu ia bawa ke mana pun pergi. Tapi kali ini ayah memang tidak ikut menemaniku berlibur di rumah Nenek. Kebetulan jadwal libur kami tidak sama. Walau begitu, aku sudah besar, menurutku, dan bisa menikmati libur sendiri, pikirku.
Embun-embun mulai terbangun oleh sepoi udara dingin pagi. Daun-daun yang menjadi ranjangnya pun tak kuasa menahan tusukan dingin pagi. Mereka mengatup. Mentari enggan beranjak membuat dingin makin menelanjangi raga ini. Pagi itu, aku mendapati Nenek duduk sendirian di beranda depan. Rupanya, Nenek sedang menyulam bendera. Aku heran, tapi aku segera menghampirinya. ”Selamat pagi, Nek. Benderanya kenapa?” tanyaku.
”Oh, cucuku sudah bangun!” sahut Nenek pura-pura kaget. ”Bendera ini sedikit robek karena sudah lapuk.”
”Kenapa tidak beli yang baru saja?” “Lagian, dingin-dingin begini. Nanti nenek masuk angin.”
Nenek tersenyum. ”Belum perlu,” katanya tanpa menghiraukan kekawatiranku. ”Ini masih bisa diperbaiki. Tidak baik memboroskan uang. Lebih baik ditabung, siapa tahu akan ada kebutuhan yang lebih penting.”
”Bendera tidak penting ya, Nek?”
”O, penting sekali. Justru karena sangat penting, Nenek tidak akan membuangnya.”
“Lalu, mengapa uangnya tidak dibelikan bendera saja, Nek? Bendera kan penting.”
Nenek berhenti sejenak dan menatapku. ”Kelak, ketika kamu dewasa, kamu pasti bisa membedakan penting itu. Nenek harap kamu juga menjadi penting seperti bendera ini.”
Aku mengamati bendera itu lekat-lekat. Selembar sambungan kain merah dan putih. Tidak ada yang istimewa. Lebih keren bendera Amerika atau Inggris, batinku. Aku makin penasaran.
”Apa pentingnya, Nek? Apa bedanya dengan kain yang lain?”
Pertanyaanku membuat Nenek berhenti menyulam. Nenek diam tapi tersenyum menatap tajam kedua bola mataku yang lugu. Pintar sekali anak ini, mungkin itu yang dikatakan Nenek dalam hati. Nenek merasa perlu memberi jawaban terbaik untuk setiap pertanyaanku.
Untunglah, Nenek teringat Eyang Ketut, lelaki gaek yang cengeng dan sedikit manja, yang membayangkan dirinya bersimpuh dan tersedu di tepi Sungai Moksa. Eyang Ketut pernah menulis sebuah cerita tentang pensil. Ya, pensil. Kadang kala, Eyang Ketut juga bercerita tentang batu, angin, daun, domba tetangga, apa pun. Benda-benda sederhana itu selalu menjadi cerita yang mengesankan jika diceritakan Eyang Ketut.
Nah, ternyata Nenek meniru cara tokoh perempuan tua dalam cerita Eyang Ketut itu ketika memberikan penjelasan kepadaku.
”Penting atau tidak, tergantung bagaimana kita menilainya,” akhirnya Nenek memulai ceritanya. Bendera ini, lanjutnya, bukan kain biasa. Ia punya beberapa keistimewaan yang membedakannya dengan kain-kain lain. Keistimewaan itu yang patut kita tiru.
“Pertama, semula ini memang kain biasa. Tapi, setelah dipadukan dengan urutan dan ukuran seperti ini, ia berubah jadi bendera, menjadi lambang negara yang kita cintai. Merah-putih ini lambang negara kita, Indonesia”, cerita Nenek.
Aku menganggung paham. Di sekolahpun Aku diberitahu bahwa bendera negara ini, negara Indonesia yang Aku tempati ini berwarna merah putih. Dwi warna, seingatku.
“Setiap negara punya bendera yang berbeda. Dan semua warga negara menghormati bendera negaranya. Tapi, jangan lupa, kain ini menjadi bendera bukan karena dirinya sendiri, melainkan ada manusia yang membuatnya. Begitu pula kita bisa menjadi apa saja asal ada kehendak dari Sang Pencipta”, lanjut Nenek.
“Kedua, ketika kain ini dijahit, tentu ia merasa sakit. Setelahnya, ia punya wujud baru yang indah dan bermakna. Kita, manusia, hendaknya begitu juga. Sabar dan tabah menghadapi sakit dan derita, karena daya tahan itulah yang membuat kita menjadi pribadi yang kuat, tidak mudah menyerah. Ingatlah kata pepatah, berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Jangan pernah terbalik.”
“Ketiga, bendera akan tampak perkasa jika ada tiang yang membuatnya menjulang nyentuh langit, ada angin yang membuatnya berkibar. Amat gagahnya. Sama dengan kita, manusia, bisa mencapai sukses dan berguna karena ada dukungan dari orang lain. Kita tak boleh melupakan jasa mereka. Jangan arogan dan sombong setelah sukses.”
“Keempat, bendera ini bermakna tidak ditentukan oleh tempat di mana ia dibeli, berapa harganya, atau siapa yang mengibarkannya. Ia bermakna karena di balik bentuk dan susunan warnanya yang sederhana, ada pesan yang diwakili. Begitulah kita, harus memerhatikan diri agar tetap selaras dengan cita-cita dan tujuan hidup kita. Selalu bedakan kebutuhan dengan kemauan.”
“Kelima, kain yang menjadi cikal bakal bendera dirangkai oleh berutas-utas benang menjadi kain. Bendera itu punya makna; karena diperjuangkan dan akhirnya dihormati. Kita harus seperti itu. Harus selalu berusaha agar apa yang kita lakukan bisa bermakna. Jadikan dirimu bermakna bagi orang lain, jika dirimu ingin dihormati.”
”Begitulah, cucuku yang ganteng, sekarang kau mengerti?” ujar Nenek mengakhiri penjelasannya.
Aku mengangguk. Meski belum bisa memahami semua ucapan Nenek, Aku menangkap inti yaitu betapa penting arti sebuah bendera.
”Sudah, sana mandi dulu. Nenek akan menyiapkan jukut (sayur) gonde lengkap dengan telor goreng manis kesukaanmu.”
Aku menuruti saran Nenek.
Pada sebuah kesempatan, awal terkuaknya makna penjelasan Nenek waktu itu adalah saat Aku mendapat tugas sebagai pengibar bendera pada upacara di sekolah. Seiring dengan lagu ”Indonesia Raya” yang dinyanyikan serentak oleh para guru dan teman-temanku, aku menarik tali pengikat bendera agar Sang Saka Merah-Putih berkibar di angkasa.
“Bendera siap”, pekikku.
Semua orang menghormat.
Ketika bendera mencapai puncak tiang, semua peserta upacara khusyuk memberikan penghormatan. Aku tertegun. Aku memerhatikan semua orang di depanku. Saat itu Aku berpikir bahwa setiap orang di lapangan itu tak ubahnya sehelai benang. Sekolah tempat ku belajar ini ibarat alat pemintal, tempat benang-benang itu dianyam agar menjadi lembaran kain.
Kelak setiap lembar kain ini akan berguna. Ada yang menjadi baju, celana, selimut, atau taplak meja. Menjadi lap dan celemek juga berjasa, meski tidak pernah dibanggakan dan murah harganya. Sebaliknya, jika menjadi pakaian, sering dipamerkan, menjadi tren dan harganya bisa mencapai ratusan juta.
“Seketika, dalam hati Aku bertekad ingin menjadi kain yang istimewa. Aku ingin menjadi lambang seperti bendera”, Gus Tu berapi-api.
Setelahnya, Gus Tu dan Pradnya sama-sama menatap langit dengan mata berkaca-kaca. Keduanya menyimpat optimisme yang membara. Mereka ingin berkibar menyibak langit biru. Beberapa kupu-kupu melintas, melangit bersama hembusan angin sejuk di permadani alam itu. Senja ketika mimpi itu tiba di pesanggrahan mereka. Tiga angsa seputih bunga kamboja mengiringinya, ikut menatap langit.

Rabu, 25 Januari 2012

Langit

maka biarkan aku menjadi langit
dan kau menjadi warna senja,
meski kita hanya bertemu ketika senja tiba
itu cukup membuat senyumku menyeringai
tak apa,

acuhkan saja diriku, dan setialah dalam kebisuanmu
tak apa,
aku akan menunggu
sampai kau memuntahkan kata-kata yang sudah kau telan
sedang aku telah membaca senymmumu
sedang aku dan angin telah melukis tubuhmu menjadi
harapan

tak apa, tak mengapa

padamu, hei gadis senja, kapan kau buka?
topeng dan pintu hatimu yang rapat?

Minggu, 22 Januari 2012

Curhat Seorang Teman (Part II)

Pertama kali suka menulis sejak SD, saat itu aku mendalami puisi dan tiap lembaran buku akan kuhabiskan untuk menulis puisi. Meski masih amatir. Pada saat SMP, Aku sudah ingin menulis cerpen tapi aku merasa tak mampu. SMA, aku berusaha untuk ikutan lomba cerpen di pondok karena yang menang jadi pengurus mading. Tapi bukan itu keinginanku. Aku kalah saat itu dan sejak itu aku melupakan semuanya. Aku hanya akan jadi konsumen sebuah karya saja. Sejak saat itu juga aku benci puisi karena aku selalu beranggapan bahwa puisi itu hanya ditulis oleh para lelaki gombal. Aku menghentikan semua aktifitas menulis cerita fiksi, aku hanya menulis pelajaran akuntansi yang lebih menyebalkan.

Perlahan semua berubah sejak aku kuliah. Tapi baru semester 2 aku mencoba menulis lagi dan menghasilkan 1 cerpen yang mampu kunikmati sendiri. Karena aku tak punya pembaca. Mereka lebih suka berkomentar dan menyuruhku tak usah menulis.Tapi tak bertahan lama karena aku mulai lupa lagi dengan impian jadi penulisku. Aku bingung, apa aku punya mimpi jadi penulis? Karena banyak praktikum, laporan, tes psikologi yang membosankan akhirnya aku lupa lagi.

Tepat pada saat patah hati, dan tepat saat aku dikenalkan dengan seorang teman aku mulai mengenal banyak teman-teman yang punya mimpi yang sama, keinginan yang sama dan mereka saling bantu. Aku mulai suka menulis curhat di fbku dan punya banyak pembaca. Padahal aku hanya iseng curhat-curhat itu. Tapi pada saat patah hati aku jadi terus menulis dan aku puya inspirasi yang terus mengalir. Kadang aku gak suka kalo dalam keadaan bahagia karena inspirasiku tak secepat saat patah hati. Sempat punya mimpi ingin menulis novel. Tapi jari-jariku tak akan berjalan cepat sesuai pikiranku ketika aku tak patah hati. Patah hati adalah sumber inspirasiku. Semoga suatu saat aku bisa menulis solo dan menghasilkan karya tanpa harus menunggu patah hati. Bisa-bisa aku akan kurus kalo harus patah hati dulu untuk menghasilkan barisan puisi yang bisa dinikmati, cerpen mellow yang sudah pasti karena hasil karya orang patah hati.

Sabtu, 21 Januari 2012

Curhat Seorang Teman

Menulis adalah hobiku. hobi yang sudah ada sejak kelas 4 SD. Awalnya cuma nulis puisi. Setelah duduk di kelas 9, aku mulai suka menulis. Awal niatnya menulis cerpen, tapi kepanjangan sampai aku terusin jadi novel. Sampai sekarang sudah ada hampir 5 novel yang ku kerjakan. Tapi baru selesai 2. Hehehe... ;D
Setelah masuk ke SMA, aku mulai serius mendalami sastra. Aku menggunakan media jejaring sosial ( facebook ) untuk berinteraksi dengan penulis - penulis berbakat Indonesia. Dan alhamdulillah, aku dapat banyak pelajaran dari mereka. Karena memang hampir 75% temanku adalah penulis. Jadi hal itu semakin membuatku dekat dengan dunia kepenulisan. Banyak even lomba menulis yang ku ikuti. Dan alhamdulillah, ada salah satu lomba yang dimana aku masuk salah satu penulis yang karyanya akan di bukukan. Sekarang sedang dalam proses pengajuan ke penerbit. (#kalau sudah terbit, pada beli buku antologiku yah ;D)
Semakin hari, aku semakin cinta saja dengan dunia sastra. Ku coba menulis novel dan beberapa cerpen, lalu ku tunjukkan kepada teman - teman dekatku. Alhamdulillah, mereka menyukainya dan memberi motivasi kepadaku untuk terus menulis. Hingga akhirnya, aku merasa menulis adalah sebagian dari jiwaku.
Kenapa aku suka menulis ? karena dengan menulis aku bisa menciptakan duniaku sendiri. Aku seperti Tuhan yang mengatur skenario kehidupan. So... menulis itu asyik kali ! semua orang bisa menulis. Percayakan apa yang jadi imajinasi kalian, dan mulailah menulis !

Minggu, 15 Januari 2012

Melodi

burung hantu berhenti melantunkan MELODI setan dari kerongkongannya. dia bukan lelah, hanya saja sedang tertarik pada sesuatu, pada seorang pria yang bergerak sendiri di balik malam.
manusia itu berwajah SENDU dengan kemeja acak - acakan -beberapa kancingnya lepas- yang berbercak darah. entah itu darahnya, entah bukan. dia hanya terus berjalan dengan kepala yang menunduk menatapi tanah. jiwanya telah direnggut oleh malam.
dari atas dahan yang tak terlihat burung malam menatapnya dengan kepala miring. mengeluarkan senyum sembunyi - sembunyi di balik paruhnya. ia suka dengan keadaan ini. kelam. hingga akhirnya ia melanjutkan SIMFONI ketakutan untuk menemani malam.

Sabtu, 14 Januari 2012

Kaori-san

Aku mengulurkan kedua kakiku, merasakan dinginnya air dari kolam yang baru saja dibersihkan Takayama-kun. Suara DENTINGan fuurin terdengar di telingaku, dan ketentraman yang tiba-tiba mulai merengkuh hatiku. Aku memejamkan mata, tersenyum, sementara angin musim gugur bermain dengan rambutku. Sudah begitu lama aku tak berada disini. Sudah sangat--lama.

"Kaori-san!"

Ketenanganku terusik, dan aku menoleh. Takayama-kun menghampiriku, tampak begitu tergesa-gesa. "Ada apa, Takayama-kun? Kau tak perlu berLARI hanya untuk menemuiku, kan?" candaku ringan, berharap itu bisa membuat pemuda di depanku itu sedikit lebih tenang.

"Hidetaka-san di sini. Dia--kembali."

Dan aku terhenyak. Kupikir, Hidetaka bergurau dalam suratnya. Kupikir, Hidetaka-ku tak akan mungkin melakukan kesalahan apapun. Dia sempurna, selalu seperti itu. Dan berita ini jelas mengejutkanku. "Dia benar-benar, diSKORSING?"

Takayama-kun mengangguk, begitu pelan. "Untuk jangka waktu yang tak ditentukan."

Mataku melebar, terkejut. Dan tanpa kusadari, aku telah berlari masuk kedalam doujo. Hanya satu yang ada di pikiranku saat ini, memberikannya sebuah penghiburan.

Jumat, 13 Januari 2012

Sebuah Denting Berlari

Entah darimana DENTING piano itu berasal. Vania merasa terhipnotis dengan irama indah itu. Dia bergegas keluar kelas dan menelusuri setiap ruang di lorong itu. Semakin jauh dia berjalan mencari asal suara piano, semakin jelas terdengar. Dia temukan seseorang tengah memainkan piano tua yang ada di ruang alat-alat musik sebelah kantin sekolah. Reno, laki-laki yang selama ini dia suka sangat memesona dengan gerakan jemarinya di tuts piano. Saat Reno menoleh ke arahnya, Vania kaget, lalu segera beranjak pergi menahan rona mukanya yang merah. Sesampainya di kelas, dia dimarahi gurunya dan diperintahkan untuk LARI berkeliling lapangan sebagai hukuman untuk dirinya yang meninggalkan kelas tanpa ijin. Setelah perintah gurunya selesai dilaksanakan, Vania tetap diberi SKORSING tiga hari karena perbuatannya tidak dia lakukan hanya sekali ini saja. Gurunya juga memberi surat peringatan untuk orangtua Vania yang akan membuat Vania mati kutu.

Rabu, 11 Januari 2012

Seorang Atheis dan Seekor Beruang

Seorang atheis sedang berjalan di tengah hutan.

"Wah! Sungguh indah pohon-pohon, sungai dan binatang-binatang di sini!" katanya sambil menikmati pemandangan di sekelilingnya.
Saat sedang berjalan dipinggiran sungai, tiba-tiba ia mendengar suara dari balik semak. Seekor beruang besar setinggi 2 meter muncul menyerangnya!
Dia berusaha lari, tapi malah tersandung dan tersungkur ke tanah. Pada waktu ia berusaha untuk bangun, ia melihat beruang itu sudah tepat diatasnya, dengan cakarnya yang sudah siap merobek-robek.

Si atheis kontan menjerit: "Oh Tuhaaannn!!! "

Dan mendadak waktu berhenti. Beruang itu menjadi diam, aliran sungai terhenti dan seisi hutan menjadi sepi. Seberkas sinar muncul menerpa, dan suara dari langit terdengar.
Suara: "Selama ini kamu menentangKu, menghasut semua orang bahwa Aku ini tidak ada, serta menyangkal semua ciptaanKu. Berani-beraninya kamu menyebut namaKu untuk minta tolong! Haruskah Aku menolong kamu?"
Atheis: "Mungkin terlalu munafik dan tidak adil bagiMu Tuhan, jika saya mendadak memintaMu untuk menganggap saya orang beriman dan langsung menolongku, tapi sudikah Kau menjadikan beruang ini beriman kepadaMu?"

Suara: "Baiklah."

Sinar surgawi itu pun lenyap dan seketika itu juga semua kembali seperti semula. Beruang itu masih berdiri di depan si atheis, namun tidak jadi menyerangnya, malah melipat kedua cakarnya, menundukkan kepalanya sambil berkata,
Beruang: "Ya Tuhan, berkatilah makanan yang sudah tersedia di depan saya ini... agar makanan ini menjadi kekuatan bagi saya untuk memuliakan namaMu,
amin ..."

Selasa, 10 Januari 2012

Terlambat

Aku melirik jam tangan berwarna biru muda yg melingkar manis dipergelangan tangan kiriku. Jam 7.30. Mampus lo hid! Batinku. Tak perlu diragukan lagi, bel masuk pasti sudah berDENTING sejak 30menit yg lalu. Aku mempercepat LARIku, bajuku sudah basah oleh keringat. Bayangkan saja, aku berlari dari halte yg jaraknya sekitar 100meter ke sekolah. Aku payah dalam hal olahraga apalagi lari, jangan ditanya, aku selalu jadi yg paling awal K0 saat pengambilan nilai olahraga dibidang lari.
AAAHH! sebal! Ini semua gara2 jam weker Doraemonku yg tiba2 ngadat. Tidak mau bekerja seperti biasanya, jadinya aku terlambat bangun kan! Ugh! Aku benci kata terlambat. Memang sih, aku akan sampai diSKORSING hanya gara2 terlambat. Paling hanya disuruh membersihkan toilet. Tapi tetap saja, terlambat adalah pantangan bagiku. Aku belum pernah terlambat kesekolah sebelumnya, ini adalah pertama kalinya. Apalagi bisa dibilang aku adalah pemuja kalimat "time is money". Jadi, terlambat satu detik saja adalah mati bagiku. Dan ini? Apa ini? Aku terlambat 30menit. Harusnya aku sudah ditelan bumi. Sudah sampai diakhirat. Menyebalkan.

Senin, 09 Januari 2012

Celoteh (lagi)

Mempermainkan kata dan cerita, seperti melukis di atas kanvas dengan sosok yang berdiri di sana. Tapi ini tentang cerita, dimana dunia dalam bayang-bayang. Tidak nyata tapi mengambil risalah hidup dari pengalaman dulu. Mungkin di saat genting dan membingungkan. Karena suatu sebab yang melanda kehidupan seseorang atau kumpulan orang, atau bahkan negara.
Entah sengaja atau tidak sengaja telah masuk ke dalam memori yang tidak terlupakan. Diilustrasikan oleh karakter tokoh-tokoh menggemaskan seperti Tom And Jerry, atau Jin dan Jun, atau Si Buta dari Goa Hantu, atau Wiro Sableng, atau karakter tokoh-tokoh lainnya. Terasa dekat karena mereka hidup. Mereka memberi tahu kita tentang maksud, alur cerita, berkelok-kelok dalam susunan kalimat.
Kadang bersembunyi di semak-semak dan entah apalagi, hingga berhenti di banyak titik. Kadang terdiam, menjerit, dan banyak ekspresi yang tertuangkan. Melalui lorong-lorong imaginasi yang membuat manusia merasakan kehidupan, hingga akhirnya menemukan penemuan fenomenal yang berguna bagi manusia. Seperti cara pandang yang dapat mengubah pemikiran untuk meningkatkan usaha yang lebih baik.
Dari banyak sudut pandang muncul berbagai pendapat apakah tulisan itu mampu dan penting untuk disebar luaskan agar orang lain tahu. Melaui jejaring sosial seperti Facebook atau Twitter. Hingga tulisan itu jadi buah bibir hingga di dunia maya. Di banyak situs. Didownload secara radikal melalui e-book. Kemudian dibaca dengan penuh seksama. Yang kemudian dapat membangkitkan inspirasi untuk menulis status di Facebook atau berkicau di Twitter.
Dan kemudian seterusnya, hingga teman-teman berkomentar, atau, dan mengangkat jempol sebagai tanda penghargaan telah membagi "kicauan" tersebut, atau entah untuk mencari simpatik agar si dia memberi perhatian. Dan kemudian seterusnya, berusaha dan berdoa agar pertemanan menjadi dekat, hingga hubungan itu dapat menjerat dalam lingkup api asmara yang menyesakan dada. dst…. :D

Sabtu, 07 Januari 2012

Bukan Kamu dan Dia

Sebelumnya belum pernah terfikirkan sedikit pun dalam benakku, bila pada akhirnya aku terbelenggu oleh pilihan yang memaksaku memilih salah satu diantara keduanya. Hati ini nggak bisa berdusta bila aku juga mencintainya, ya mencintai sahabatku sendiri sementara saat ini aku sendiri sudah memiliki kekasih.

“Kamu harus bisa memilih, pilih aku atau dia?” bentak kekasihku padaku.

Aku terdiam dan menatap mata tajamnya, aku bimbang harus memilih yang mana? memilih dirinya kah? atau memilih teman ku itu?

“Sudah pilih kekasihku saja” batinku bergumam.

“Pilih temanmu saja” hatiku yang satunya turut berbicara.

“Kekasihku sudah aku putuskan, aku ingin besok siang kalian berdua berkumpul disini, karena aku akan mengutarakan semuanya!” kataku setelah bungkam cukup lama.
***
“Maafkan aku kalo aku nggak bisa memilih keduanya, mungkin sebaiknya kita semua bersahabat saja” ujarku setelah cukup lama aku memandang mereka berdua.

“Tapi kenapa?” tanya kekasihku yang aku rasa belum bisa terima dengan keputusanku.

“Sudahlah, ini keputusanku” ujarku dan beranjak pergi meninggalkan mereka berdua.

Rabu, 04 Januari 2012

Siang Mendung

siang mendung dalam perenungan
menyibak tirai dari rahasia Tuhan
yang tak juga bisa terjawabkan membaca pesan Tuhan

lewat mendung dan rinai hujan
lewat mendung yang memucat
wajah yang tak ramah di langit
ada kata kata suci yang tertahan

dari langit yang menyampaikan pesan
pesan cinta dari sang maha cinta
jiwa dalam perenungan dalam diam
dalam hening
di tengah kota yang berisik
dalam diam dalam hening
diantara kesibukan angin dan udara
menjadi saksi dari dosa dan kesalahan kita
 
jiwa diam
diam jiwa
jiwa sunyi
sunyi diam
diam hening
hening diam
jiwa mati
gelap mencari terang
 
Tabanan, 2012

Kritik Opini: Desentralisasi Pendidikan


Memajukan pendidikan di negeri ini adalah mimpi banyak orang, tapi susah untuk merealisasikannya. Banyak perdebatan mengenai sistem pendidikan yang baiknya digunakan. Ada yang menunjuk desentralisasi pendidikan paling bagus diterapkan di negeri ini. ada pula yang menghendaki kembalinya ke sistem sentralisasi pendidikan.
Roh reformasi peradaban Indonesia adalah desentralisasi pendidikan (Feliks Tans, “Desentralisasi Pendidikan”, Kompas, 28/12/2011). Ia mengatakan sentralisasi adalah sebuah program yang “tidak istimewa” dan dapat meruntuhkan mutu pendidikan Indonesia. Sudah waktunya diganti dengan desentralisasi pendidikan.
Ada beberapa cara penerapan desentralisasi pendidikan di negeri ini. Pertama, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 harus dilaksanakan secara penuh. Artinya, setiap tingkat satuan pendidikan (KTSP), harus menyusun sendiri kurikulumnya. Kedua dan ketiga, kurikulum yang disusun setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), baik di SD, SLTP, dan SLTA, harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar (MBKB) murid. Artinya setiap sekolah harus dibiarkan memilih mata pelajaran sesuai kondisi muridnya.
Keempat, ujian nasional (UN) dihapus. Kelima, manajemen berbasis sekolah perlu diterapkan secara sungguh-sungguh, termasuk untuk pengangkatan dan pemberhentian guru dan pegawai administrasi oleh pimpinan TSP tertentu, penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran, serta berbagai anggaran penyelanggaraan pendidikan pada TSP yang terkait, dengan memerhatikan salah satunya pertimbangan dewan guru dan komite sekolah. Keenam, pemangku kepentingan pendidikan, termasuk sekolah lanjutan dan perguruan tinggi, tidak lagi berpaku pada ijazah formal saat menerima calon murid/mahasiswa atau karyawan, tetapi pada kompetensi nyatanya.
Implementasian desentralisasi pendidikan seperti di atas akan berjalan sesuai rancangan jika pemerintah pusat dan daerah mengawasi dan menyediakan dana secukupnya dan memegang dua tujuan utama. Pertama, menjamin setiap anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Kedua, setiap TSP melaksanakan tugas secara benar.
Dalam hal ini pendapat itu ada benarnya, tetapi ada kelemahan yang dibuat oleh penulisnya. Pertama, terlalu memvonis sistem sentralisasi pendidikan sebagai sistem yang tidak berguna. Kedua, tidak memikirkan bahwa desentralisasi pendidikan menuntut persamaan visi dari semua lapis pemerintahan. Apa yang terjadi saat ini bisa dijadikan gambaran. Ketika otonomi pendidikan dilaksanakan, politisasi mencampuri dunia pendidikan kita. Korupsi dana pendidikan yang dilakukan oleh raja-raja kecil menjamur terjadi.
Enam cara yang disajikan oleh penulis dalam mengimplementasikan desentralisasi pendidikan terlalu dangkal. Pada langkah pertama disebutkan bahwa setiap tingkat satuan pendidikan (KTSP) harus menyusun sendiri kurikulumnya. Pertanyaannya adalah mampukah semua lapis satuan pendidikan melakukannya secara mandiri. Mestinya kita ingat bahwa pendidikan di negeri ini belum merata. Perkembangan dan kemajuan pendidikan di kota besar dengan di daerah pelosok jauh berbeda.
Sekolah-sekolah di pelosok, jangankan menyusun sendiri kurikulumnya, menyelenggarakan pendidikan saja mereka masih ngos-ngosan. Sarana dan prasarana yang mereka miliki sangat kurang. Mari kita ingat-ingat bagaimana keadaan SD Muhamadiah Gantong di Belitong yang melahirkan cerita fenomenal Laskar Pelangi. Kondisi sekolah seperti itu sangat tidak memungkinkan untuk menyusun sendiri kurikulumnya.
Berangsur-angsur memang akan bisa, tapi harus ada “tindakan” untuk mengawalinya. Merubah keadaan seperti ini tidak bisa instan. Harus ada langkah-langkah nyata dari banyak pihak dan menyasar banyak segi hingga melahirkan satuan pendidikan yang bisa dikembangkan potensinya dengan sistem desentralisasi ini. Disusunnya kurikulum langsung oleh setiap masing-masing satuan pendidikan sebenarnya sangat bagus karena dapat lebih tepat menyasar kemampuan siswa.
Menanggapi hal itu. Maka muncul pertanyaan. Apakah semua guru bisa melakukannya? Jika ini diterapkan, apakah Bu Muslimah satu-satunya guru di SD Muhamayah Gantong mampu melakukannya di sekolah yang berlatar belakang pedalaman itu? Ketidakyakinan pasti lebih banyak mengiringinya.
Begitu pun dengan implementasi berikutnya yang dianjurkan oleh saudara Feliks, yaitu kurikulum yang disusun setiap tingkat satuan pendidikan (TSP), baik di SD, SLTP, dan SLTA, harus berdasarkan minat, bakat, dan kebutuhan belajar (MBKB) murid. Melihat kondisi sekolah-sekolah yang susah disuruh bersekolah dan biaya sekolah berpengaruh dalam minimnya jumlah siswa disebuah sekolah. Jika kondisinya seperti ini, bagaimana bisa kita mengimplementasikan cara kedua itu? Kembali, sentralisasi pendidikan menjadi hal utama yang harus diperjuangkan saat ini.
Intinya adalah, kelemahan yang paling menonjol dari opini saudara Feliks Tans adalah terlalu gegabah “menetapkan” sistem desentralisasi pendidikan adalah yang paling bagus digunakan di negeri ini. Cara implementasi yang ditawarkan juga masih terlalu dangkal. Mengubah paradigm pendidikan tidaklah mudah. Semua aspek harus ikut serta di dalamnya.
Jika ditilik lebih lanjut, ide-ide yang dicetuskan oleh saudara Feliks cukup bagus dan cukup beralasan untuk dijadikan kiblat pendidikan di masa datang. Tapi perlu diingat, wilayah Indonesia yang luasnya dari Sabang sampai Merauke adalah tantangan terberatnya. Lain dari itu, perlu kiranya kita memperbaiki sistem otonomi daerah yang sedang berjalan sampai hari ini.
Sistem ini masih banyak menuai kontroversi. Jika ingin memaksimalkan pemerintahan yang mengandalkan otonomi daerah demi terwujudnya otonomi pendidikan, hendaknya sistem ini perlu dikaji ulang. Sebaiknya, untuk memajukan pendidikan negeri ini, mulai diperbaiki dari sistem otonomi pemerintahannya. Berikan jaminan bahwa memang tidak ada raja-raja kecil yang “merusak” sistem yang ada.
Disentralisasi memang paling memungkinkan untuk mengakomodasi luas wilayah dan keberagaman Indonesia tercinta ini. inilah alasan terlogis ketika muncul usulan menggunakan sistem sentralisasi pendidikan. Sistem yang saat ini dijalankan adalah sistem gabungan yang belum jelas arahnya ke mana. Sentralisasi atau disentralisasi. Ujian Nasional mencirikan sentralisasi pendidikan, sedangkan KTSP adalah perwujudan sistem disentralisasi. Saat ini kita melaksanakan kombinasi keduanya.
Ini ciri pemerintah yang belum yakin dengan apa yang dilakukan. Kuncinya adalah otonomi pemerintahan yang mesti dioptimalkan. Hingga berdampak ke sektor-sektor lain. Hal ini sama dengan melatih kemandirian. Imbasnya, pendidikan negeri ini juga akan mandiri (desentralisasi pendidikan).
Semua perlu proses. Negara ini pun sedang berproses mencari-cari bentuk terbaik. Sistem yang ada saat ini pun adalah ”jawaban” yang paling relevan untuk saat ini. Sentralisasi pendidikan bukan sebuah kelemahan, pun dengan desentralisasi pendidikan yang tak luput dari kelemahan. Maka saya pribadi tidak setuju dengan opini saudara Fekiks yang (secara tidak langsung) mengatakan sentralisasi pendidikan berdampak terhadap kemunduran pendidikan kita.
Perubahan hendaknya didasari atas kajian-kajian yang memang bertujuan memajukan atau menjadikan yang lebih baik. Dialihkannya sentralisasi pendidikan ke desentralisasi pendidikan adalah langkah nyata untuk memajukan pendidikan Indonesia. Perlu diperhatikan adalah dukungan semua pihak yang memang memiliki tujuan yang sama untuk memajukan negeri ini, dan bukan “memajukan” diri sendiri.
Jangan sampai penyalahgunaan otoritas terjadi dan semakin parah ke depannya ketika desentralisasi terealisasi.  Pemerintah pusat, pemerintah daerah, orang tua, sekolah dan komite sekolah harus benar-benar menyatukan visi mereka demi mereformasi pendidikan negeri ini.